Rapbn 1987-1988, Tanpa Devaluasi

Edisi: 46/16 / Tanggal : 1987-01-10 / Halaman : 66 / Rubrik : EB / Penulis :


TEMPAT-tempat penukaran uang tak lagi sesak oleh antrean orang mencari dolar. Suasana panas di bulan Desember, yang menyebabkan bank sentral harus mengeluarkan valuta asing lebih dari US$ 2 milyar itu, berangsur-angsur mereda. Tapi orang tetap harap cemas menanti Presiden Soeharto mengantarkan Nota Keuangan dan RAPBN 1987-88 mendatang yang pekan ini disampaikan di sidang pleno DPR.

Apa yang tampak di sana? Di saat harga minyak sewaktu-waktu masih bisa tergelincir, volume anggaran mendatang itu ternyata ditetapkan Rp 22.783 milyar, atau 6,4% di atas tahun anggaran berjalan. "Tapi harap hati-hati, angka RAPBN itu dihitung setelah devaluasi, dengan kurs baru Rp 1.650," kata Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Prof. Ali Wardhana.

Sikap awas seperti itu memang diperlukan untuk membaca pos penerimaan pajak migas dan bantuan proyek yang masing-masing dianggarkan Rp 6,9 trilyun dan Rp 5,4 trilyun. Kedua pos ini harus diperhatikan, karena penerimaan dolar dari keduanya dalam perhitungan-anggaran baru itu dikonversikan dengan kurs Rp 1.650 untuk mendapatkan rupiah. Padahal, untuk anggaran berjalan, kurs yang dipakai kedua pos itu Rp 1.135.

Jadi, bila penghitungan anggaran penerimaan migas dan bantuan proyek dilakukan dengan kurs yang sama, maka RAPBN 1987-88 mendatang itu sesungguhnya lebih rendah Rp 2,5 trilyun dibandingkan anggaran berjalan yang Rp 21,4 trilyun. "Penghitungan dengan kurs baru itulah yang menyebabkan kemerosotan RAPBN mendatang tidak kelihatan," tambah Menko Ali Wardhana.

Yang merisaukan, pemakaian kurs baru untuk penghitungan anggaran itu ternyata menyebabkan beban membayar bunga dan cicilan utang luar negeri menggelembung jadi hampir Rp 6,8 trilyun. Kalau anggaran untuk seluruh pengeluaran rutin 1987-88 diperkirakan akan tetap Rp 15 trilyun, maka berarti sekitar 45% harus disisihkan untuk mengangsur bunga dan pinjaman itu (lihat: Utang dalam Persen). Dengan kata lain, untuk pertama kalinya terjadi, tingginya kewajiban kepada luar negeri lebih besar dibandingkan dengan seluruh belanja pegawai yang dianggarkan Rp 4,3 trilyun.

Betapapun terasa berat, menurut Presiden Soeharto, usaha menyelesaikan utang itu tetap harus dipenuhi. "Ini adalah masalah kehormatan dan tanggung jawab bangsa berdaulat," katanya. "Dengan memenuhi kewajiban membayar bunga dan cicilan utang itu, kita justru mendapatkan kepercayaan dunia, hingga memungkinkan kita memperoleh pinjaman siaga."

Harga yang harus dibayar untuk memenuhi kewajiban memang mahal. Sebab, sisa rupiah yang ada di kantung pemerintah nantinya hanya akan tinggal Rp 2,209 trilyun. Angkanya jelas jauh berbeda dengan tabungan untuk tahun berjalan yang masih berjumlah hampir Rp 4,8 trilyun. Apa yang bisa dilakukan dengan simpanan yang nilainya hanya dua kali jumlah seluruh Tabanas dan Taska itu? Bisakah dengan jumlah uang sebesar itu tercipta proyek besar yang akan menyerap banyak lapangan kerja?

Untuk menambah daya dorong…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
SIDANG EDDY TANSIL: PENGAKUAN PARA SAKSI ; Peran Pengadilan
1994-05-14

Eddy tansil pembobol rp 1,7 triliun uang bapindo diadili di pengadilan jakarta pusat. materi pra-peradilan,…

S
Seumur Hidup buat Eddy Tansil?
1994-05-14

Eddy tansil, tersangka utama korupsi di bapindo, diadili di pengadilan negeri pusat. ia bakal dituntut…

S
Sumarlin, Imposibilitas
1994-05-14

Sumarlin, ketua bpk, bakal tak dihadirkan dalam persidangan eddy tansil. tapi, ia diminta menjadi saksi…