Bubur Panas Perkara Lawas
Edisi: 10/46 / Tanggal : 2017-05-07 / Halaman : 76 / Rubrik : LAPUT / Penulis : Anton Aprianto, Linda Trianita, Syailendra Persada
GELAR perkara pada Selasa pekan ketiga Maret lalu menjadi awal dari babak baru pengusutan dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Setelah pemaparan selama satu jam, di ruang rapat lantai 15 gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, pemimpin dan penyidik KPK sepakat menaikkan kasus yang diusut sejak lima tahun lalu ini ke tahap penyidikan.
Menurut seorang peserta gelar perkara, di samping hasil pemeriksaan 32 saksi dan setumpuk dokumen, catatan aliran dana untuk sejumlah penyelenggara negara pun dibuka. Hampir tanpa perdebatan, peserta rapat sepakat menjadikan Syafruddin Arsyad Temenggung, bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagai tersangka. Sore harinya, KPK mengajukan permohonan pencekalan Syafruddin ke kantor Imigrasi.
Pimpinan KPK baru membuka perkembangan pengusutan kasus BLBI sebulan kemudian. Selasa pekan lalu, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengumumkan status tersangka Syafruddin. Dia disangka menyalahgunakan wewenang karena menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) untuk Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), pada 26 April 2004.
Karena surat itu, Sjamsul dianggap sudah membayar sisa utang BLBI senilai Rp 4,8 triliun. Padahal, setelah ditelusuri penyidik KPK, Sjamsul belum menyetor sebagian besar sisa utangnya, sekitar Rp 3,7 triliun. "Sehingga ada indikasi kerugian negara dari kewajiban yang tidak dibayarkan tersebut," kata Basaria.
BDNI merupakan satu dari 48 bank sekarat yang mendapat suntikan dana BLBI senilai total Rp 144,5 triliun ketika krisis moneter melanda Indonesia pada 1997-1998. Mendapat kucuran dana Rp 30,9 triliun, BDNI hanya sanggup mengembalikan sebagian kecil dana BLBI. Untuk melunasi sisa utangnya, Sjamsul menyerahkan duit Rp 1 triliun dan 12 perusahaan pribadinya yang ditaksir bernilai Rp 22,65 triliun. Sjamsul masih punya tunggakan Rp 4,8 triliun.
Sjamsul berjanji membayar sisa utang Rp 4,8 triliun dengan hak tagih atas petani tambak udang di Bumi Dipasena Utama, Tulangbawang, Lampung. Ternyata, setelah dihitung ulang BPPN, hak tagih yang bisa ditarik hanya Rp 1,1 triliun. Beberapa kali bertemu dengan BPPN, Sjamsul selalu mengklaim sudah melunasi utangnya. Adapun sisa Rp 3,7 triliun, menurut dia, merupakan kewajiban petani tambak.
Karena tak ada kata sepakat, BPPN sempat berencana membawa masalah itu ke jalur hukum. Namun rencana tersebut buyar setelah Syafruddin memimpin BPPN pada April 2002. Dengan alasan sisa utang Rp 3,7 triliun tak bisa ditagih lagi, Syafruddin malah mengajukan restrukturisasi kewajiban BDNI. "Tersangka mengusulkan restrukturisasi kewajiban penyerahan aset ke BPPN," ujar Basaria.
Setelah…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Willem pergi, mengapa Sumitro?; Astra: Aset nasional
1992-08-08Prof. sumitro djojohadikusumo menjadi chairman pt astra international inc untuk mempertahankan astra sebagai aset nasional.…
YANG KINI DIPERTARUHKAN
1990-09-29Kejaksaan agung masih terus memeriksa dicky iskandar di nata secara maraton. kerugian bank duta sebesar…
BAGAIMANA MEMPERCAYAI BANK
1990-09-29Winarto seomarto sibuk membenahi manajemen bank duta. bulog kedatangan beras vietnam. kepercayaan dan pengawasan adalah…