Ketika Minuman Keras Melekat Bersama Tradisi

Edisi: 15/24 / Tanggal : 1994-06-11 / Halaman : 51 / Rubrik : SEL / Penulis : LPS


SETIAP pagi, sekitar pukul 07.30, ketika matahari masih bersinar merah di Percut, sebuah kota pantai 22 km dari Medan, Hotman Sinaga, 32 tahun, memulai pekerjaannya sebagai penyadap tuak. Ia kayuh sepedanya menuju kebun kelapa. Di sebelah kiri dan kanan boncengan sepeda tergantung dua buah jeriken ukuran 25 liter ditambah dua jeriken kecil lain yang berukuran lima liter di stang sepeda.

Tiba di kebun, Hotman dengan gesit memanjat 12 pohon kelapanya untuk memanen tuak. Biasanya, Hotman bisa mengumpulkan tuak sekitar 50 botol, yang semuanya ia jual ke agen seharga Rp 6.000. Dengan jeriken penuh tuak di kiri-kanan sepeda, Hotman sama sekali tak kesulitan menjaga keseimbangan sepeda ketika menelusuri jalan kecil menuju rumah Elmut Siahaan, agen pembeli tetap tuak Hotman.

Pekerjaan Hotman rupanya tak terusik oleh Operasi Bersih yang sedang gencarnya memburu minuman keras. Setiap hari tuak yang ia kumpulkan pasti dibeli oleh Elmut Siahaan. "Larisnya bukan main. Pokoknya, seberapa ada, pasti laku," kata Hotman kepada wartawan TEMPO Mukhlizardy Mukhtar. Di sekitar Percut, terdapat sekitar 20 orang agen tuak yang memasarkan tuak ke lapo tuak atau warung tuak di Medan dengan harga Rp 200 satu botolnya. Dan seorang agen tuak, seperti Elmut Siahaan, rata-rata bisa melepas 500 botol tuak ke lapo tuak di Medan atau di Percut.

Untuk memproduksi tuak dari nira yang dihasilkan pohon kelapa, nira harus direndam dengan serpihan kayu waru selama tujuh sampai delapan jam. Fungsi kayu waru itu untuk mencegah pembentukan asam sekaligus sebagai katalis yang mengubah nira menjadi alkohol. Hotman tak selalu memproses nira menjadi tuak dengan rendaman kayu waru, karena kadang ada juga permintaan air nira murni untuk kebutuhan wanita yang sedang hamil atau orang sakit. Memang, yang paling banyak diminta agen adalah tuak yang kandungan alkoholnya tertentu. Agen tahu itu dari rasanya. Hotman sendiri tidak pernah tahu.

Untuk sementara, tuak yang memang mengandung alkohol itu masih aman-aman saja. Namun, sudah ada sinyal dari aparat keamanan, lapo tuak pun akan menjadi sasaran berikutnya dari Operasi Bersih.

"Tetangga" tuak, yakni minuman anggur kolesom buatan PT Bapak Djenggot yang terkenal di desa-desa, rupanya lebih dulu diseruduk Operasi Bersih. Dan tak mampu berkelit. Wajah orang tua berjenggot panjang putih yang berkesan sehat dan bijak di botol minuman anggur cap Orang Tua makin susah saja ditemui. Padahal, minuman itu jadi primadona kalau ada perayaan di kampung sampai pasar sekatenan. Minuman berkadar alkohol 17% yang sangat populer di kalangan anak desa (baik muda maupun tua) itu sudah jadi korban Operasi Bersih.

Soalnya, jika pasukan Operasi Bersih menemukan minuman beralkohol di warung yang tak memiliki izin, minuman itu segera disita. Jadi, risikonya semata-mata ditanggung warung bersangkutan, sedangkan produsen sudah tidak ada urusan. Maka, warung-warung di pinggir jalan yang selama ini jadi ujung tombak penjualan jelas tak mau ambil risiko lagi dengan menerima kiriman minuman beralkohol. Akibatnya, jangankan memproduksi minuman baru, menyalurkan stok yang tersimpan di gudang saja tak mudah.

Maka, pabrik PT Bapak Djenggot di Tangerang, Semarang, dan Surabaya, terpaksa menghentikan produksi, yang sebelumnya mencapai 14 juta liter per tahun atau sekitar 11,66% dari jumlah total peredaran minuman berkadar alkohol lebih dari lima persen di seluruh Indonesia. Sekitar 1.250 karyawan Bapak Djenggot pun terpaksa dirumahkan dan ribuan lainnya terancam kehilangan pekerjaan.

Bakorstanasda DKI Jakarta saja sudah berhasil menyita sekitar 582.000 botol minuman keras yang diedarkan di warung-warung pinggir jalan. Memang tak semuanya anggur Cap Orang Tua, ada juga merek lain. PT Suba Indah, misalnya, yang menghasilkan minuman keras di bawah lisensi produsen Herman Jansen dari Belanda, juga terpaksa menghentikan produksi. Ternyata, tak hanya produsen besar yang tersapu Operasi Bersih. Di Kecamatan Molas, Manado, Pabrik Kebesaran, yang menghasilkan minuman beralkohol, juga terpaksa menghentikan produksi, walau pihak Bakorstanasda setempat belum resmi menggebrak operasi penyitaan minuman keras. "Banyak toko yang menolak produksi kami karena dihantui tayangan RCTI yang memperlihatkan minuman keras dilindas mesin giling," kata Jemmy Binsa, pemilik Pabrik Kebesaran. Enam orang karyawannya terpaksa sudah dialihkan untuk mengerjakan pagar rumahnya.

Kini tak terlihat kegiatan produksi di pabrik Jemmy. Hanya ada tumpukan jeriken kosong yang disusun berlapis-lapis di halaman pabrik yang pintu gerbangnya sudah digembok. Padahal, Pabrik Kebesaran setiap bulan memproduksi 60 kerat minuman keras atau 94 botol minuman keras dengan kandungan alkohol 18% dan 24%. "Selama toko dan masyarakat tak menerima produk kami, mau bikin apa?" kata Jemmy singkat, tanpa bisa menduga berapa lama kelesuan pasar minuman keras akan berlangsung.

Menurut Dirjen Industri Hasil Pertanian, Anak Lukmana, kepada majalah Forum, pada tahun 1993 lalu masih terdapat 67 produsen minuman keras yang mengantongi izin resmi. Para produsen itulah yang bertanggung jawab atas peredaran 120 juta liter minuman keras per tahunnya. Namun tak ada catatan tentang jumlah produsen minuman keras tradisional di daerah pedesaan Indonesia, yang tak peduli pada izin.

Di daerah Sulawesi Utara ada minuman keras tradisional dengan nama minuman cap tikus. Ini jenis minuman yang sangat populer di Manado, yang dihasilkan dari proses penyulingan nira atau aren. Hampir di semua dataran tinggi di Sulawesi Utara, antara lain Kecamatan Tomohon, Tareran, Dimembe, Tombatu, dan Motoling, terdapat produsen cap tikus. Beberapa keluarga malah menempatkan cap tikus sebagai mata pencaharian yang sudah diwarisi selama dua turunan. Memang, tak butuh modal besar maupun keterampilan khusus untuk memproduksi cap tikus.

Yang dibutuhkan, selain pohon enau yang sudah ada di halaman rumah maupun kebun, adalah drum yang tutupnya dilengkapi dengan batang bambu dan sebuah jeriken penampung. Proses penyulingan dimulai dengan memasak nira dari pohon enau selama satu setengah jam hingga menghasilkan uap air yang kemudian menetes ke jeriken lewat batangan bambu. "Hasil penyulingan yang terkumpul itulah yang disebut cap tikus, setelah ditambah air…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…