Menebar Benih Kemakmuran

Edisi: 14/19 / Tanggal : 1989-06-03 / Halaman : I- / Rubrik : PWR / Penulis :


Nila Setitik dan Belanga Bisnis Susu PT TAA

Produksi susu para peternak di pedesaan meningkat pesat. Agar pemasarannya lebih terjamin, PT Mantrust "ditugasi" membangun pabrik. Belakangan perusahaan ini menemukan kendala dalam menjual produknya. Ada pula soal hutang-piutang dengan GKSI, mitra usahanya. Niat menolong para peternak tak selamanya mendapatkan jalan di tengah sistem persusuan nasional seperti sekarang.

"Karena nila setitik, rusak susu sebelanga," begitu bunyi pepatah lama. Tetapi ini bukanlah cerita tentang peribahasa. Ini kisah bisnis PT Tirta Amerta Agung (TAA), perusahaan pengolahan susu nasional yang didirikan untuk menampung susu para peternak agar tak terbuang percuma setelah produksinya melimpah. TAA dalam bisnis susunya "ditetesi" setitik nila. Belum lama ini ia sering jadi berita dan dituduh mengecewakan peternak sapi perah, yang harus ditolong sebagai mitra usaha.

Berita-berita di surat kabar melaporkan para peternak sapi perah di Jawa Barat dan Jawa Tengah terlambat menerima uang penjualan susu mereka. Tunggakan TAA dikabarkan mencapai milyaran rupiah. Ini jadi berita bukan hanya karena uang itu milik peternak, tapi juga dengan tertahannya uang mereka dapat mempengaruhi produksi. Seperti kata Menteri Pertanian, Ir. Wardoyo, "Kalau peternak tak menerima uangnya, kualitas pemeliharaan sapi yang memerlukan biaya tentu akan terganggu. Pemeliharaan yang terganggu, dapat membuat produksi merosot."

Kenapa TAA menunggak pembayaran, yang hingga Januari 1989 silam mencapai Rp 8,28 milyar? Yang terang, ini bukan akibat "permainan bisnis" TAA. "Produk TAA tak bisa dijual akibat sistem penjualan yang selama ini dianut industri pengolah susu berubah karena beberapa sebab. Sedangkan susu segar harus tetap ditampung," kata Tegoeh Soetantyo, 72 tahun, Presiden Komisaris PT Management Trust (Mantrust), induk perusahaan PT Margo Redjo, salah satu pemegang saham TAA.

Alasan yang disebutkan Soetantyo dibenarkan oleh Menteri Koperasi, Bustanil Arifin, SH, lewat keterangan persnya beberapa waktu yang lalu. Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi, Drs. Subiakto mengumpamakan, "Jaringan produksi dan marketing itu bagaikan pipa. Jika macet di satu tempat, semua bagian ikut macet." Menteri Wardoyo pun mengakui, penunggakan terjadi karena memang produk TAA tak kunjung dapat terjual.

Tapi para peternak sudah terlanjur kecewa. Mereka tentunya tak paham secara mendalam liku-liku bisnis susu. Bagi mereka, yang penting pembayaran yang sesuai dengan susu yang distorkan. Dan ternyata beberapa hari sebelum Idulfitri yang lalu uang mereka telah dilunasi TAA.

"Kemelut" sudah berlalu, namun apa penyebab pemasaran produk TAA itu macet?. Untuk jelasnya mari kita tengok latar belakangnya.

Di Indonesia, pemeliharaan sapi perah secara intensif baru dimulai pada awal Pelita III (1979/1980). "Dan dari tahun ke tahun terus meningkat," ujar Menteri Wardoyo. Sebelumnya, kendati Indonesia sudah mengimpor sapi dari Australia, pemeliharaan sapi perah masih sporadis. Di akhir 1970-an itu program pengembangannya masuk agenda pembangunan, dan impor sapi dalam skala besar dilakukan. Inilah salah satu alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa," kata Subiakto, "karena lahan pertanian kian terbatas, terutama di Jawa."

Karena itu pulalah, ketika lembaga Menteri Muda Koperasi diadakan dalam Kabinet Pembangunan III, salah satu langkah yang diambil ialah membuat pemasaran susu segar menjadi lebih pasti. Perkembangannya dapat disebut berlangsung cepat. Jika pada 1978 produksi susu segar Indonesia baru 42 ribu ton, (pada 1988) angka itu menjadi 205 ribu ton.

Dalam 10 tahun itu, yang ditemui tentunya bukanlah sukses semata. Di awal 1980-an, selagi produksi susu segar menanjak, mulai terasa bahwa produk sebanyak itu tak akan terserap semua. Lantas tersebutlah kisah tentang para peternak yang membuang susu segar ke sungai dan selokan. Itu terjadi di Jawa Barat dan di Jawa Tengah. Berita kemubaziran ini berminggu-minggu mengisi halaman muka, surat-surat kabar. Produk susu segar setiap hari tak dapat disalurkan. Industrl pengolahan susu (IPS), belum semuanya siap dengan unit pendingin maupun evaporator peralatan vital untuk mengolah susu segar menjadi finish prodct.

Inilah yang melahirkan gagasan pembangunan industri (hulu) pengolahan susu. Jadi, mendirikan pabrik pengolah susu segar, pembuat bahan baku, yang selama ini diimpor. Dengan ini keseimbangan pemasaran produk jadi, yang dibuat oleh industri hilir yang ada, tidaklah akan terganggu.

Gagasan ini adalah kebijaksanaan pemerintah, yang menyarankan agar dibangun tiga pabrik. Tapi, konon Presiden Soeharto…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
MELANGKAH MAJU dengan KESUNGGUHAN HATI
1994-03-12

Ekspor anak perusahaan surya dumai group ini sudah menjangkau ke 27 negara. pertumbuhan penjualan dan…

Y
Yang dibutuhkan pelaku bisnis: Color Pages Indonesia
1994-03-26

Segera terbit color pages indonesia. katalog tentang building materials dan equipments, dengan informasi yang lengkap…

B
BIARKAN KAMI MENYELESAIKAN MASALAH ANDA
1994-01-29

Biro administrasi efek (bae) pertama di indonesia. memberikan jasa layanan bagi perusahaan yang akan dan…