Dari Dunia Kajang, Penjaga Hutan...
Edisi: 13/18 / Tanggal : 1988-05-28 / Halaman : 49 / Rubrik : SEL / Penulis :
BAU gunung mulai terasa. Jalan mulai berliku, mendaki menuruni lekuk bukit, tak lama setelah mobil meninggalkan Bulukumba kota kabupaten di kaki Pulau Suiawesi. Lalu jalan itu menikungi jembatan sempit. Di bawahnya air bening mengalir gemericik di sela batu-batu besar. Inilah perjalanku ke Kajang.
Kajang, masyarakat yang lebih dikenal sebagai mitos ketimbang keadaan sebenamya. Konon, mereka selalu berpakaian hitam-hitam, menyembunyikan rumahnya di balik lebatnya hutan, mempunyai kekuatan mistik hingga orang luar yang datang ke sana, tanpa izin mereka dan tanpa mereka kehendaki kedatangannya, hanya akan melihat hutan.
Bau gunung begitu terasa. Pokok kayu melindapkan jalanan. Semalam aku telah mendapatkan cerita tentang suku Kajang, yang mengingatkanku pada suku Badui di Jawa Barat. Dan kini, di perbatasan wilayah Kecamatan Kajang, mataku tertatap iringiringan empat gadis dan seorang perjaka berpakaian hitam-hitam, membawa payung hitam, berjalan bersama tanpa berbicara. Inilah pengantin Kajang. Mereka seolah mengangguk, mengulum senyum untukku.
Sekitar 200 km jauhnya dari Ujungpandang, 60 km dari Bulukumba, hutan Sobbu menghampar lebat. Lewat jalan tanah di pinggir hutan, mobil masuk hingga Kampung Balagana.
"Sampai di sini saja,"
kata pengantar.
"Sampai di sini?"
"Ya, seterusnya jalan kaki."
Baju hitam dan sarung hitam, kebun kopi, rumah panggung, alat-alat tenun, pohon langsat dengan buahnya yang bergerombol-gerombol, berpadu membentuk kesenyapan desa. Teduh. Desir bambu, lenguh sapi, cericit burung, suara serangga dan kokok ayam - di tengah hari sekalipun. Ya, inilah Kajang, tempat adat yang sering dimitoskan dan ditakuti itu. Di sini, di Desa Tana Towa (artinya tanah tua) dengan ibu kota, konon, di Kampung Balagana, adat Kajang berpusat.
Tak seluruh wilayah desa menjadi permukiman adat. Hanya lima dari dua belas kampung di desa itu adalah kampung adat. Dan itu berarti daerah tertutup, daerah ilalang embaya yang sakral. Daerah tempat adat ditaati dari pagi hingga malam. Sebuah daerah tepi hutan Sobbu, membentang sekitar 2 km, dipenggal-penggal oleh empat sungai kecil. Dusun Benteng, tempat kediaman Amma Towa atau pemuka adat mereka, titik pusatnya.
Ketika matahari lingsir ke barat, seorang kerabat desa mengantarkanku memasuki Dusun Sobbu, menemui Galla Putto. Ia salah seorang tokoh adat di situ. "Mobil dan motor tidak boleh masuk," kata pengantarku, sambil menunjuk anak sungai sebagai batas.
Sudah terasa, sedikit saja bau kota yang tercium di sini, di dusun yang bertabirkan rimba di sisi selatannya, dan bernaung pada tajuk pepohonan dan rumpun bambu. Satu-satunya yang menunjukkan bahwa desa ini berada di abad ke-20 adalah pakaian anak-anak dan lelaki muda, serta iringan anak sekolah - mereka seperti anak-anak dan remaja desa tetangga.
Oh, ya, zaman "modern" juga terasa jejaknya di sini lewat jeriken plastik, yang mulai banyak dipakai buat mengambil air dari sumber. Jeriken yang cara membawanya ditumpukan pada kepala, bukannya ditenteng.
Seorang bocah…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…