Di Balik Bom Untuk Qadhafi

Edisi: 04/17 / Tanggal : 1987-03-28 / Halaman : 45 / Rubrik : SEL / Penulis :


DELAPAN belas pesawat militer Amerika melesat dari lapangan udara Lakenheath di Inggris, 14 April 1986 yang lalu. Inilah awal sebuah penerbangan 14 jam dengan jarak tempuh 5.400 mil. Tujuan: Tripoli, Libya.

Sehari kemudian dunia I pun kaget. Beberapa sudut Tripoli, ibu kota Libya, hancur karena bom dari pesawat F-111 Angkatan Udara AS. Sejumlah korban, termasuk anak-anak, diratapi. Adalah Mayor Abdel Salam Jalloud, orang kedua Libya, yang waktu itu langsung menuding Presiden Reagan sebagai biang serangan gelap itu. Dan kata Jalloud, sasaran serangan itu tak diragukan lagi, tak lain dan tak bukan Kolonel Muammar Qadhafi dan keluarganya. Sebab, di kawasan kediaman Presiden Libya itu keadaan memang tinggal puing.

Tapi baru sekaranglah bisa dikatakan, tanpa ragu, bahwa sembilan dari 18 pesawat jenis mutakhir itu telah melakukan "misi damai"-nya, yakni menghancurkan sasaran yang telah direncanakan.

Dan Jalloud ternyata benar; sasaran itu adalah Presiden Libya dan keluarganya.

Misi yang dikomando dari Gedung Putih ini merupakan titik puncak upaya gelap-gelapan selama lima tahun dari pemerintahan Reagan untuk melenyapkan Qadhafi -- tokoh yang dituduh mendalangi semua kegiatan terorisme terhadap AS. Sejak awal 1981 dinas intel AS CIA telah menggosok-gosok dan mengajak berkomplot kelompok-kelompok pelarian Libya dan sejumlah pemerintah asing, khususnya Mesir dan Prancis. Kepada mereka CIA menyarankan sebuah kudeta -- dan membunuh, bila perlu terhadap orang kuat Libya yang ganjil dan menjengkelkan itu.

Seymor M. Hersh, penulis yang sedang menyiapkan buku tentang kebijaksanaan luar negeri pemerintahan Reagan, berhasil mewawancarai 70 pejabat dan bekas pejabat di Gedung Putih, Deplu, CIA, Badan Keamanan Nasional (NSA), dan Pentagon. Yaitu orang-orang yang terlibat dengan "misi perdamaian" itu. Hasil wawancara meyakinkan Hersh bahwa sasaran utama serbuan pesawat-pesawat tempur AS itu memang untuk membunuh Qadhafi, bukan yang lain.

Semua itu memang diputuskan dengan sangat hati-hati oleh Gedung Putih. Termasuk membuat manipulasi dan pengelabuan untuk menutupi sasaran sesungguhnya, bahkan dari mata para profesional di Deplu dan Pentagon.

* * *

Para perencana serangan terhadap Libya tak menggunakan Situation Room Gedung Putih ruangan yang biasanya digunakan memutuskan hal-hal penting -- sebagai tempat berapat. Mereka khawatir, di Situation Room pembicaraan bisa terkuping oleh staf lain. Mereka jadinya memilih kantor bekas Kapten (AL) Rodney B. McDaniel, sekretaris eksekutif Dewan Keamanan Nasional (NSC). Grup ini resminya disebut Crisis Pre-planning Group, yang melibat sangat sedikit orang. Khusus mengenai dokumen dan kertas kerja perencanaan pengeboman, diserahkan kepada sebuah subkomite yang diketuai oleh Kolonel Oliver North -- nama yang kini sedang jadi berita karena dia juga terlibat dalam penjualan senjata AS ke Iran, dan bantuan senjata kepada gerilyawan Nikaragua.

Bagi North, anggota marinir yang pada awal 1985 duduk sebagai pejabat puncak NSC untuk urusan teorisme, rencana ini adalah sebuah kesempatan untuk membuka babak baru. Yakni menggunakan langsung kekuatan militer.

Untuk rencananya itu North telah memperhitungkan secara teliti. "Menggunakan kekuatan militer kita yang mampu dan terlatih baik, memberikan peluang sukses yang cemerlang. Tapi keberhasilannya, bagaimanapun, bergantung pada kemulusan kerja intel dan ketepatan waktu serta penempatan pasukan. Misi kontraterorisme ini merupakan operasi berisiko tinggi. Sebagaimana suksesnya bisa punya dampak positif yang besar, kegagalannya pun akan mengakibatkan dampak negatif yang besar pula."

Ketika serbuan kepada Libya berlangsung, North, bersama Poindexter dan Teicher, telah terlibat berat dalam masalah penjualan senjata gelap kepada Iran. Mereka juga terlibat dalam menyalurkan keuntungan dari penjualan senjata itu, melalui rekening sebuah bank Swiss yang dikuasai North, kepada gerilyawan Contra di Nikaragua.

North tampaknya orang tepat untuk misi-misi berisiko tinggi. Rencana serangan terhadap Qadhafi umpamanya, hanya ia sendiri dan sedikit koleganya yang menekuninya. Dan mereka, katanya, tidak meninggalkan catatan tertulis. Kolonel ini memang dikenal tak suka bekerja dengan kertas-kertas. "Tidak ada executive order untuk membunuh dan tak ada administrative directive untuk menyasar kepada Qadhafi," seorang bekas pejabat NSC mengutip ucapan North. Artinya, bila ada yang mencoba mencari jejak rencana ini, paling jauh ia hanya akan mendapatkan bahwa itu hasil kerja orang partikeliran biasa, tak melibat pemerintah mana pun.

* * *

Bahkan perintah pengeboman resmi oleh Gedung Putih kepada Pentagon tidak menyebutkan tenda tempat kerja atau kediaman keluarga Qadhafi sebagai sasaran. Yang ditetapkan sebagai target adalah pusat komando dan kontrol, serta rangkaian gedung pemerintah di barak Al-Azziziya di Tripoli. Tetapi justru ini yang luput dari bombardemen, seperti juga bangunan militer di bandara Tripoli dan lokasi tempat latihan tentara komando Libya di dekat kota pelabuhan Sidi Bilal. Juga barak-barak militer ternyata selamat dari bom, karena pesawat yang ditugasi salah mengirim suvenir maut itu ke kawasan padat penduduk dekat Kedubes Prancis di Tripoli.

Tapi kerahasiaan itulah yang kemudian justru jadi persoalan. Yakni setelah target utama misi itu, yaitu kediaman Qadhafi, diketahui.

Kata seorang perwira intel AU-AS yang banyak tahu tentang operasi ini, "Tidak usah dipermasalahkan mengapa Qadhafi yang jadi sasaran. Brifing memang sudah mengarah ke sana. Mereka memang telah siap membunuhnya." Seorang penerbang AU yang terlibat dalam operasi khusus dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi ini mengakui, "pembunuhan itulah pokok soalnya."

Para perwira senior AU Amerika sebelumnya secara diam-diam telah menduga bahwa sembilan dari 18 pesawat dalam misi khusus tersebut memiliki 95 persen "PK" (probable kill), kemungkinan membunuh. Bayangkan saja, setiap dari sembilan F-111 membawa empat biji bom 2.000 pon. Lalu, para penerbang dan perwira persenjataan berusia muda, yang duduk sisi menyisi di dalam kokpit, dilengkapi dengan foto pengenalan lapangan yang menggambarkan, menurut seorang perwira intel AU, "di mana adanya Qadhafi dan di mana keluarganya."

Eloknya, kebanyakan penerbang yang terlibat dalam misi maut ini bukan penerbang kawakan. Justru tugas ini adalah tugas tempur pertama bagi mereka.

Kediaman Qadhafi dan tenda Baduinya yang disarukan, tempat biasanya Presiden Libya itu bekerja sepanjang malam, terletak di lapangan di kawasan Al-Azziziya. Gagasan menjadikan keluarga Qadhafi sebagai sasaran, menurut seorang asisten di NSC yang ikut terlibat, diilhami oleh pendapat sejumlah perwira senior CIA. Para perwira dinas rahasia itu mengatakan bahwa dalam budaya Badui seorang pemimpin…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…