Dana Revolusi: 20 Tahun Kemudian ; Melacak Dana Revolusi

Edisi: 49/16 / Tanggal : 1987-01-31 / Halaman : 12 / Rubrik : NAS / Penulis :


RAMAI-RAMAI soal "Dana Revolusi" rupanya belum akan berhenti. Tokoh SOKSI Suhardiman yang beberapa pekan lalu pertama melontarkan masalah tersebut, pekan lalu muncul lagi dengan bukti yang lebih meyakinkan". Kepada para wartawan, mayjen purnawirawan yang kini menjabat Wakil Ketua bidang Polkam F-KP di DPR itu memperlihatkan beberapa lembar fotokopi.

Dokumen itu tak lain Surat Kuasa dari Dr. Raden Subandrio, 72, Waperdam I/Menlu di zaman Orde Lama, kepada Musa bin Mohammed Kasdi. Warga negara Malaysia ini, yang beralamat di Petaling Jaya, Selangor, diberi kuasa mencairkan dana atas nama Subandrio di Union Bank, Swiss. Menurut Suhardiman, 53, upaya itu gagal total.

Tapi, upaya Suhardiman untuk meramaikan masalah "Dana Revolusi", yang jumlahnya dikatakan mencapai US$ 16 milyar atau Rp 26,5 triIyun, jelas tidak gagal. Kamis pekan lalu, Menmud Sekkab Drs. Moerdiono menyatakan bahwa kini pemerintah memang sedang melacak tentang seberapa jauh kebenaran atau keberadaan dana tersebut. "Kalau memang benar uang itu ada, akan diusahakan agar dikembalikan kepada negara," katanya.

Menurut Moerdiono, yang sedang dicari tahu itu bukanlah uang "Dana Revolusi" yang rekeningnya atas nama Subandrio, melainkan semua uang yang diperkirakan milik negara yang disinyalir tersimpan di bank-bank di luar negeri. Artinya, tidak tertutup kemungkinan bakal ditemukan dana-dana lain atas nama pejabat di masa Orde Lama, yang tercecer di bank-bank luar negeri. Moerdiono tegas menyatakan, istilah "Dana Revolusi" untuk menyebut dana pemerintah yang sedang diuber itu kurang tepat. Istilah itu entah bagaimana bisa muncul .

Kepada TEMPO, Moerdiono menegaskan bahwa kini memang sudah ada yang ditugasi melakukan pelacakan. Ia menolak mengungkapkan upaya apa saja yang tengah dilakukan. "Pemerintah mempunyai caranya sendiri," ujarnya. Ia mengharapkan, dalam waktu dekat ini sudah bisa diketahui secara pasti ada tidaknya dana yang diributkan itu. Dan kalau ada, berapa nilainya, dalam bentuk apa disimpan - giro atau deposito - serta di bank mana saja dana itu tersimpan. "Ini soal rawan, penanganannya jelas harus hati-hati sekah," katanya.

Dengan nada kesal, Moerdiono mengungkapkan banyaknya calo yang menawarkan jasa dan seolah bisa mencairkan dana dengan meminta imbalan komisi yang jumlah atau persentasenya sungguh tidak masuk akal. "Apa-apaan mereka itu. Belum-belum sudah menyodorkan perincian rencana pengeluaran," katanya lagi.

Ada dana ada semut. Apalagi kalau menyangkut fulus yang begitu fantastis jumlahnya. Maklum jika banyak pihak yang tergiur untuk ikut memiliki, atau paling tidak bisa turut kecipratan. Satu per mil saja dari Rp 26,5 trilyun, ditanggung bisa untuk hidup penuh kemewahan selama tujuh turunan, 'kan?

Sayangnya, untuk bisa ikut menguasai sebagian dari kekayaan yang jumlahnya pasti tak akan terbayangkan oleh pemburu harta karun nomor wahid sekali pun tidak begitu mudah. Meski tersimpan atas nama Subandrio, dana di atas agaknya bukan milik pribadi. "Dana Revolusi" memang mempunyai cerita yang lumayan panjang.

Itulah dana yang dihimpunkan di zaman Bung Karno, yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 19/1960. Di sini, antara lain diatur kewajiban semua perusahaan negara menyetorkan sebagian dari keuntungannya kepada pemerintah.

Seingat Suhardiman, yang ketika itu menjadi Direktur Utama PT Taya Bhakti sebuah perusahaan di lingkungan TNI AD - keuntungan yang wajib disetorkan adalah 5%. Tapi menurut Frans Seda, yang saat itu menjadi menteri perkebunan, besarnya 25%. Bila banyak yang sudah lupa memang bisa dimaklumi. Perpunya sendiri, yang sudah berumur seperempat abad lebih, memang sudah sulit ditemukan berkasnya.

Para importir tak luput terkena pungutan. "Siapa yang mau mengimpor barang dengan devisa sendiri harus menyetor Rp 17 untuk tiap US$ 1," ujar Hasjim Ning, 70, pengusaha yang kala itu beken dengan julukan Raja Mobil Indonesia. Dari impor suku cadang mobil merk Jeep, Dodge, dan Ford ketika itu, Ning mengaku sempat menyetor sekitar Rp 425 juta ke Bank Negara Indonesia. Cuma, Hasjim Ning lupa, apa yang menjadi dasar pungutan Rp 17 per US$ 1 itu, dan tak tahu persis untuk keperluan apa dana yang ditarik dari pos itu.

Waktu itu banyak juga berbagai jenis pungutan. Misalnya saja, harian Pikiran Rakyat 1 Maret 1965 menyebutkan pembebanan sebesar Rp 100 ribu…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?