Gunting Sjafrudin

Edisi: 01/19 / Tanggal : 1989-03-04 / Halaman : 63 / Rubrik : SEL / Penulis :


KERETA api ekspres De Eendaagse -- Si Sehari Sampai -- melaju cepat. Sjafruddin berada di dalamnya. Ia sedang menuju ke tempat pekerjaannya yang baru, di Kediri. Di hadapan Sjafruddin duduk seorang wanita Eropa. Usianya sekitar 40 tahun. Wanita itu terus menatapnya. Sjafruddin pun jengah. Lalu ia memberanikan diri bertanya, dalam bahasa Belanda:

"Mengapa Anda terus memandang saya? Apa ada yang aneh pada diri saya?"

Wanita itu tersenyum.

"Marilah saya perkenalkan diri saya dahulu. Saya adalah Nyonya Bonner. Masih keturunan Rusia. Saya dikarunia Tuhan dengan kemampuan melihat ke belakang dan ke depan. Saya seorang clair-voyante. Saya tertarik kepada Tuan karena saya lihat di masa depan Tuan akan memegang peranan yang amat penting."

Tetapi Nyonya Bonner menolak menyebut peran penting apa yang bakal dimainkan oleh Sjafruddin. Dalam bayangan Sjafruddin, bisa menjadi Kepala Jawatan Keuangan sudah merupakan karier bagus. Itu pun setelah 15-20 tahun bekerja.

Peristiwa itu dikisahkan Ajip Rosidi dalam biografi Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah Swt. Ketika itu tahun 1940. Bagi Sjafruddin, ucapan Nyonya Bonner tak lebih dari keisengan. Ia -- dan banyak orang juga tak membayangkan bahwa sejarah demikian cepat berubah. Bahwa lima tahun kemudian Indonesia merdeka. Lalu dibutuhkan banyak tenaga untuk mengisi pos-pos penting. Termasuk dirinya.

Sembilan tahun setelah pertemuan itu, Sjafruddin berada di Sumatera Barat. Ia memimpin PDRI -- Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Bisa dibilang ketika itu ia "presiden". Sebab, presiden sebenarnya, Bung Karno, ditawan Belanda dan sebelumnya telah memberi mandat padanya buat membentuk dan memimpin pemerintahan darurat. Pada saat bergerilya di belantara Ranah Minang itulah, ia terngiang kembali pada ucapan Nyonya Bonner. "Di masa depan, Tuan akan memegang peranan yang amat penting."

Penting? Tentu saja. Toh ia juga bukan keturunan orang sembarangan. Walaupun ia tak pernah membanggakannya. Bahkan ia menanggalkan gelar raden yang sebenarnya boleh dipakainya. Ayah Sjafruddin, Arsjad Prawiraatmadja, adalah keturunan Sultan Banten. Sedang ibunya, Noer'aini, mewarisi darah biru istana Pagaruyung, Sumatera Barat. Sama seperti istrinya, Tengku Halimah. Dan kini ia berada di negeri leluhur itu, justru sebagai orang pertama di republik ini.

Sjafruddin memang tak disebut sebagai "presiden". Dalam struktur PDRI, ia berstatus "Ketua". Dalam wawancara dengan harian Pelita tanggal 6 Desember 1978, seperti dikutip Ajip, Sjafruddin mengatakan "andai kata saya tahu tentang adanya mandat tadi, niscaya saya akan menggunakan istilah Presiden Republik Indonesia." Tetapi ia tak tahu.

Dalam keadaan perang, di antara hujan bom "presiden" dan tokoh PDRI lainnya hidup pahit. Mereka harus berpindah-pindah tempat di hutan belantara. Mereka harus menyeberangi sungai-sungai besar dengan rakit, di antaranya ada yang sempat dihanyutkan air. Di Abai Sangir, rombongan besar…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…