Sebuah Konstitusi, Di Zaman Bom...
Edisi: 25/17 / Tanggal : 1987-08-22 / Halaman : 30 / Rubrik : NAS / Penulis :
KAPAN sebuah bangsa bisa disebut merdeka? Menjawab pertanyaan ini, Soetardjo Kartohadikoesoemo menyahut, "Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan".
Waktu itu akhir Mei 1945. Soetardjo, saat itu berusia 53 tahun dan menjabat Residen Jakarta, mengatakannya dalam suatu sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (disingkat BPKI). Soetardjo adalah seorang dari 60 anggota badan yang dibentuk Jepang buat mengkaji segala aspek yang menyangkut berdirinya Indonesia Merdeka.
Soekarno meleceh jawaban Soetardjo itu beberapa hari kemudian. "Jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka," ucapnya, disambut tepuk tangan riuh hadirin. "Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita," ujarnya lebih laniut.
Soekarno, waktu itu 44 tahun, mengucapkan itu pada 1 Juni 1945 dalam pidatonya yang masyhur, yang kemudian sering disebut "Lahirnya Pancasila".
Bisa dimengerti bila Soekarno tak sabar mendengar uraian Soetardjo. Saat itu memang zaman tak sabar. Zaman penuh gejolak. Bau kemerdekaan sudah makin merebak di antara para pemuka bangsa Indonesia. Bala tentara Jepang sudah terdesak mundur di berbagai front. Menyadari berada di ambang kekalahan, Jepang merayu rakyat Indonesia dengan menjanjikan kemerdekaan dan membentuk BPKI. Toh, BPKI yang diumumkan pembentukannya pada 1 Maret 1945 baru mulai bersidang 28 Mei 1945.
Para anggota BPKI terdiri dari orang-orang yang ditunjuk Jepang, mewakili berbagai kelompok masyarakat: priayi, golongan agama, nasionalis, peranakan Cina, Arab, dan Indo Belanda. Yang mencolok adalah tidak terwakilinya golongan pemuda dalam badan tersebut. Tidak ada nama Sjahrir, Chaerul Saleh, Sukarni, atau Adam Malik, misalnya.
Padahal, mereka itulah kelompok yang paling keras dan tidak sabar dalam menuntut kemerdekaan. Ironis, memang, bahwa kelompok pemuda yang kelak menjadi barisan terdepan dalam revolusi Indonesia tersebut tidak terwakili dalam penyusunan konstitusi, suatu dokumen historis yang kemudian menjadi azimat bangsa.
Tapi menjelang kemerdekaan itu barisan pemuda memang belum merupakan suatu kekuatan nyata, sehingga Jepang menganggap perlu memberi mereka perwakilan dalam BPKI. Para wakil bangsa Indonesia, yang kemudian diangkat menjadi anggota BPKI, dengan begitu lebih mewakili "golongan tua" yang dianggap berpengaruh dalam masyarakat. Susunan dan perimbangan keanggotaan BPKI ini kemudian ternyata sangat mempengaruhi isi dan gaya UUD 1945.
Kaum nasionalis sekuler, misalnya, lebih kuat terwakili dibandingkan golongan Islam (sekitar 34% dibanding 11%). Di antara deretan golongan nasionalis tersebut tercantum…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?