Mafia Punya Ulah, Kami Gelisah
Edisi: 05/19 / Tanggal : 1989-04-01 / Halaman : 77 / Rubrik : KRI / Penulis :
ANDA merasa punya tanah? Hati-hati. Jangan kaget bila di kemudian hari ternyata tanah itu juga "milik" orang lain. Anda punya sertifikat, dia juga punya. Jadi, apa yang tak beres?
Inilah contohnya. Di Kelurahan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ada tanah seluas 2,8 hektar. Di situ, persil No. 6418 ternyata jadi rebutan. Persil dipecah jadi tiga, lengkap dengan sertifikatnya: No.572, 573, dan 574. Akta jual-belinya dibikin di Kantor Notaris Soerdja Soemarta Atmadja, Jakarta Timur. Tanggalnya Desember 1980.
Akta jual-beli itu menyebutkan persil itu dijual oleh Ir. Prayitno Sudjono kepada Baharuddin. Nah, berbekal akta itu, Baharuddin, membuat sertifikatnya. April 1988, tanah itu oleh Baharuddin, dijual kepada Anton dengan harga Rp 2,8 milyar.
ngat murah. Sebab, di sana harga tanah seluas itu bisa di atas Rp 5 milyar. Maka, Anton siap membeli. Ia menyerahkan Rp 100 juta lebih kepada Baharuddin. Ia tak menyangka ada yang aneh di sana.
Ketika Anton mengecek sertifikat itu ke Kantor Agraria Jakarta Selatan, pihak Agraria menahan sertifikat itu. Agraria mencium ketidakberesan bukti pemilikan tanah itu.
Tiga sertifikat itu memang dicatat dan dikeluarkan oleh kantor Agraria Jakarta Selatan, tapi arsip dan warkatnya tak pernah ada di kantor itu. Agraria memastikan: tiga sertifikat itu palsu dan harus ditahan.
Ini membuat Baharuddin, yang sedang berunding dengan Anton, kaget dan protes keras. Ia mengirim surat ke Irjen Departemen Dalam Negeri. Sebab, selain sertifikatnya ditahan, ternyata pula sertifikat nomor 572 sudah dilipatgandakan jadi tujuh buah sertifikat, nomor 573 jadi tujuh buah, dan nomor 574 jadi lima buah.
Siapa yang main? Polisi menyangka: Baharuddin sendiri. Dialah pemalsunya. Ia bersama dua rekannya diduga sudah membuat puluhan sertifikat palsu. "Kami mengenalnya dengan istilah sertikat B, sertifikat bodong atau bohong-bohongan," kata sumber TEMPO yang mengetahui seluk-beluk penipuan ini.
Mereka pun diciduk. Dan hingga pekan ini tak kurang dari 8 orang yang ditahan. Yang mengagetkan lagi: dari tiga sertifikat itu Dihak Mabes Polri menemukan 51 sertifikat palsu, sedang Kantor Badan Pertanahan Nasional Jakarta Selatan (d/h Kantor Agraria) menahan 39 buah sertifikat palsu.
Salah satu kawan Baharuddin., Amir Soetjipto, menurut sangkaan polisi, telah menyulap tanda tangan Notaris Soerdja. Untuk tugas ini, ia mendapat imbalan dari Baharuddin. Rp 3 juta.
Kepada penyidik, Baharuddin, menuturkan bahwa tanah itu ia beli dari Soedjono. Tapi entahlah. "Siapa pemilik sah tanah itu masih simpang siur," kata Staf Reserse Ekonomi Mabes Polri, Letkol. F. De Vries.
Alasan De Vries: riwayat tanah itu ruwet. Sebuah catatan di Wali Kota Jakarta Selatan menyebutkan tanah itu atas nama Chaidir. Persilnya bernomor C 1501, luasnya 22.190 m2. Chaidir tercatat sebagai pemilik sejak 1960-1984. Tapi di catatan yang sama, persil dengan nomor yang sama itu atas nama Pranatio, yang menguasamya dari 1955 hingga 1960. Cuma luas tanahnya menciut: 5.460 meter persegi.
Anehnya, di catatan itu pula, tercatat pemiliknya adalah Soedjono. Ia menguasainya sejak 1960 hingga sekarang. Luas tanahnya 28.474 meter persegi.
Tak cuma di sini. Ternyata, pengurus Yayasan Al Djamin merasa jadi ahli waris persil itu pula. Mereka menyatakan tanah itu "diserobot" Soedjono.…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Genta Kematian di Siraituruk
1994-05-14Bentrokan antara kelompok hkbp pimpinan s.a.e. nabanan dan p.w.t. simanjuntak berlanjut di porsea. seorang polisi…
Si Pendiam Itu Tewas di Hutan
1994-05-14Kedua kuping dan mata polisi kehutanan itu dihilangkan. kulit kepalanya dikupas. berkaitan dengan pencurian kayu…
KEBRUTALAN DI TENGAH KITA ; Mengapa Amuk Ramai-Ramai
1994-04-16Kebrutalan massa makin meningkat erat kaitannya dengan masalah sosial dewasa ini. diskusi apa penyebab dan…