Ketika Revolusi Kebudayaan...

Edisi: 46/17 / Tanggal : 1988-01-16 / Halaman : 101 / Rubrik : BK / Penulis :


DALAM sejarah komunisme di Cina tak ada peristiwa politik sehebat Revolusi Kebudayaan. Gerakan massa yang berlangsung selama satu dasawarsa itu (1966-1976) meninggalkan bekas sangat dalam pada hampir semua orang dari semua lapisan masyarakat Cina.

Tapi golongan yang paling menderita akibat keganasan Revolusi Kebudayaan adalah kaum intelektual. Begitu rendahnya kedudukan mereka, sehingga mendapat julukan "kategori kesembilan yang bau busuk". Di antara sembilan golongan masyarakat yang dianggap sampah oleh reim Mao Zedong, kaum intelektual merupakan sampah paling busuk.

Revolusi Kebudayaan dilancarkan atas perintah Mao, ketika tersingkir dari kepemimpinan Partai Komunis Cina (PKC). Ia, pada pertengahan t960-an itu, memang masih memegang jabatan ketua partai, tapi kedudukan tersebut lebih merupakan suatu kehormatan dan seremonial ketimbang kekuasaan.

Sementara itu, setelah memperhatikan perkembangan PKC yang ditempanya sejak pertengahan 1930-an untuk menjadi suatu partai revolusioner, Mao menarik kesimpulan bahwa kegiatan rutin dan birokratisme dalam tubuh PKC telah melunturkan elan revolusi.

Untuk mengembalikan semangat revolusi yang hampir hilang itu perlu Revolusi Kebudayaan. Tapi seruan Mao itu tak digubris para penguasa partai, seperti Liu Shaoqi, Deng Xiaoping, dan tokoh-tokoh lain yang dianggap Mao "borjuis". Terpaksa Mao menghimpun kekuatan di luar PKC -- yang kemudian dikenal sebagai Hongqeibing (Pengawal Merah).

Salah satu tujuan yang ingin dicapai Mao adalah mengubur kesenjangan antara kerja otak (intelektual) dan kerja tangan (buruh dan tani) serta kesenjangan antara kota dan desa. Maka, kaum intelektual dibuang ke pedesaan.

Liang Tua (nama panggilan bagi ayah Liang Heng) adalah salah seorang intelektual yang mendapat kritikan tajam. Ia lalu dikirim ke pedesaan untuk "belajar dari masa tani". Liang Tua sebelumnya bekerja sebagai wartawan senior pada Harian Hunan.

Turut bersama Liang Tua ke tempat pembuangan anaknya, Liang Heng, dan istri mudanya, Zhu Zhidao. Selama di pengasingan, Liang Heng memperhatikan kehidupan kaum tani Cina yang begitu melarat, dan cara ayahnya menghadapi kenyataan hidup yang ditemui. Pengalaman-pengalaman di desa pembuangan itu kemudian dituangkan dengan jujur dan menarik oleh Liang Heng dalam buku Son of Revolution.

Liang Heng, lulusan Institut Keguruan di Changsa, menikah dengan Judy Saphiro, gadis Amerika yang mengajar bahasa Inggris di sekolah saksi mata Revolusi Kebudayaan itu. Kini keduanya tinggal di New York. Son of Revolution ditulis Liang ketika mengikuti program doktor dalam kesusastraan Cina pada Universitas Columbia, New York.

Kami menjadi Petani

AKHIRNYA, Ayah "bebas". Para kader, kata Ketua Mao Zedong, melakukan kesalahan lantaran terlalu lama terpisah dari akar. Mereka harus kembali ke pedalaman dan dididik lagi untuk waktu yang panjang. Mereka diharapkan bisa membangun wilayah-wllayah Cina yang terisolasi, dan sekaligus bisa "memotong buntut kapitalisme" dengan pengetahuan revolusioner mereka.

Ayah percaya, dia akan menjadi petani sampai akhir hayatnya. Tapi ia gembira. Kemauannya untuk kembali ke pekerjaan semula nampaknya telah hilang. "Terlalu berbahaya untuk menggantungkan hidup pada pena," candanya. "Aku lebih suka punya bakat jadi petani. Kamu pun akan menjadi anak petani, sehingga tak akan ada lagi orang menuduhmu punya latar belakang hidup yang buruk." Alasan lain, dengan jadi petani Ayah bisa lagi hidup bersama istrinya, ibu tiriku, yang sudah dinikahinya selama lima tahun.

Permohonan Ayah untuk tinggal di Desa Changsha yang gersang segera dikabulkan pemerintah. Ibu tiriku, Zhu Zhi-dao dari Kelas Pendidikan Pikiran-pikiran Ketua Mao langsung ke Changsha. Ia membawa kekayaannya yang tak seberapa.

Februari 1969. Musim semi merupakan saat yang dinantikan semua unit. Walau pesta tak lagi diizinkan pemerintah, toh perayaan musim semi tetap ada. Di semua pertunjukan drama, kami menonton pekerja-pekerja propaganda, yang berpakalan seperti pemuda pelajar, berbaris dengan tas di punggung dan tangan memegang Buku Merah Kecil -- berisi petikan karya-karya Mao. Mereka menyanyikan:

Ke perbatasan, ke pedalaman Di mana revolusi benar-benar memerlukan kita Partai yang agung, ketua yang tercinta Kami siap melaksanakan komandomu Ke perbatasan, ke pedalaman tempat yang paling keras di bumi.

Petani-petani berpipi merah menyambut mereka dengan babi, ayam, dan ikatan-ikatan padi yang dibuat dari karton, sambil menyanyi: "Selamat datang, selamat datang, betapa lama kami menunggu oleh-olehmu ...."

Kedua kelompok bertepuk tangan, lalu memandang ke arah penonton sebagai pujian terhadap tanah air. Ayah-ayah kami yang kriminal telah menjadi para pahlawan.

Ayah, Zhu Zhi-dao, dan saya hadir dalam rapat-rapat persiapan di kantor surat kabar. Kami harus duduk dengan sikap sempurna dan memegang Buku Merah yang ditempelkan ke dada. Setiap orang harus memperlihatkan semangat yang tinggi untuk menjadi petani. Setiap ada kesempatan, Ayah selalu menyenggol saya dengan sikunya untuk menyadarkan saya dari konsentrasi pada penganan yang disediakan, kacang dan rokok, yang menjadi tujuan utama kedatangan banyak orang.

Pada waktu itu saya sudah pandai melafalkan slogan-slogan yang tercetak di koran-koran, dan kapan harus mengucapkannya. Dengan patuh saya mengumandangkan tekad untuk mencruskan obor revolusi.

Tak lama kemudian kami harus pergi lagi. Kami dipindahkan ke Kabupaten Changling - sebuah daerah miskin yang terletak di selatan Distrik Hengyang. Di situlah kami akan tinggal dan mencan makan.

Masalah terburuk bagi para kader adalah kekurangan perabot rumah tangga. Hamplr semua tldak punya yang bisa dlsebut milik sendiri. Semua yang mereka dapatkan di rumah-rumah petaknya, seperti kamar, air, dan listrik, sudah termasuk dalam sewa bulanan - sebanyak 5 yuan.

Kekurangan kayu di Changsa, akibat pembabatan hutan besar-besaran yang terjadi pada waktu Lompatan Jauh ke Depan, sangat buruk sekali. Membuat perabot bersama-sama adalah mustahil. Di pasar tak ada kayu sama sekali. Untung, kantor surat kabar menyelamatkan kami. Mereka setuju menjual tempat tidur kepada setiap keluarga seharga 70 yuan - harga yang masuk akal.

Ayah merasa kaya, karena Kelas Pendidikannya membayar kembali sebagian gajinya yang ditahan selama 16 bulan bekerja di sana Maka, Ayah bisa membeli meja dan barang lain yang mungkm kami perlukan: topi…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

T
Tamparan untuk Pengingkar Hadis
1994-04-16

Penulis: m.m. azami penerjemah: h. ali mustafa yakub jakarta: pustaka firdaus, 1994. resensi oleh: syu'bah…

U
Upah Buruh dan Pertumbuhan
1994-04-16

Editor: chris manning dan joan hardjono. canberra: department of political and social change, australian national…

K
Kisah Petualangan Wartawan Perang
1994-04-16

Nukilan buku "live from battlefield: from vietnam to bagdad" karya peter arnett, wartawan tv cnn.…