Debat Di Belakang Pasal
Edisi: 25/19 / Tanggal : 1989-08-19 / Halaman : 19 / Rubrik : NAS / Penulis :
KITA sering bicara tentang Undang-Undang Dasar 1945, tapi sering lupa bagaimana ia lahir. Padahal UUD '45 ini adalah kristalisasi pemikiran para Bapak Bangsa. Dan proses pengkristalannya itu, kadangkala, lebih memberi makna daripada sekadar membaca pasal-pasal yang ada. Karena dalam proses itulah justru jiwa konstitusi kita itu bisa terasa.
Proses formal pembuatan UUD '45 sebenarnya tak begitu lama. Sekelompok tokoh Indonesia - yang sekarang kita sebut para Bapak Bangsa - mengadakan dua kali pertemuan pada tahun 1945. Mereka, 62 orang yang menjadi anggota BPPKI, memulai pertemuannya pada Ahad, 29 Mei 1945 di Gedung Pejambon, Jakarta.
Pertemuan pertama itu berlangsung selama empat hari. Dan sejak hari pertama semangat peserta sudah bergelora, terutama ketika anggota Soekarno berpidato. Orator ulung ini berhasil mendapat tepukan riuh setiap kali menyuarakan tuntutannya agar Indonesia segera merdeka. Juga setiap kali ia mencemooh pendapat yang menyatakan Indonesia belum siap untuk merdeka. Tokoh yang kemudian menjadi proklamator Indonesia ini memang ahli dalam menyulut semangat persatuan bangsa.
Dan semangat ini, terbukti kemudian, memang sangat diperlukan. Sebab, beberapa hari kemudian, perdebatan sudah menghangat. Terutama pada saat pidato yang dilakukan oleh kelompok yang menginginkan bentuk negara sekuler dan yang menginginkan negara Islam. Beberapa teori tentang bentuk negara pun dibahas dan diperdebatkan baik buruknya.
Profesor Soepomo, ahli hukum adat lulusan Belanda, memaparkan tiga teori tentang negara: teori individualistik, teori kelas, dan teori integralistik. Teori individualistik adalah teori yang berkembang di Eropa Barat dan, menurut Soepomo, didasarkan pada pemikiran Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacque Rousseau, Herbert Spencer, dan Harold J. Laski.
Adapun teori kelas adalah yang digunakan pengikut paham komunis. Yakni merupakan teori yang berlandaskan pada hasil pemikiran Karl Marx, Engels, dan Lenin. Sedangkan teori integralistik, yang populer di Jerman, berkembang dari pemikiran Spinoza, Hegel, dan Adam Muller.
Pakar filsafat Frans Magnis Suseno, dalam suatu diskusi di TEMPO Kamis pekan lalu, menilai, pemikiran ketiga tokoh ini cenderung mementingkan negara daripada individu. "Jadi, bersemangat anti individualisme," katanya. Dan sikap ini memang sangat terlihat dalam diskusi yang dilakukan para Bapak Bangsa, terlepas apakah mereka dari golongan kebangsaan sekuler, Islam, atau minoritas lainnya.
"Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis," ujar Soepomo menjelaskan konsep integralistik kepada peserta sidang. Lantas ia menunjuk pada Jerman, negara yang dibangun oleh partaiNegara ini, kata Soepomo, berdiri atas dasar persamaan darah dan daerah antara pemimpinnya dan masyarakat. Karena itu kata Soepomo lagi, "Jika kita hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran negara yang integralistik. "
Paham integralistik ini, menurut Frans Magnis Suseno, menganggap negara sebagai kodrat suci suatu bangsa. Karena itu, tugas utama warganya adalah berkorban untuk kepentingan negara. Selain itu, terdapat kecenderungan untuk melihat semua…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?