Wasiat Sri Sultan ; Di Seputar Wasiat Tahta Yogya
Edisi: 34/18 / Tanggal : 1988-10-22 / Halaman : 22 / Rubrik : NAS / Penulis :
MASA berkabung nasional itu berakhir sudah Kamis pekan lalu. Di Yogyakarta, keraton sudah kembali dibuka untuk umum. Turis asing, seperti biasa, mulai kelihatan mondar-mandir, keluar masuk keraton, sembari menenteng kamera.
"Sejak dibuka Sabtu lalu, sudah lebih dari 1.000 pengunjung yang datang," kata Gusti Pangeran Poeroebojo, Kepala Tepas Pariwisata Keraton Yogyakarta, awal pekan ini.
Kendati demikian, suasana duka masih terasa. Setelah satu minggu ditutup, mulai Jumat pekan lalu, sekatenan memang sudah dibuka lagi. Tapi para pedagang nampak masih sungkan untuk berteriak-teriak. Mereka belum mau menggunakan alat mikrofon untuk menjajakan jualannya.
Itulah sekatenan yang agaknya paling sepi. Musik dangdut yang sudah beberapa tahun ini menjadi warna khusus "pasar malam" memperingati bulan Maulud itu tak nampak di pentas yang disediakan. Padahal, izin untuk itu sudah diberikan keraton. Alkisah, pimpinan grup dangdut itu sudah memutuskan tak akan mentas sampai sekatenan berakhir, 23 Oktober mendatang sebagai tanda turut berduka atas mangkatnya Sri Sultan.
Corong pengeras suara yang terdapat di atas menara, dan biasa dipergunakan untuk menyampaikan berbagai pengumuman termasuk pemberitahuan anak hilang sampai sekarang terdengar hanya mengalunkan bacaan ayat-ayat suci Quran.
Keramaian justru terlihat di Imogiri. Tepatnya di kompleks makam Astana Saptarengga. Di sana, sejak hari pemakaman Sabtu dua pekan lalu, tak pernah sepi dari peziarah. Padahal, Astana itu hanya dibuka Senin dan Jumat. Maka, di luar hari itu seratusan peziarah hanya diizinkan sampai di luar makam. Ada yang menginap. Mereka bertiduran di bangsal depan masjid makam, dan di depan pintu masuk Saptarengga. Juga di tangga makam yang terdiri dari 454 anak tangga. Setiap Senin dan Jumat, menurut Djogopratomo, abdi dalem penjaga makam, sedikitnya 1.000 peziarah tumplek ke situ.
Di tempat lain, di Shwarna Bhumi, kedaton Sri Sultan di Bogor, ada sekitar 100 orang berkumpul Jumat malam pekan lalu untuk tahlilan. Mereka adalah penduduk sekitar kedaton. Dan K.R.Ay. Norma Nindyokirono, istri terakhir Sri Sultan, dengan ramahnya meladeni para tetamunya.
Acara mengenang Sri Sultan mungkin masih akan panjang. Namun, bagi keluarga besar Keraton Ngayogyakarta, ada persoalan yang masih harus mereka selesaikan. Salah satu adalah status tanah dan harta keraton. Ada sejumlah tanah yang dibagi-bagikan keraton kepada lembaga desa, dan hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kas desa bersangkutan. Sampai kini, menurut Pangeran Hadiinoto, adik Mangkubumi, status tanah itu belum jelas.
"Tak ada terkandung maksud dari keraton untuk mengklaim tanah yang sudah dibagikan itu," katanya. Kepada Tepas Wahono Sartoknyo, instansi keraton yang mengurusi tanah dan bangunan milik keraton, dia…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?