Membina Tentara Yang Profesional
Edisi: 36/19 / Tanggal : 1989-11-04 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis :
Tahi Bonar Simatupang, dilahirkan di Sidikalang, Sumatera Utara, pada 29 Januari 1920. Pendidikan HIS, MULO, AMS, KMA. Doctor Honoris Causa, Universitas Tulsa, AS, 1969. Menjadi Kepala Staf Angkatan Perang RI dalam usia 29 tahun. Dipensiunkan dalam usia 39, akibat konflik dengan Bung Karno. Sempat mengetuai Dewan Gereja-Gereja Indonesia, Asia, bahkan Dunia. Menulis buku, antara lain: Laporan dari Banaran, Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai, Iman Kristen dan Pancasila. Dalam perawatan RS Tokyo Women's Medical College, di Jepang, Pak Sim -- panggilan akrabnya -- sempat memenuhi permintaan TEMPO, menuturkan sebagian perjalanan hidupnya kepada wartawan TEMPO Seiichi Okawa. Sebelumnya, di Jakarta, Ahmadie Thaha dan Bambang Harymurti mewawancarai Pak Sim tentang peranan ABRI.
SAYA lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, pada 29 Januari 1920. Sidikalang adalah ibu kota Kabupaten Dairi. Tapi, kami bukan orang Dairi. Bapak saya termasuk orang Batak pertama yang memperoleh pendidikan. Ia sudah bisa berbahasa Belanda, sehingga menjadi pegawai negeri yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di Sumatera. Ia seorang intelektual Batak.
Saya dibesarkan dan bersekolah dasar di Pematangsiantar. Di sana ada dua kampung utama. Kampung Melayu Islam dan Kristen yang dipisahkan oleh Sungai Bah Bolon. Di kampung Islam itu banyak orang Tapanuli Selatan. Tujuh tahun saya sekelas dengan Harun Nasution di sekolah Belanda di Kampung Melayu Timbang Galung. Ketika saya dan Harun Nasution mewakili dialog antarumat beragama di tingkat nasional dan internasional, sebetulnya kami melanjutkan hubungan antara Kristen dan Islam yang ada di Tapanuli. Di Pematangsiantar, khususnya. Di kota yang dihuni oleh banyak suku itu ada semacam suasana Indonesia. Banyak surat kabar di sana. Sejak dulu, kota itu jadi kegiatan yang bersifat nasional.
Bapak saya pegawai negeri, seorang pejabat di kantor pos. Dalam hierarki Belanda, itu tidak terlalu tinggi, tapi di tengah masyarakat, itu adalah jabatan penting. Antara lain ia mendirikan persatuan Kristen Indonesia, hingga akhirnya menjadi Parkindo. Saya selalu dimarahi Bapak kalau tak ke gereja. Saya memang tak suka yang rutin. Artinya saya akui, tapi rutinnya tak saya ikuti. Lantas, ia juga banyak menulis tentang Batak, mengenai sistem marga. Juga di surat kabar Belanda ada banyak kegiatannya. Beliau meninggal pada 1946. Andaikan ia masih hidup, saya yakin bahwa ia akan memainkan peranan yang cukup penting dalam Indonesia merdeka, meskipun tingkat lokal.
Ibu saya seorang wanita sederhana. Selama Bapak hidup, Ibu tak banyak memberi peranan yang berarti. Tapi, Ibu memberikan modal dasar untuk memungkinkan saya berkembang selanjutnya. Waktu saya dioperasi di Belanda, sepuluh tahu yang lalu, saya baca di Alkitab mengenai Raja Hiskia yang sakit, lantas minta kepada Tuhan supaya dikasih tambahan umur. Seorang profesor bilang kepada saya, saya seperti Hiskia. Ketika pulang ke Indonesia, saya ceritakan itu kepada Ibu. Ternyata, Ibu juga menganggap saya sama seperti Hiskia. Berarti, Ibu dan profesor di sana itu mempunyai perasaan yang tajam mengenai isi Alkitab itu.
Waktu bapak saya meninggal pada saat keadaan sulit, situasi revolusi, Ibu mulai berdagang untuk membesarkan anak-anak. Lalu, memperdalam agama, memberi bimbingan kepada kami. Perlu diingat, saat itu, mengirimkan anak-anak ke Jawa merupakan suatu pengorbanan bagi orangtua. Gaji bapak saya tidak besar. Saya datang ke Jakarta, bertiga dengan abang dan adik saya.
Saya delapan bersaudara. Yang tertua kini di Jakarta. Pernah jadi Dirjen PTT. Pernah jadi menteri muda perhubungan. Kemudian menjadi kepala Southeast Asia Transportation di Kuala Lumpur. Lalu, pensiun dan kini bisnis asuransi. Nomor dua adalah saya. Nomor tiga, di Medan, kawin dengan pegawai negeri setingkat gubernur muda. Suaminya sudah meninggal.
Yang keempat perempuan, sekarang di Bandung, kawin dengan Ir. Gultom. Lalu yang kelima, laki-laki, Dr. Ir. Simatupang, bekerja di Jerman. Keenam, perempuan, kawin dengan orang Sunda. Suaminya profesor di STT. Waktu ia mau kawin dengan orang Sunda, berat betul bagi Ibu. Kemudian saya menulis surat. Ibu menjawab, "Ya, biarlah, seolah-olah itu milik kamu (adik saya itu dibesarkan di rumah saya, sekarang jadi profesor di Jakarta) -- sebab, kalau anak perempuan itu kawin dengan lelaki yang kau anggap baik, ya, saya terima itu." Yang ketujuh, sekarang mengajar di universitas di Negeri Belanda. Lantas, yang terakhir, di Surabaya.
Sudah sejak dulu, di rumah kami sudah ada kesadaran nasional. Kami menyimpan majalah-majalah nasional. Waktu sekolah ke MULO, SMP, Nommensen namanya, di Tarutung, hampir saja saya dikeluarkan karena kepergok oleh guru ketika saya membaca pidato Bung Karno dalam bahasa Belanda, "Indonesia Menggugat". Tapi, karena saya dianggap murid terbaik, tak jadi.
Pendeta meminta kepada Bapak agar saya disekolahkan jadi pendeta. Tapi, Bapak dan saya tidak antusias. Saya lalu mulai bersekolah di Jakarta pada tahun 1937, selama tiga tahun. Lingkungan saya yang pertama adalah asrama yang juga ditempati orang-orang dari daerah lain. Misalnya, Chaerul Saleh dan Profesor Jamaludin. Di sana, ada suasana nasional. Kami menghadiri rapat-rapat nasional di Gang Kenanga. Yang penting, di situ ada Cokronegoro, salah satu pembantu Jepang. Ketika TNI didirikan di Yogya, ia jadi kolonel, saya juga kolonel dengan latar belakang yang berbeda. Dia Jepang, saya Belanda. Sehingga saling membantu mendekatkan.
Lingkungan saya yang kedua adalah Kristen Batak. Di sana, ada komunitas. Kalau ada orang meninggal, kita ikut sibuk. Orang-orang Batak itu kemudian turut ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Misalnya, Kolonel Simanjuntak. Juga Yusuf Ajitorop. Juga Bismar H. Hutapea, Tambunan, dan tentu Amir Syarifudin.
Lingkungan ketiga, sekolah Kristen Oikumene Indonesia. Di tempat yang nyaris jadi sekolah saya itu, saya berkenalan dengan mahasiswa Sekolah Teologia Tinggi. Merekalah yang kemudian menjadi pemimpin gerakan oikumene di Indonesia dan Dewan Gereja Indonesia. Misalnya, dr. Leimena.
Lingkungan keempat, sekolah. Ini penting. Sebab, sebetulnya sejak SD dan SMP-SMA, kita dididik dalam sistem pendidikan Belanda dan tanpa disengaja sebetulnya sistem pendidikan itu membuat anak-anak jadi nasionalis Indonesia. Perang kemerdekaan melawan Spanyol merupakan bagian penting dari keseluruhan sistem pendidikan Belanda. Orang Indonesia membaca itu dengan kaca mata lain. Setiap hari kita dididik menjadi nasionalis Belanda, tapi hasilnya jadi nasionalis Indonesia.
Yang perlu saya catat adalah pengalaman mengenai guru sejarah saya yang bernama De Haan. Ia melakukan analisa sejarah bahwa Indonesia tidak dapat merdeka. Ia mengatakan kepada saya bahwa Indonesia tidak dapat menjadi satu, Indonesia tidak mampu membangun angkatan perang modern yang dapat mengalahkan Belanda. Saya menjawab, itu tidak benar. Salah satu keinginan saya waktu itu adalah membuktikan ketidakbenaran mitos itu. Indonesia dapat bersatu, dan bisa membuat angkatan perang. Itulah latar belakang saya ketika memasuki Akademi Militer di Bandung.
Membuktikan Ketidakbenaran Mitos
Di Bandung, mula-mula kami semua masuk Koro. Kemudian sebagian lulus seleksi masuk Akademi Militer Belanda. Dan Indonesia tak banyak. Yang lulus, Pak Nasution, Kartakusuma, Astari, saya sendiri, dan beberapa orang lagi yang kemudian tidak begitu punya peranan. Yang punya peranan dalam ABRI dari kelas saya adalah Pak Nas, Kartakusuma, Astari, Kawilarang, dan saya. Kemudian, tahun berikutnya, ada angkatan kedua. Di situ, antara lain, termasuk Mokoginta.
Di Akademi Militer itu diberikan pelajaran menurut daftar pelajaran di Negeri Belanda. Tak banyak perubahan. Buku-bukunya dalam bahasa Belanda. Dus, intinya memberikan pandangan mengenai pokok-pokok ilmu perang, strategi, taktik. Kemudian tentu juga pokok-pokok mengenai tugas tentara Belanda di Indonesia.
Saya pelajari ilmu perang itu sebaik-baiknya. Seperti saya jelaskan tadi, saya masuk Akademi Militer dengan tekad untuk membuktikan ketidakbenaran mitos bahwa Indonesia takkan pernah mampu membangun suatu angkatan perang yang modern. Saya termasuk taruna yang terbaik di antara orang-orang Indonesia dan Belanda. Saya masuk zeni.
Di KMA itu, kami dijadikan taruna Belanda. Artinya, kami bernyanyi mengenai kebesaran Belanda. Dan itu memang menimbulkan perasaan mendua di hati kami. Setiap kali kami dapat tugas mempertahankan Belanda, kami rasakan juga sebagai tugas mempertahankan Indonesia.
Jepang menyerang pada bulan Maret 1942. Kami semua dinyatakan berhenti sekolah, dan dijadikan pasukan dengan pangkat pembantu letnan calon perwira. Pak Nas ke Jawa Timur. Saya ditempatkan di staf Resimen Pertama di Jakarta, bagian perhubungan. Waktu saya di sana, sudah ada kabar bahwa Jepang sudah mendarat di Banten. Kami tunggu. Saya ikut mundur bersama resimen dari Jakarta sampai ke Ciranjang, antara Cianjur dan Bandung. Di belakang sungai itu, sudah disediakan pertahanan untuk menghadapi Jepang.
Tapi, Jepang memasuki Bandung melalui pantai utara, sehingga tak ada lagi pertahanan. Itu sudah diperkirakan sejak semula. Seluruh persiapan disiapkan untuk itu. Yang jelas, Jepang itu bukan musuh Indonesia, tapi musuh Belanda.
Bagi kami, invasi Jepang itu menjadi tanda tanya. Jepang adalah negeri fasis yang sebetulnya tidak perlu merasa berkewajiban membebaskan negara-negara lain. Kami sudah mendengar apa…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…