Direktur Utama Bpjs Kesehatan Fachmi Idris: Tak Mungkin Layanan Publik Tanpa Keluhan
Edisi: 41/46 / Tanggal : 2017-12-10 / Halaman : 124 / Rubrik : WAW / Penulis : Nur Alfiyah, Raymundus Rikang,
KABAR delapan penyakit katastrofik tidak lagi ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyebar begitu cepat. Isu itu muncul dari pembahasan keuangan badan tersebut di Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis dua pekan lalu. BPJS Kesehatan disebut rugi sampai Rp 7 triliun dan bakal mencabut pembiayaan pengobatan deretan penyakit katastrofik berongkos tinggi itu.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menepis kabar burung itu. Ia mengatakan pemerintah tak pernah mengkaji, apalagi menyetop, pembayaran delapan penyakit kronis tersebut. "Seratus persen masih ditanggung," ujarnya.
Fachmi, 49 tahun, lama berkecimpung di bidang jaminan sosial kesehatan. Ketika BPJS Kesehatan masih bernama PT Askes (Persero), dokter asal Palembang ini sudah duduk di dewan komisaris sejak 2008. Ia berani menjamin pelayanan kepada peserta tetap akan optimal di tengah kondisi kritis keuangan. "Yakinlah kalau BPJS Kesehatan masih on the right track," katanya.
Rabu pekan lalu, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia ini menerima wartawan Tempo Nur Alfiyah dan Raymundus Rikang di kantor pusat BPJS Kesehatan, Cempaka Putih, Jakarta. Dalam wawancara itu, Fachmi menyanggah kabar bahwa gaji tinggi direksi sebagai salah satu sumber defisit keuangan BPJS Kesehatan. Ia juga menyebutkan sejumlah strategi untuk mengatasi defisit, dari mengontrol ketat pembayaran tagihan ke rumah sakit hingga memungut cukai rokok untuk kompensasi program kesehatan.
Benarkah BPJS Kesehatan tak akan menanggung pengobatan penyakit kronis?
Itu hoax. Kami tetap menanggung 100 persen biaya berobat delapan penyakit katastrofik itu, meliputi jantung, gagal ginjal, kanker, leukemia, talasemia, sirosis, hepatitis, dan hemofilia.
Siapa yang menentukan ragam penyakit yang dibiayai pemerintah?
Kementerian Kesehatan akan mengajak semua pihak mengkaji. Keputusan dari forum akan diajukan ke Presiden, lalu benefit package itu dituangkan dalam peraturan presiden. Nah, isu pencabutan delapan penyakit itu melompat jauh seolah-olah pemerintah sudah membahas sampai tuntas, padahal belum pernah sama sekali. Di era disrupsi informasi seperti sekarang ini, seseorang sering membaca judul tapi tak membaca isi berita.
Isu itu muncul dari mana?
Bermula dari rapat di parlemen, Kamis, 23 November 2017. Anggota Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan meminta penjelasan tentang pembiayaan penyakit tersebut. Saya sampaikan bahwa penyakit katastrofik itu menghabiskan sekitar Rp 20 triliun, atau 20 persen dari total pembiayaan BPJS di rumah sakit. Entah bagaimana informasi itu berkembang sedemikian liar di media sosial sehingga cenderung meresahkan.
Mengapa klaimnya bisa sebesar itu?
Penyakit katastrofik itu butuh biaya tinggi dan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…