Uppindo, Pengabdian 17 Tahun
Edisi: 51/18 / Tanggal : 1989-02-18 / Halaman : I- / Rubrik : PWR / Penulis :
Gambar Rancang Lembaga Keuangan Bukan Bank
Lahir ketika Pemerintah Orde Baru membuka pintu bagi modal asing dan menggerakkan pasar modal. UPPINDO adalah sosok Lembaga Keuangan Bukan Bank yang berperan positif dalam pembangunan negeri ini. Dalam usia 17 tahun, ia telah menyalurkan dana lebih dari Rp 346 milyar. Mendukung pembiayaan sambil menawarkan bantuan konsultasi adalah biji plus yang menguntungkan.
BERUSIA 17 tahun pada 15 Februari ini, UPPINDO bukanlah si sweet seventeen yang cuma pintar berdandan. Ia sesungguhnya "perawan" yang cepat matang, bahkan -- sebagai lembaga keuangan -- sudah "menyusui" sejak awal pendinannya.
Sejak lima tahun terakhir, yang mencapai puncaknya pada tahun 1988, kemampuan UPPINDO sungguh mengesankan. Dengan asset lebih dari Rp 340 milyar pada 1988 -- kenaikan lebih dari 500% dibandingkan dengan asset 1983 -- lembaga keuangan yang dalam versi Inggris disebut PT Indonesian Development Finance Company (PT IDFC) ini telah mampu membiayai sekurang-kurangnya 584 proyek dengan nilai Rp 346 milyar lebih. Bandingkan dengan kemampuan pembiayaan sampai pada lima tahun sebelumnya, yang baru mencapai Rp 60,357 milyar untuk 150 proyek.
Adalah pengembangan iklim berusaha oleh pemerintah Orde Baru yang memungkinkan semua itu. Program stabilisasi dan rehabilitasi Pemerintah RI pada 1966-1968 adalah gebrakan bagus, yang pada gilirannya telah berhasil merehabilitasi dan memantapkan kehidupan ekonomi nasional. Diikuti dengan serangkaian program pembangunan lima tahunan (Repelita), Pemerintah telah mampu memacu pertumbuhan ekonomi, serta mendorong pengembangan subsektor industri dengan membuka beragam fasilitas kredit. Dalam banyak kasus, dana yang disalurkan berasal dari pinjaman dari luar, setelah Orde Baru membuka pintu bagi penanaman -- dan mengembalikan kepercayaan para penanam -- modal asing.
Di antaranya berasal dari Eropa, khususnya dari -- dan disponsori -- Negeri Belanda. Sejak awal, di negeri kincir angin itu tersedia dana yang dapat disalurkan untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Sayangnya, lembaga penyalurnya belum ada. Soalnya, UU No.14 tahun 1977 tidak memberi sesuatu peluang dasar hukum untuk pendirian lembaga tersebut.
Peluang itu justru "ditemukan" di Belanda sendiri. Agar dana yang tersedia tak mubazir, sejumlah pengusaha Indonesia dan pemilik dana membentuk suatu lembaga keuangan yang disebut Ontwikkelings Bank voor Indonesia (OBI), atau Bank Pembangunan untuk Indonesia, pada 1968. Keberadaan dan aktivitasnya diakui. Dari embrio yang kian bertumbuh ini, Menteri Keruangan RI lalu mengeluarkan SK No.38 tahun 1972 yang melahirkan peluang bagi pendirian Lembaga Keuangan Pembiayaan Pembangunan (LKPP). Bank Indonesia sebagai bank sentral bersama Nederland Financierings Maatschappij voor Ontwikkelingslangen N.V. (FMO), sebagai wakil Pemerintah Belanda, mendirikan sebuah lembaga pada 15 Februari 1972. Itulah PT Usaha Pembiayaan Pembanguanan Indonesia, disingkat UPPINDO, atau PT Indonesian Development Finance Company (IDFC) tadi.
Untuk membedakannya dengan bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) ini memang harus memiliki kegiatan operasional yang berbeda. Antara lain: tak boleh menerima simpanan, baik berupa giro dan deposito maupun tabungan biasa. Bidang usahanya pun terbatas pada beberapa jenis kegiatan saja. Yaitu hanya berupa: bantuan pembiayaan berbentuk pinjaman jangka menengah dan panjang; dan/atau penyertaan dalam modal saham, baik untuk pembangunan proyek industri maupun bagi perusahaan yang telah berjalan namun memerlukan ekspansi usaha, serta modernisasi dan/atau rehabilitasi mesin pabrik maupun peralatan produksinya.
Kendati 75% saham kepemilikannya dikuasai Bank Indonesia, UPPINDO tetap merupakan perusahaan swasta -- karena sebagian sahamnya dimiliki lembaga asing. Karena tugasnya mengemban misi pembangunan (development oriented) dan bertujuan ikut menyumbang bagi pengembangan perekonomian Indonesia, pendirian UPPINDO tidak akan menjadi saingan bank-bank Pemerintah. Apalagi bila ditinjau dari sudut skala, dimensi dan kemampuan operasional, cakupan lembaga ini terbilang "sangat kecil" bila dibandingkan dengan bank-bank milik negara. Dengan kata lain, pangsa pasar UPPINDO jauh berbeda dengan lembaga keuangan tadi.
Toh kegesitan operasional UPPINDO boleh dikagumi. Penyebabnya bisa dicari pada kemampuan stafnya yang kompak dan profesional. Pada mulanya, tenaga profesional yang diperlukan memang sulit diperoleh dengan begitu saja. UPPINDO lalu merekrut banyak lulusan pergunan tinggi dari berbagai disiplin ilmu. Akhirnya yang didapat bukan saja dari disiplin ilmu ekonomi yang sesuai dengan bidang gerak lembaga tersebut. Karena tenaga yang diperlukan adalah mereka yang mampu mengadakan analisa terhadap suatu proposal yang diajukan. Dan yang terjaring kemudian adalah mereka yang -- kebanyakan -- berlatar belakang disiplin ilmu teknologi. Tak heran, soalnya titik berat bantuan lembaga keuangan bukan bank ini tertuju pada sektor pembangunan.
Sarwono Wisnuwardhana, Presiden Direktur UPPINDO, menyatakan bahwa dengan tenaga-tenaga profesional di bidang ekonomi maupun teknik yang mereka miliki membuat mereka tak perlu menyewa jasa perusahaan penilai. "Karena kami mampu melakukannya sendiri," arnya dengan nada bangga. Kondisi ini sekaligus memungkinkan mereka mampu memroses sebuah proposal dengan lebih cepat. Keunggulan UPPINDO ini -- yang hampir tak dimiliki lembaga-lembaga keuangan lainnya -- sangat dirasakan oleh para nasabah. Dibandingkan dengan bank-bank Pemerintah, bunga yang dikenakan UPPINDO memang sedikit lebih tinggi, namun masih lebih rendah dari bunga bank-bank swasta. Daya saing inilah yang telah ikut memacu perkembangannya.
PELBAGAI kondisi moneter telah dialami, namun UPPINDO tetap eksis. Resesi yang melanda dunia, dan memakan korban di mana-mana, tak membuatnya bergeming. Juga deregulasi dalam dunia perbankan Indonesia yang diberlakukan mulai 1 Juni 1983, yang membikin seru dan ketatnya persaingan antar lembaga-lembaga keuangan. Malah, deregulasi terakhir, Paket Oktober 27 (Pakto), justru membuka peluang baru bagi UPPINDO: diperbolehkannya LKBB membuka cabang. Lalu tanpa menunggu lebih lama, LKBB pertama di Indonesia ini langsung meresmikan kantor penghubungnya di Surabaya menjadi Kantor Cabang UPPINDO. Tak lama lagi menyusul pembukaan cabang di Medan. Gerak langkahnya kian keluasa dan meningkat.
Sudah disebutkan bahwa UPPINDO telah membuat loncatan jauh dalam lima tahun terakhir. Inilah gambaran yang lebih jelas. Kalau pada akhir 1983 LKBB ini baru memiliki asset Rp 57,167 milyar, jumlahnya pada akhir 1988 sudah melesat melebihi Rp 340 milyar. Lompatan sekitar 500% itu rasanya tak memerlukan komentar panjang. Kenaikan asset tersebut sekaligus menggambarkan lonjakan pembiayaan yang dilakukan UPPINDO dalam kurun waktu yang sama. Bila pada 1983 pinjaman yang diberikan pada 53 proyek dengan nilai Rp 17,296 milyar, pada akhir 1988 mereka telah mampu membiayai lebih dari 584 proyek dengan lebih dari Rp 346 milyar. Jumlah keuntungan yang diraih juga naik berlipat: hampir Rp 1,5 milyar pada 1983, dan sekitar Rp 4,2 milyar lima tahun kemudian.
Dalam menyalurkan dana, sebagian besar diberikan kepada proyek-proyek berskala menengah. Di belakangnya menyusul proyek berskala besar, pada peringkat kedua; diikuti proyek berskala kecil. Pada kegiatan pemberian kredit skala kecil inilah (volumenya sedikit di atas KIK/KMKP) mulanya UPPINDO berkonsentrasi, sesuai misinya yang development oriented. Namun, upaya ini ternyata membuat UPPINDO tertinggal dari lembaga keuangan lainnya. Baru setelah 1980 mereka menerapkan kebijaksanaan baru dalam penyaluran dana -- ibarat membanting stir dari jalur lambat ke jalur cepat.
Putar haluan ke jalur cepat inilah yang memungkinkan UPPINDO mampu bersaing, kendati muncul deregulasi 1983. Lembaga keuangan bukan bank ini tampaknya tak ingin hanyut semata dalam idealisme. "Idealisme tetap ada, tapi kami juga harus memikirkan untung," ucap Sarwono, sang Presdir.
Beralih jalur saja tidak cukup bila tanpa disertai kesertaan penuh para staf dan karyawan. Maka dilakukan berbagai latihan, baik di dalam maupun luar kantor, bahkan di luar negeri. Sambil mementingkan program sumber daya manusia untuk meningkatkan pelayanan, UPPINDO tetap memegang prinsip "kecil itu indah". Seperti diakui Sarwono, karyawan tetap lembaga tersebut masih pada jumlah sekitar 125 130 orang saja. Dalam merekrut profesional, UPPINDO tak akan menempuh cara-cara yang kurang etis, seperti membajak karyawan perusahaan lain. "Lebih baik mengambil tenaga yang masih segar, yang baru keluar dari bangku pendidikan," ujar Lukman…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
MELANGKAH MAJU dengan KESUNGGUHAN HATI
1994-03-12Ekspor anak perusahaan surya dumai group ini sudah menjangkau ke 27 negara. pertumbuhan penjualan dan…
Yang dibutuhkan pelaku bisnis: Color Pages Indonesia
1994-03-26Segera terbit color pages indonesia. katalog tentang building materials dan equipments, dengan informasi yang lengkap…
BIARKAN KAMI MENYELESAIKAN MASALAH ANDA
1994-01-29Biro administrasi efek (bae) pertama di indonesia. memberikan jasa layanan bagi perusahaan yang akan dan…