Lika-liku Pekerja Gelap Ke Malaysia
Edisi: 24/23 / Tanggal : 1993-08-14 / Halaman : 51 / Rubrik : SEL / Penulis : LPS
SUBUH, akhir November 1991, sebuah perahu berukuran 16 x 2 meter lepas dari Sungai Kapias di Teluk Nibung, Tanjungbalai Asahan, Sumatera Utara. Setelah menyusuri Sungai Kapias, perahu masuk ke laut lepas di Selat Malaka. Di dalam perahu, 51 penumpang, 19 di antaranya wanita, berdesak-desakan sambil berharap akan mencapai daratan Malaysia, sekitar 200 km di seberang Teluk Nibung. Tak ada sedikit pun suara penumpang, selain deru motor tempel berkekuatan 150 HP. Mereka hanya duduk hening, pasrah, dan tercekam bayangan gagal menginjakkan kaki di tanah harapan.
Gaji 300 sampai 350 ringgit tiap bulan (Rp 246.000 sampai Rp 287.000) sebagai tukang kebun, pembantu rumah tangga, ataupun buruh perkebunan cukup merangsang para pekerja Indonesia untuk mengadu nasib di Malaysia. Dan mereka tak mau menunda perjalanan. Tanpa kepastian di Malaysia, tanpa paspor, tanpa izin tinggal, tanpa dokumen ketenagakerjaan lain, para pencari kerja siap menyeberang. Tekad menuju tanah harapan tak terpengaruh oleh surat-surat itu.
Dingin makin menggigit 51 pencari kerja di atas perahu ketika hujan deras mengucur di laut lepas, dua jam setelah lepas pantai. Di balik plastik penutup yang bocor-bocor, tak terdengar keluhan penumpang yang duduk terpaku mengkerut menahan kantuk dan dingin. Pagi harinya, sekitar pukul 06.00, baru hujan berhenti. Edi, anak kapal yang punya tugas beragam, segera memasak air. Pagi itu, dengan enam mangkuk plastik yang digilir dan bekal roti dari Teluk Nibung, 51 penumpang menyantap sarapan paginya.
Selagi mereka menikmati sarapan, terdengar suara kapal patroli mendekat. Edi segera lari ke belakang dan memaksa motor tempel hingga mencapai kecepatan maksimal. Namun, perahu sarat penumpang itu tak mampu berlari lebih cepat, kapal Bea Cukai berhasil mendekat dan memerintahkan agar perahu berhenti. Semua penumpang dicekam ketakutan, kecuali Edi dan Nyak Karim, yang disebut tekong atau pemimpin perjalanan. "Tak apa-apa, semua bisa diatur," kata Karim kepada penumpang.
Ia lempar tali ke kapal patroli itu. Karim pun meluncur ke dalam kapal. Lima menit kemudian Karim meloncat kembali ke perahu, dan kapal BC menjauh. Perahu melanjutkan sisa perjalanan. "Kita kena Rp 200.000," kata Karim. Semula, menurut cerita Karim, petugas di kapal patroli minta Rp 500.000. Tapi Karim bukanlah orang baru dalam mengurus perjalanan pekerja gelap. Ia punya kekuatan untuk tawar-menawar. Matahari mulai meninggi. Pakaian di tubuh penumpang sudah mengering lagi. Edi kembali bertugas di kompornya menyiapkan makanan siang. Menu siang itu di tengah-tengah Selat Malaka adalah nasi dan sambal yang disuguhkan dalam enam piring. Para penumpang tertib antre makan siang yang sudah dijatah Edi.
Pukul 16.45 perahu berhasil memasuki perairan Malaysia. Di batas horizon sudah terlihat Pulau Angsa Dua, dan beberapa perahu nelayan setempat mulai hilir mudik. Karim segera memerintahkan Edi mematikan mesin. "Kita harus menunggu malam agar tak memancing perhatian polisi," penjelasan Karim kepada penumpang yang mulai menarik napas lega.
Perjalanan berat itu belum usai. Selepas sembahyang isya, Edi kembali menghidupkan motor tempel. Karim memerintahkan semua penumpang berbaring di lantai perahu supaya tak terlihat dari luar. "Kalau tertangkap, semua masuk penjara dan perahu saya dibakar," kata Karim. Penumpang tertib berbaring di lantai dengan waswas.
Tujuan pertama perahu, kata Karim, disebut hidro. Itu adalah sebuah pembangkit listrik tenaga uap di ujung kiri pulau, yang dikenal dengan sebutan Pelabuhan Utara. Berdasarkan rencana perjalanan, perahu akan merapat ke hidro dan kemudian menyusuri sungai di sebelahnya hingga mencapai sebuah perkebunan kelapa sawit. Namun, di tepian muara sungai, yang dalamnya hanya sebatas dada, perahu kandas.
Walau semua penumpang pria sudah dikerahkan turun untuk mendorong, perahu tetap saja tak bergerak maju. Karim memutuskan untuk kembali ke laut lepas, tetapi sembilan penumpang sudah tidak sabar lagi, dan memilih turun di muara sungai. (Belakangan, ada kabar bahwa sembilan pekerja itu gagal memenuhi cita-cita bekerja di Malaysia. Mereka ditangkap patroli Malaysia.)
Gagal menyusuri sungai, Karim mengubah haluan perahunya. Ia arahkan perahu langsung ke Pelabuhan Kelang. Ini rute yang tak biasa dan sekaligus berbahaya bagi kapal pengangkut pekerja gelap. Agaknya, Karim panik karena sembilan penumpang yang memilih turun di muara sungai tadi. Ia yakin, kesembilan penumpang tadi akan tertangkap patroli dan menyebabkan perahu Karim mudah dilacak. Maka, walau perahu masih jauh dari pantai, ia segera memerintahkan dengan paksa agar penumpang turun.
Penumpang panik. Tapi apa mau dikata. Semua penumpang, termasuk wanita, melepas pakaian luar sambil sibuk mengemasi bungkusan pakaian. Mereka harus turun ke laut yang airnya setinggi hidung. Para wanita berteriak minta tolong. Tapi perahu sudah semakin jauh, tak mau tahu lagi. Secara perlahan-lahan rombongan pekerja gelap ini berjalan di atas endapan lumpur dasar laut. Setelah satu jam berjalan, mereka berhasil mendarat di kawasan hutan bakau.
Di hutan bakau rombongan terpecah. Inong, seorang pekerja asal Tanjungbalai, bersama seorang temannya, berputar-putar tanpa arah. Akhirnya mereka melihat sinar lampu di sebuah warung di pinggir jalan. Mereka berhasil membangunkan pemilik warung yang ternyata asal Pematangsiantar, Sumatera Utara.
Pemilik warung yang sudah jadi warga negara Malaysia itu menyambut tamunya dengan baik. Ia memberikan pakaian kering, tetapi mendesak agar segera meninggalkan warung itu secepatnya. Jika tertangkap menyembunyikan pendatang haram, pemilik warung akan didenda 1.000 ringgit.
Keesokan paginya, Inong, yang mahir berbahasa Melayu, menuju Pelabuhan Kelang dengan mengenakan kebaya Malaysia, milik istri pemilik warung. Di sana ia memanggil taksi untuk tujuan Kuala Lumpur. "Sebuah perjalanan yang menegangkan," tulis teman Inong tadi, yang tak lain adalah Niddurayfays -- dia inilah yang melaporkan kisah-kisah di atas. Inong berhasil masuk Malaysia dengan aman. Niddurayfays sendiri tak tahu bagaimana nasib "teman-temannya" seperahu yang berpisah dengannya kemarin. Biasanya, kalau tak ada berita, justru selamat, karena ada gembong yang menampungnya di Malaysia. ***
Kisah perjalanan pekerja gelap ke Malaysia adalah cerita yang selalu menarik. Banyak yang menyedihkan. Tragedi kapal Bara Damai, misalnya, sampai membawa korban 47 orang meninggal…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…