Dolar Jatuh, Durian Jatuh ?

Edisi: 37/17 / Tanggal : 1987-11-14 / Halaman : 93 / Rubrik : EB / Penulis :


DOLAR jatuh, sejauh ini, seperti durian jatuh. Sebagian orang senang. Sebagian lain cemas. Yang senang para penyusun strategi moneter Amerika Serikat. Yang cemas hampir semua orang di Jepang.

Misalnya Menteri Keuangan Kiichi Miyazawa pekan lalu. Dalam sebuah konperensi pers, ia menegaskan bahwa mata uang yen "sudah mencapai puncaknya" dalam gerak naiknya yang cepat belakangan ini. Itu berarti, Jepang sudah menganggap keterlaluan beratnya bobot yen dibandingkan dengan mata uang AS sekarang. Maka, dengan tergopoh-gopoh, bank sentral Jepang pun mencoba mencegah makin turunnya dolar -- yang berlangsung terus sampai ke titik terendah dalam sejarah sesudah Perang Dunia II, 134,40 yen.

Dalam usaha mencegah itu, Bank of Tokyo, selama tiga hari di pekan itu setiap harinya memborong dolar dari pasar uang. Konon, sempat menghabiskan dana sampai US$ 1 milyar. Dengan bertindak begitu, bank yang berkewajiban mengatur arus dan nilai tukar uang itu berharap akan dapat membikin langka dolar AS, agar harganya tak sampai jatuh benar. Tapi apa mau dikata?

Dolar toh perlu turun, kata hampir semua ahli dan pejabat keuangan AS. Sejak runtuhnya harga-harga di pasar saham The New York Stock Exchange di "Senin Kelam" baru-baru ini, di Washington mulai terdengar suara: proses devaluasi dolar, yang sebenarnya berlangsung perlahan-lahan sejak dua tahun lalu sampai turun 40%, tak usah dicegah.

Benarkah? Agaknya, orang perlu ingat kembali sejarah naik turunnya dolar selama beberapa tahun terakhir ini: hampir persis tiga tahun yang lalu, para komentator dan analis ekonomi ramai berbicara tentang "superdolar". Dengan gairah. Majalah Business Week di minggu pertama Oktober 1984 bahkan menampilkan karikatur George Washington -- yang wajahnya terpampang kekal di mata uang Amerika yang hiiau itu -- sebagai dewa bayu yang muncul dari balik awan: ia meniup lintang-pukang pelbagai mata uang dunia, dan anginnya sekaligus menggerakkan kapal-kapal dagang dari dan ke arah pelabuhan New York.

"Sangat mungkin bahwa dolar akan tetap kuat melintasi seluruh dasawarsa ini," kata menteri keuangan AS waktu itu, Donald T. Regan, orang kepercayaan Presiden Reagan. Ramalan ini, seperti halnya kedudukan orang yang mengucapkannya, kemudian ternyata rontok. Tapi di masa itu, optimisme memang sedang berkibar. Orang Amerika seakan melihat kembali masa kejayaan AS di tahun 50-an, ketika negeri itu dengan jelas mendominasi perekonomian dunia yang baru dilanda perang. Kekalutan (baca: inflasi) yang merundung di tahun 70-an tampaknya telah sirna. Memang, dolar yang super itu berhasil menekan gerak naiknya harga yang terus-menerus timbul bersama kian banyaknya uang beredar. Ray Fair, seorang ahli ekonomi dari Universitas Yale, menghitung bahwa naiknya nilai dolar waktu itu telah memotong 2% setahun tingkat inflasi.

Rasa cemas melihat akibat buruk superdolar memang sudah ada. Perusahaan Amerika, dengan perhitungan ongkos barang dan jasa dalam dolar yang mahal, gampang kalah bersaing. Ingersoll-Rand Co.,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
SIDANG EDDY TANSIL: PENGAKUAN PARA SAKSI ; Peran Pengadilan
1994-05-14

Eddy tansil pembobol rp 1,7 triliun uang bapindo diadili di pengadilan jakarta pusat. materi pra-peradilan,…

S
Seumur Hidup buat Eddy Tansil?
1994-05-14

Eddy tansil, tersangka utama korupsi di bapindo, diadili di pengadilan negeri pusat. ia bakal dituntut…

S
Sumarlin, Imposibilitas
1994-05-14

Sumarlin, ketua bpk, bakal tak dihadirkan dalam persidangan eddy tansil. tapi, ia diminta menjadi saksi…