Rudini, "jangan Tipu Rakyat"
Edisi: 48/18 / Tanggal : 1989-01-28 / Halaman : 14 / Rubrik : NAS / Penulis :
ANDA punya rumah mewah bak Istana Presiden Bush? Atau tanah berhektar-hektar? Bersiaplah. Menteri Dalam Negeri Rudini, dengan kata-kata bagaikan air bah awal tahun, telah datang menenggelamkan rasa nyaman Anda. Setidaknya sampai beberapa jam, mungkin sampai beberapa hari. Tapi siapa tahu.
Pada mulanya memang kata, dan kata menjadi berita. Akhir-akhir ini, itulah yang terjadi dengan Rudini. Tapi bukannya tanpa dasar. Ia menarik perhatian karena suaranya menyentuh soal yang selalu laten hidup di masyarakat Indonesia, yakni keadilan. Pilihan waktunya juga tepat, misalnya ketika -- seperti kali ini -- orang sibuk bicara tentang pajak.
Contohnya seusai ia menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, Sabtu pekan lalu. Ia waktu itu datang bersama dengan para gubernur yang baru selesai mengadakan rapat kerja.
Tanah dan bangunan di daerah yang tak dibayar pajaknya karena pemiliknya tak berdomisili di situ akan disita oleh negara. "Tidak mau bayar pajaknya berarti tak mengakui bahwa tanah atau bangunan itu miliknya," kata Rudini, seperti memaklumkan idenya lewat para wartawan.
Ia mengingatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan penyitaan seperti itu terhadap milik orang yang tak mau membayar pajak. Memang diakuinya bahwa belum ada ketentuan yang mengatur batas waktu menunggak pajak, agar penyitaan bisa dilakukan. Tapi untuk itu Rudini sudah mengusulkan kepada Menteri Keuangan: bila ditagih tiga kali berturut-turut seseorang tetap tak juga membayar PBB (pajak bumi dan bangunan), maka tanahnya akan disegel.
Ini, kata Rudini, ditujukan terhadap tanah pertanian milik orang kota yang tak produktif, suatu ketimpangan ketika para petani membutuhkan tanah garapan. Dengan kata lain, ini menyangkut soal keadilan. Dalam semangat yang sama, sebelumnya Rudini juga menyerukan agar rumah mewah dengan pekarangan yang luas serta tanah luas tak produktif milik orang kota agar dikenai PBB khusus -- bila perlu sebesar 100 kali dari biasa.
"Rumahnya saja sudah berharga milyaran rupiah. Maka, pantas bila dikenai pajak Rp 200 juta, misalnya," katanya di depan peserta Rakornas Dinas Pendapatan Daerah se-Indonesia di Balai Kota Surakarta, 12 Januari lalu.
Menurut Rudini, para pemilik tanah jenis itu adalah orang yang "tidak punya pola pikir Pancasilais". Mereka membeli tanah itu cuma dengan harapan untuk menjualnya lagi bila harga tinggi. Padahal banyak rakyat yang tak bertanah. "Maka, pukul saja mereka dengan pajak setinggi-tingginya," serunya.
Rudini memang tak cuma bicara tentang rumah ala White House dan tanah milik orang kota. Dalam rapat gubernur terbatas yang diadakan di Jakarta pertengahan Mei lalu, Menteri ini juga mengajukan ide pembatasan yang lain.
Ia menentukan untuk membatasi jabatan bupati dan wali kota cuma satu kali masa jabatan. Hanya dengan memenuhi kriteria yang amat selektif seseorang bisa mengulangi masa jabatannya yang kedua (lihat wawancara hal 18).
Rudini nampaknya memang ingin memberikan citra yang lebih baik bagi aparatnya -- dengan menjaga mereka dari kemungkinan penyelewengan karena terlalu lama berkuasa. Tentu saja ada kritik terhadap gagasan pembatasan waktu itu: justru karena hanya boleh sekali masa jabatan saja, seorang petugas akan bersikap "mumpung berkuasa" sebelum diganti.
Menurut analisa para ahli, masalahnya yang sebenarnya adalah tak adanya kontrol. Dan kontrol itu tak seharusnya cuma datang dari atas. Mungkin karena itulah Rudini, yang…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?