Golkar, Setelah Disapih Abri

Edisi: 03/18 / Tanggal : 1988-03-19 / Halaman : 28 / Rubrik : NAS / Penulis :


ADA "adegan" menarik di panggung demokrasi selama sebelas hari di Senayan yang berakhir 11 Maret minggu lalu. Dalam mengamankan rancangan GBHN, F-ABRI dan F-KP selalu kompak, tidak demikian dalam pencalonan wakil presiden. Ketika F-KP mencalonkan Sudharmono sebagai wapres, F-ABRI tidak memunculkan sebuah nama, tapi belakangan hanya mendukung calon F-KP. Ini berbeda dengan lima tahun lalu, ketika mereka -- bersama Fraksi Utusan Daerah -- kompak mencalonkan Umar Wirahadikusumah sebagai wapres.

Perpecahan? Bukan. Agaknya lebih tepat disebut: ABRI berusaha tidak lagi seratus persen "memayungi" Golkar. Tanda-tanda kebijaksanaan militer -- yang selama ini jadi patron Golkar -- untuk bisa beda pendapat dengan partai pemerintah itu cukup banyak. Pada 1985, F-ABRI menyorot lemahnya koordinasi di antara instansi pemerintah, dengan menunjuk membengkaknya SIAP (Sisa Anggaran Pembangunan) sebagai indikator. Setahun kemudian, F-ABRI mensinyalir kerawanan masalah tanah dan kurangnya tokoh yang bisa diteladani.

Dan tahun ini -- sebulan sebelum SU MPR -- F-ABRI mengungkapkan pengaplingan tanah di Irian Jaya oleh oknum-oknum di Jakarta. Dan dalam bulan yang sama muncul beda pendapat antara F-ABRI dan F-KP dalam pembahasan RUU Prajurit ABRI. Perubahan sikap fraksi yang selama ini dikenal pendiam itu selaras dengan perubahan pandangan pimpinan ABRI dalam beberapa tahun belakangan ini, yang menganggap kedudukan anggota ABRI di lembaga legislatif sebagai bagian dari jenjang karier, untuk membuktikan kemampuan berdwifungsi.

Di lain pihak, adakah itu Golkar mulai disapih agar mandiri? ABRI memang bermaksud demikian, ketika Pancasila sudah jadi satu-satunya asas, dan orang tak lagi bersengketa soal ideologi, tapi bisa beda pendapat dalam program, mestinya. Bila stabilitas politik sudah dianggap mantap, keadaan boleh dibilang aman, ABRI dapat lebih berperan sebagai dinamisator, membantu pertumbuhan demokrasi.

Sikap ABRI yang mulai bersikap netral sudah diperlihatkan dalam pemilu 1987, dan sempat memancing partisipasi politik masyarakat. Sejak itu rupanya sudah diniatkan memandirikan Golkar, yang memang pas dengan niat Golkar. Dalam Munas II, 1978, di Bali, misalnya, terdengar kritik bahwa Golkar belum…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?