30 Tahun Bertumbuh Menjembatani ...
Edisi: 11/19 / Tanggal : 1989-05-13 / Halaman : I- / Rubrik : PWR / Penulis :
Usianya Mei ini 30 tahun, tapi baru belakangan nama Bank Internasional Indonesia (BII) menonjok ke atas -- peringkat ketiga bank swasta nasional 1989, di belakang Bank Duta dan BCA. Ini terjadi setelah ditangani Eka Tjipta Widjaja, pengusaha kawakan bertangan dingin. Cita-citanya ingin menjadikan BII "supermarket" lembaga keuangan; dan dengan "pelayanan melekat" bertekad menjembatani bisnis dunia.
Sebuah gedung baru, jangkung, berdinding kaca, dalam warna keemasan, tampil monumental sejak satu-dua tahun ini di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Satu lagi bangunan cantik menghias Ibu Kota. Satu lagi tonggak pembangunan dipacakkan, bagai hendak mengisyaratkan laju pertumbuhan perekonomian bangsa menyongsong era lepas landas. Tapi siapa punya?
Dua puluh enam huruf yang tertera di puncak bangunan menyatakan siapa pemiliknya: Bank Internasional Indonesia (BII). Sebuah bank swasta baru, sangka orang tadinya. Ternyata sudah cukup dewasa. Mei ini BII berusia 30 tahun?
Tak salah. BII sungguh didirikan pada 1959, tepatnya 15 Mei tahun tersebut. Tapi, mengapa kurang dikenal? Perihal citranya yang low profile ini bisa dicari sebabnya pada perkembangannya yang tak menonjol sejak bank itu didirikan, kendati keadaannya sebagai lembaga keuangan cukup sehat. Rupanya, kelompok pengusaha yang mendirikan BII pada tahun 1959 itu punya kegiatan usaha lain, hal yang turut berperan pada agak tertahannya kemajuan bank tersebut. Menyadari keterbatasan waktu, dan mungkin juga dana, mereka akhirnya memilih memindahtangankannya.
Toh kemajuan BII di tangan kedua tetap berjalan di tempat. Agak kabur sebab-musababnya. Tapi yang jelas, bank ini kembali dialihtangankan.
Penerima tongkat estafet tingkat ketiga itu bernama Oei Ek Tjong, alias Eka Tjipta Widjaja, seorang pengusaha dari Ujungpandang yang berpengalaman menangan berbagai kegiatan bisnis. Kendati hanya berpendidikan sekolah dasar, ia sejak kecil terbiasa berusaha, membantu orangtuanya sambil mencari uang saku dari hasil keringat sendiri. "Pada usia 15 tahun," papar Eka, "subuh-subuh, sebelum ke sekolah, saya lebih dulu kelual menjajakan kue-kue." Dengan pencarian sendiri itu, ia berniat melanjutkan sekolahnya.
Rupanya Eka lebih tertarik terjun langsung ke dalam praktek di lapangan. Hasilnya, ia mengantungi beragam pengalaman berusaha, dari berdagang minyak kelapa, menjadi kontraktor, mengelola pabrik roti milik sendiri -- dengan segala jatuh dan bangunnya. Ia juga bergiat di bidang ekspedisi, mengirim barang-barang milik Angkatan Darat ke Sulawesi Utara.
Pindah ke Surabaya pada 1950an, ia berdagang tekstil. Berikutnya terjun di bidang perdagangan kopra, sampai ia menguasai pasar kopra dan minyak kelapa di Jakarta, Surabaya, Sulawesi, dan Maluku. Eka juga pernah berjualan kain cita.
Setelah melotok di bidang perdagangan, sebagian minatnya mulai beralih ke sektor industri. Dari pengalaman berdagang minyak kelapa timbul keinginan mendirikan pabriknya. Cita-citanya terlaksana pada 1970, dengan membangun pabrik minyak kelapa Bimoli di Bitung, Sulawesi Utara. Pabrik yang namanya merupakan akronim dari "Bitung Manado Oil Limited" ini hingga sekarang masih mampu bersaing bahkan relatif mengungguli produk minyak kelapa dari merek lainnya. Ia mengolahnya bukan saja dari buah kelapa, tetapi juga dari kelapa sawit, seperti yang dianjurkan pemerintah.
Pengalamannya berjualan tekstil membuahkan gagasan pendirian pabrik bahan sandang. Berpatungan dengan mitra dari Hongkong, Eka mendirikan Superbitex dan Grandtex, 1971. Kedua pabrik tekstil ini berlokasi di Bandung. Sebelas tahun kemudian, Grandtex dijualnya. Eka juga membangun pabrik kertas di Mojokerto, Jawa Timur.
Terlalu panjang untuk menyebut nama-nama pabrik milik Eka satu per satu. Tapi pada pokoknya ia bergerak di bidang-bidang perkebunan (terutama kelapa sawit); industri kertas; industri kimia; proyek perumahan; produk-produk konsumsi sehari-hari (susu kaleng, sabun, minyak goreng); asuransi, dan peternakan. Berpatungan dengan pengusaha biskuit Khong Guan Singapura, ia juga mendirikan pabrik serupa di Surabaya.
Lalu, sekarang, mengapa Eka Tjipta Widjaja tertarik terjun dalam bisnis perbankan?
Ini sebenarnya cita-cita lamanya. Sebagai pengusaha yang baik, dalam diri Eka melekat prinsip: kalau hanya mampu bertahan, alias tidak berkembang, berarti kemunduran. Jadi, seperti juga inovasi, diversifikasi merupakan jurus wajib bagi pengusaha yang tidak cuma puas berjalan di tempat. Apalagi bagi pengusaha yang sukses seperti Eka, tantangan-tantangan baru bagaikan gimnastik, yang melancarkan aliran darah di dalam tubuh.
Kendati tanpa sesuatu pendidikan formal di bidang keuangan dan perbankan, tapi itu tidak menjadi kendala bagi Eka untuk melaksanakan cita-citanya. Ia bisa merujuk pada buku-buku, dan dengan itu ia menjadikan diri-otodidak. Usaha bidang perbankan, yang dianggapnya sebagai "bisnis terpandang", memotivasi dirinya.
Ketika niatnya sudah bulat, iklim dunia perbankan Indonesia sedang kurang menggembirakan. Masih dipagut regulasi -- izin pendirian bank sudah…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
MELANGKAH MAJU dengan KESUNGGUHAN HATI
1994-03-12Ekspor anak perusahaan surya dumai group ini sudah menjangkau ke 27 negara. pertumbuhan penjualan dan…
Yang dibutuhkan pelaku bisnis: Color Pages Indonesia
1994-03-26Segera terbit color pages indonesia. katalog tentang building materials dan equipments, dengan informasi yang lengkap…
BIARKAN KAMI MENYELESAIKAN MASALAH ANDA
1994-01-29Biro administrasi efek (bae) pertama di indonesia. memberikan jasa layanan bagi perusahaan yang akan dan…