Kisah Seorang Pendakwah Besar
Edisi: 03/23 / Tanggal : 1993-03-20 / Halaman : 61 / Rubrik : SEL / Penulis : TK
"Pada usiaku yang ke-39, aku berada di kota suci Mekah. Saat itulah, untuk pertama kali dalam hidupku, aku berdiri di hadapan Ciptaan Yang Mahakuasa dan merasa menjadi manusia yang utuh."
(The Autobiography of Malcolm X, seperti dituturkan kepada Alex Haley)
INILAH kisah seorang manusia yang bangkit dari limbah dunia kriminalitas, dan menjadi pemimpin revolusi hitam di Amerika Serikat.
Kalender menunjuk 19 Mei 1924 ketika di Omaha, Nebraska, seorang bayi kulit hitam lahir dan diberi nama Malcolm Little. Kelak, bayi itu begitu terkenal dengan nama Malcolm X, dan setiap kulit hitam muslim di AS tahu siapa dia. "X", nama itu diberikan oleh orang yang membuatnya menjadi muslim. "X" suatu cara untuk mengidentifikasikan dirinya dengan budak-budak hitam Afrika yang diangkut ke Amerika. Dulu, pada abad ke-19, bahkan nama orang-orang hitam itu tak diacuhkan oleh pedagang- pedagang budak, dan karena itu mereka hanya disebut sebagai "X".
Malcolm Little, seperti kebanyakan kaum kulit hitam pada awal tahun 1900-an di Amerika Serikat, berkubang dalam kemelaratan, dan menghirup udara perbedaan perlakuan ras. Ayah Malcolm, Earl Little, adalah pendeta Gereja Baptis. Dia aktif dalam organisasi UNIA (Asosiasi Perbaikan Kaum Negro Sedunia). UNIA mengibarkan panji-panji kaum kulit hitam asli, dan menganjurkan kembali ke Afrika, tanah nenek moyang mereka. Ibu Malcolm, Louise, adalah anak hasil pemerkosaan laki-laki kulit putih yang tidak pernah diketahui namanya. Karena itu Louise berkulit putih, rambut lurus hitam, tetapi kalau bicara beraksen Negro. Malcolm Little adalah satu-satunya dari delapan bersaudara yang berkulit tidak gelap dan berambut merah. Begitu tumbuh dewasa, Malcolm seperti ayahnya: tinggi, besar, dan gagah.
Kehidupan keluarga pendeta Little bukan saja jauh dari kecukupan, tetapi juga banyak mengalami ancaman. Pada suatu malam, ketika Louise Little mengandung Malcolm, anaknya yang ketujuh, rumahnya diberondong tembakan oleh gerombolan KKK (Ku Klux Klan), organisasi antiras hitam. Setelah mengetahui bahwa pendeta Little tidak di rumah dan mereka hanya berhadapan dengan wanita yang tengah hamil besar, gerombolan KKK itu tak melanjutkan terornya.
Peristiwa rasial yang tetap melekat di sanubari Malcolm terjadi tahun 1929. "Saya masih ingat, ketika ibu saya baru melahirkan adik saya, Yvonne. Rumah kami dibakar oleh kelompok Black Legion," tutur Malcolm X, seperti yang ditulis oleh Alex Haley. "Saya takut dan bingung mendengar suara tembakan dan melihat api yang membakar rumah kami." Ayahnya malam itu sempat menembak dua orang penunggang kuda yang mengenakan jubah hitam. Itulah jubah seragam Black Legion, organisasi lokal anti-Negro.
Teror Black Legion malam itu tampaknya peringatan untuk Pendeta Little agar membatalkan rencananya membuka warung di East Lansing, daerah Black Legion. Membuka usaha sendiri adalah salah satu usaha UNIA untuk mengajar kaum Negro mandiri. Tetapi itulah, usaha yang pada zaman sekarang terdengar sangat wajar dan tak bakal menimbulkan apa pun itu, pada zaman itu bila dilakukan oleh kulit hitam taruhannya nyawa. Jangankan buka usaha, di kawasan itu ada peraturan bahwa kulit berwarna dilarang keluar rumah pada malam hari. "Karena itu, rumah kami dibakar. Tak ada sebuah barang pun yang kami selamatkan, kecuali lari keluar rumah ketika api menyambar-nyambar. Kami terpaksa pindah ke luar Kota East Lansing."
Pada suatu malam, Malcolm terbangun dari tidurnya. Dia mendengar ibunya menangis dan menjerit. Di ruang tamu, tampak olehnya dua orang polisi. Mereka mengabarkan bahwa Earl Little meninggal ditabrak mobil. "Kabarnya, tubuh ayah hampir terbelah dua dan tengkorak kepalanya hancur." Bisik-bisik di Lansing mengatakan, Black Legion yang membunuh Earl Little. Usia Malcolm waktu itu baru enam tahun.
Depresi tahun 1934 semakin membebani kebanyakan rumah tangga kulit berwarna. Kemelaratan semakin menyelimuti kehidupan Louise Little dan kedelapan anaknya. "Ibu harus berdebat dulu untuk bisa berutang di toko makanan." Tak jarang, makanan yang mereka dapat berstempel "cuma-cuma," atau bertuliskan "tidak untuk dijual".
"Kami semakin kehilangan harga diri. Saya pun semakin sering keluyuran mencari sesuatu yang bisa dimakan. Misalnya, pada saat jam makan saya tetap nongkrong di rumah keluarga pengunjung gereja, bekas jemaah ayah, dengan harapan mendapat tawaran makan. Juga saya mulai mencuri kecil-kecilan."
Kemudian datanglah orang-orang dari gereja Advent ke rumah Louise Little. Hari Minggu kami pun pergi ke gereja Advent. "Kami senang karena setelah upacara kebaktian selesai, kami mendapat makanan yang enak-enak." Keluarga Little kemudian berganti sekte dari Baptis menjadi Advent, dan mengharamkan daging kelinci dan babi.
Pernah seorang pria bujangan berkunjung ke rumah Louise. "Ibu saya, 36 tahun waktu itu, adalah janda cantik. Kami berharap kalau ibu menikah dengan tamu itu, kehidupan kami akan berubah. Tak…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…