Ganyang Modhong, Dan Begu Ganjang
Edisi: 40/17 / Tanggal : 1987-12-05 / Halaman : 78 / Rubrik : KRI / Penulis :
BELUM tengah malam. Tapi penghuni Kampung Baru sudah lelap. Tohun Gultom, 65 tahun, tersentak kaget. Didengarnya keributan di halaman rumahnya. Ia mengintip, siapa gerangan yang datang. Bah, sekitar 30 orang mengepung rumahnya. Membawa tombak, parang, pentungan kayu. Mereka menyorotkan senter dan berteriak agar Tohun keluar. Ia membangunkan anak istrinya. Tapi ia sendiri lalu ngumpet di belakang rumah.
Gerombolan mendobrak pintu, mengobrak-abrik seluruh isi rumah. Jerit tangis tak dihiraukan. Istri Tohun bahkan diseruduk tombak. Luka parah. Dan Tohun tetap bersembunyi hingga mereka pergi. Mereka lantas menuju sasaran amuk berikutnya. Rumah Mintan Gultom, 58 tahun dan Bisman Gultom, 50 tahun -- adik-adik Tohun. Di sini mereka bahkan siap membakar rumah. Tapi Bisman dan keluarganya sempat berdoa, "Tuhan, kalau kami bersalah, biarlah hari ini juga kami mati." Lalu Bisman mengambil pedang, istri dan anaknya mengambil tombak. Siap melawan. Dan Tuhan melindungi. Mereka selamat. Para pengacau itu pergi.
Itu bukan adegan film Santet. Tapi kisah nyata itu terjadi pada 28 Oktober lalu, di Kampung Baru, Kecamatan Tanjung Tiram -- 151 km dari Medan. Gerombolan tersebut terdiri warga sedesa juga. Mereka memang bukan perampok. Tak ada harta yang dijarah, meski bagi pemilik rumah, harta bendanya itu tak bisa lagi dimanfaatkan.
Ketika Polres Asahan mengusut, persoalan jadi jelas. Tiga bersaudara itu dituduh memelihara begu ganjang -- hantu yang dikenal penduduk Tapanuli, yang diyakini bisa diperintah membunuh orang. Tapi Tohun membantah. "Itu fitnah. Begu ganjang tak pernah kami kenal, karena kami ber-Tuhan," katanya.
Korban kekerasan gara-gara dituduh memelihara begu ganjang cukup banyak, terutama di Tapanuli. Di Jawa Barat, korban pembunuhan juga berjatuhan lantaran dicurigai jadi tukang teluh. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, korban bergelimpangan karena disangka nyantet. Di Bali, pembunuhan sering terjadi karena korban dianggap punya ilmu leak. Di Nusa Tenggara Barat dan Timur, pertarungan ilmu leo-leo tak jarang memakan korban.
Dalam ilmu ini ada bersatu nusa dan bersatu bangsa juga. Karena bermacam bahasa untuk satu nama. Begu ganjang (Tapanuli), teluh (Sunda), tenung (Jawa Tengah), santet, modhong (Jawa Timur), leak (Bali), leo-leo, pedang pekir (Nusa Tenggara), se'er (Madura), dan seterusnya....
Bermacam sebutan itu ditandai satu macam kesamaan. Ada orang yang sakit aneh tak sembuh-sembuh meski sudah dibawa ke dokter, lalu dibawa ke dukun. Eh, di tempat Pak Dukun, ia bilang, "Wah, ada yang ngerjain." Lalu syak wasangka berkembang. Dan sasaran dicari. Dan korban pun jatuh, setelah dicegat, didatangi di rumahnya, dipukuli, dikeroyok, dirajam.
Lingkungan masyarakatnya masih juga sama. Saudara-saudara kita yang mempercayai santet dan sejenisnya rata-rata berpendidikan rendah. Biasanya terimpit kesulitan hidup, sarana kesehatan tak memadai. Maka, kalau…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Genta Kematian di Siraituruk
1994-05-14Bentrokan antara kelompok hkbp pimpinan s.a.e. nabanan dan p.w.t. simanjuntak berlanjut di porsea. seorang polisi…
Si Pendiam Itu Tewas di Hutan
1994-05-14Kedua kuping dan mata polisi kehutanan itu dihilangkan. kulit kepalanya dikupas. berkaitan dengan pencurian kayu…
KEBRUTALAN DI TENGAH KITA ; Mengapa Amuk Ramai-Ramai
1994-04-16Kebrutalan massa makin meningkat erat kaitannya dengan masalah sosial dewasa ini. diskusi apa penyebab dan…