Ada Saat Genting Dan Saat Piknik...
Edisi: 45/17 / Tanggal : 1988-01-09 / Halaman : 101 / Rubrik : BK / Penulis :
JOHN Coast pada dasarnya adalah seorang "pemberontak." Ia meninggalkan kota kelahirannya, Cheltenham, pada usia muda, dan bekerja di kantor pusat bisnis Keluarga Rothschild di London. Tapi ia tak merasa krasan bekerja di kota. Lalu ia minta berhenti, dan menganggur.
Selang beberapa tahun, Coat mendaftarkan diri sebagai pasukan pengawal pantai, dan ditempatkan di Resimen Norfolk. Tahun 1941, ia ditugaskan ke Basra untuk melindungi pipa minyak. Ketika Jepang menyerang Pearl Harbour, Resimen Norfolk menugaskannya ke Singapura.
Tujuh belas hari setiba di Singapura, Coast ditangkap tentara Jepang, dan ditawan selama hampir 3,5 tahun. Pengalamannya menjadi tawanan perang dituangkan Coast dalam buku Railroad of Death.
Waktu ditahan Jepang itulah Coast, menurut pengakuannya, pertama kali ketemu orang-orang Indonesia, dan belajar bahasa Indonesia. Bebas dari tahanan, Coast bertolak ke Indonesia, dan kemudian bekerja sebagai penerjemah pada Departemen Luar Negeri. Ia kemudian diangkat sebagai anak oleh Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim.
Ketika Belanda menyerang Indonesia pada 1946, Coast diminta Angkatan Udara Republik Indonesia membantu menembus blokade ekonomi Belanda. Ia berulang kali terbang ke Singapura dan Bangkok membawa misi pemerintah.
Coast menikah dengan Sutianti, putri anggota Raad van Indie, Soejono, dan sekarang menetap di London. Coast, + 70 tahun, yang masih sering ke Indonesia, menuliskan pengalamannya membantu Indonesia dalam buku Recruit to Revolution: Adventure and Politics in Indonesia.
Diangkat Anak oleh Haji Agus Salim
HAJI Agus Salim, menteri luar negeri dalam kabinet Amir Syarifuddin, 64 tahun, dan Mohamad Hatta merupakan "tokoh" paling hebat di antara semua pemimpin Indonesia. Ia cukup tua untuk tidak takut pada siapa pun. Tapi ketuaan itu juga membuat tubuhnya tak dapat menampung pikirannya yang masih aktlf.
Tak heran bila orang sering bertanya-tanya bagaimana cara Agus Salim mengendalikan Departemen Luar Negeri. Apalagi, sepulang dari lawatan ke Timur Tengah yang melelahkan, dia sering terlihat beristirahat di Kaliurang -- tempat peristirahatan yang paling disukainya.
Selama Agus Salim beristirahat, Departemen Luar Negeri dikelola oleh tiga tenaga inti. Untuk penetapan keputusan-keputusan penting kebijaksanaan luar negeri yang harus dilakukan dengan cepat diambil alih langsung oleh Perdana Menteri Hatta.
Setelah kekuatannya pulih, dan kembali ke Yogyakarta, Agus Salim bertekad mengambil alih kembali tampuk pimpinan dan tanggung jawab di Departemen Luar Negeri. Hatta tak berkeberatan. Ia cuma khawatir tokoh tua itu jatuh sakit lagi, karena bekerja kelewat keras.
Kesehatannya belakangan memang mulai rapuh. Tapi ia tak peduli. Dokter melarangnya merokok, toh ia terus menikmati kretek kesenangannya. Sebagai seorang haji dan muslim yang saleh, ia tak dibenarkan meminum minuman keras. Tapi seorang dokter menganjurkannya minum wiski untuk pengobatan. Maka, salah satu tugas saya, yang berhubungan dengan menembus blokade Belanda, memelihara agar selalu tersedia "obat" itu di lemari obat-obatan.
Tokoh paling menarik dari semua menteri ini seorang pembicara yang hebat dan berpengetahuan luas. Ia bisa menghanyutkan kita berjam-jam untuk sebuah topik pembicaraan, misalnya tentang pergerakan nasional. Karena, ia bisa menyampaikan permasalahan yang rumit secara gamblang dan memikat.
Untuk saya, bekerja dengannya berarti menerjemahkan dan memberi komentar terhadap dokumen-dokumen. Begitu tahu saya bukan seorang polisi, ia mempekerjakan di bawah Darmanto, salah seorang yang menentukan di Departemen Luar Negeri.
Kebanyakan dokumen yang saya kerjakan berhubungan dengan berbagai perundingan. Itu berarti saya harus bekerja erat dengan tokoh-tokoh perunding, seperti Mr. Mohamad Roem, Ali Budiarjo, dan Sultan Hamengkubuwono IX. Dari kegiatan itu saya bisa mengetahui perkembangan situasi.
Roem, yang menganggap Agus Salim sebagai orangtua, juga penganut Islam berpandangan luas. Ia salah seorang pemimpin generasi muda Masyumi. Kakinya agak pincang karena ditembak seorang serdadu Belanda. Roem, 39 tahun, salah seorang penandatangan Perjanjian Linggarjati (1947), orang yang baik hati dan toleran, bahkan terhadap musuhnya.
Ali Budiardjo adalah sekretaris delegasi Indonesia dalam Perundingan Linggarjati. Ia, ketika itu berusia 34 tahun, kawan dekat Sutan Sjahrir. Ia selalu berpakaian perlente. Selalu segar dan tenang dalam setiap pemunculan. Sesungguhnya ia menderita asma.
Sebelum Perang, Belanda telah menandainya sebagai tokoh muda yang bisa diharapkan di kemudian hari. Ia secara akademis cerdas. Tapi, sebagaimana Sultan Hamengkubuwono, ia sudah berpihak kepada Republik sejak awal.
Ali pada dasarnya seorang intelektual dan priayi Jawa. Pada usia yang begitu muda barangkali ia akan heran mendengar bahwa hari depan bangsa ada di tangannya.
Agus Salim kemudian mengangkat saya sebagai anak dan sekaligus menjadi asisten. Ke mana saja ia dan Darmanto pergi, saya mesti ikut. Adalah Agus Salim yang membuat saya sering mengadakan kontak politik secara langsung dengan Bung Hatta.
Bung Hatta, bersama Soekarno dan Sjahrir, adalah salah seorang tokoh besar Indonesia. Ia dikenal moderat dan tak punya kepentingan pribadi. Ia bisa dingin, kasar, menakutkan, dan juga yang bisa mendisiplinkan orang. Kebanyakan pemimpin Indonesia, bahkan sampai tingkat menteri, takut kepadanya. Ketakutan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Tamparan untuk Pengingkar Hadis
1994-04-16Penulis: m.m. azami penerjemah: h. ali mustafa yakub jakarta: pustaka firdaus, 1994. resensi oleh: syu'bah…
Upah Buruh dan Pertumbuhan
1994-04-16Editor: chris manning dan joan hardjono. canberra: department of political and social change, australian national…
Kisah Petualangan Wartawan Perang
1994-04-16Nukilan buku "live from battlefield: from vietnam to bagdad" karya peter arnett, wartawan tv cnn.…