Orang Israel Meraba-raba Perdamaian

Edisi: 15/16 / Tanggal : 1986-06-07 / Halaman : 39 / Rubrik : SEL / Penulis :


BAGAIMANAKAH sebetulnya sikap orang Israel terhadap perdamaian? "Inilah debat yang tak kunjung sudah," tulis Thomas L. Friedman dalam The New York Times Magazine, belum lama berselang. Di setiap sudut jalan di kota-kota Israel, debat itu bisa didengar: terkadang ramai, seperti tawar-menawar dagangan, lain kali mendesah seolah takut membangunkan bayi yang lagi tidur.

Halaman-halaman tajuk rencana pun sering tersita oleh soal perdamaian. Dan hampir setiap Jumat malam di antara para keluarga yang duduk mengeriung, perdamaian jadi santap malam mengasyikkan. Bahkan, diskusi itu terjadi juga dalam bis-bis yang sedang melaju ke arah utara, atau pada setiap perlintasan, setiap perjumpaan dua kenalan yang bertukar sapa.

"Isu perdamaian telah menjadi salah satu latar belakang keingarbingaran masyarakat Israel," tulis Friedman. Apa yang harus dilakukan untuk menciptakan perdamaian? Seberapa banyak harus dikorbankan buat perdamaian itu?

Dalam beberapa bulan belakangan ini, persoalan itu seperti mencuat lebih nyata ketimbang waktu-waktu sebelumnya. Ada yang mengatakan itu karena keputusan Perdana Menteri Shimon Peres, yang secara agresif melanjutkan serenceng perundingan dengan Raja Hussein dari Yordania. Lebih ke belakang lagi, tampaknya, pendorong tetap keramaian itu adalah "harapan" orang-orang Palestina di sepanjang Tepi Barat, yang dikangkangi Israel sejak perang dengan Arab, 1967.

Perundingan-perundingan perdamaian itu sendiri belum ketahuan bagaimana jadinya. Apalagi kekerasan antara orang-orang Israel dan Palestina, yang tetap saja berkesinambungan, menjadikan perundingan seperti tidak ada. Meski demikian, orang-orang Israel berbicara tentang perdamaian dengan sangat bersungguh-sungguh.

Bahkan Aleph Yud, koran yang diterbitkan para pemukim Israel di Tepi Barat, tidak segan-segan memuat artikel dengan nada menyundir ke alamat Tel Aviv. Surat kabar itu memperingatkan, setiap pemerintahan Israel yang mencoba melepaskan bagian Tepi Barat - yang dalam Injil disebut Judea dan Samaria - hendaklah bersiap-siap menerima "adegan yang paling mengerikan ... pemberontakan angkatan bersenjata, sebuah kebangkitan tentara di Judea, Samaria, Gaza, dan akhirnya perang Yahudi melawan Yahudi."

Dengan kata lain artikel itu menyatakan, pemerintahan yang melepaskan Tepi Barat dengan sendirinya "tidak sah", telah membangkitkan amarah Perdana Menteri Peres, dan mendorong Menteri Pertahanan Yitzhak Rabin memberangus Aleph Yud untuk sementara. Bila dikaji benar-benar, semuanya ini merupakan refleksi hal yang sudah beberapa lama tersimpan: pada saat kebenaran mengenai masa depan Tepi Barat tiba, debat orang Israel tentang perdamaian tidak lain kecuali mendambakan hadirnya ketenteraman.

"Sebagai seorang yang meliput berita-berita Israel hanya dari dunia Arab, tempat saya tinggal, selama beberapa tahun, saya kaget. Begitu datang di Israel, saya melihat sedikitnya diplomat Arab maupun Barat yang memahami betapa bercampurbaurnya perdebatan di kalangan orang Israel," tulis Friedman, yang kini kepala biro TNYT Magazine di Yerusalem. "Dan betapa telah menjadi begitu rumitnya sikap orang Israel terhadap perdamaian."

Begitu wartawan ini tiba di sana pada musim panas 1984, seorang temannya bercerita bahwa sedang berlangsung yeshiva di Kota Lama Yerusalem. Pada upacara itu, para pemuda menenun pakaian yang akan dikenakan para Pendeta Tinggi ketika Imam Mahdi (Mesias) datang dan memugar rumah ibadat. Betapa ironis, kata Friedman. "Bahwa ketika kedua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat sedang berdebat dengan diri sendiri di suatu tempat entah di mana, apakah akan menerima Resolusi PBB 242,1967, tentang mempertukarkan wilayah dengan perdamaian, di Yerusalem sejumlah orang bersiap-siap menerima kedatangan sebuah kerajaan Imam Mahdi Yahudi di Israel."

Maka, terlihat kian jelas bahwa seluruh retorika politik, yang telah dikembangkan para diplomat Arab, Israel, dan Amerika sejak 1967, telah menjadi usang dan tak terjamah. Sebabnya, munculnya begitu banyak peristiwa silih berganti dalam benak orang-orang Israel. Bahasa diplomasi - "Resolusi 242", "Resolusi 338", "proses perdamaian", "kompromi wilayah", "penyelesaian menyeluruh", bahkan "perdamaian" dalam konotasi politik itu sendiri - telah kehilangan makna bagi kebanyakan orang Israel.

"Semua perbincangan tentang perdamaian telah menjadi semacam dengung mantra," kata Mordechai Bar-On, anggota sayap kiri Knesset (parlemen Israel). "Kami telah mendengarnya banyak kali, dan tiap kali berubah, sehingga pengertian yang ingin didukungnya kian aus. Itu mengingatkan saya akan cerita tentang para tahanan yang disekap bersama untuk waktu yang lama, yang telah menceritakan kisah masing-masing begitu seringnya. Lalu, ketika mereka ingin menceritakan suatu lelucon, mereka cukup menyebut 'Cerita No. 6' atau 'No. 10', langsung mereka terbahak-bahak."

* * *

Untuk memahami perdebatan orang Israel tentang perdamaian dan tingkah laku mereka yang mengendalikannya, pertama-tama harus dipahami perubahan sikap secara besar-besaran di kalangan orang Israel yang berlangsung sejak Perang 1967. Sampai Juni 1986, Israel telah menduduki Tepi Barat selama 19 tahun - persis sama dengan jumlah tahun berkuasanya Yordania di kawasan itu, yang dimulai pada 1948. Dari Juni dan seterusnya, wilayah sengketa itu bagi sejarah Israel tentulah telah berubah maknanya. Dalam jangka waktu itu seluruh generasi baru Israel telah lahir, dan bagi mereka mengebut ke Hebron di Tepi Barat sama tak canggungnya dengan berpacu ke Haifa.

"Ketika orang-orang Arab menolak datang ke meja perundingan setelah Perang 1967," kata Shlomo Avineri, teroris politik terkemuka Israel, "Golda Meir selalu suka berkata, 'Kita akan menunggunya beberapa bulan, satu tahun, mungkin dua tahun.' Tapi kemudian para pemimpin salah memahami pengaruh waktu. Mereka menganggap tidak ada yang akan berubah bila kita menunggu. Tapi, nyatanya, seluruh peta psikologis negeri ini telah berubah."

Peta baru Israel telah merasuki tidak hanya jalan pikiran anak-anak para pemukim Tepi Barat - yang tiap hari tertempa ideologi - tapi juga oleh rata-rata anak muda Israel yang buta politik dan tinggal di Yerusalem dan Tel Aviv sekalipun.

Susan London, seorang reporter di Yerusalem yang rajin mengadakan seminar bagi para pelajar sekolah menengah dengan pokok acara tentang hidup berdampingan Arab-Yahudi, bercerita. Ia pernah berbicara di depan kelas sebuah SMA dan melihat para pelajar tidak tahu batasan "Tepi Barat" yang sesungguhnya. Mereka telah dicekoki dengan batasan injili Judea dan Samaria, dan di dalam peta yang mereka punyai tidak terdapat garis demarkasi pra-1967.

"Hal pertama yang saya lakukan adalah mengambil beberapa batang kapur dan menunjukkan kepada mereka bagian peta yang menjadi wilayah yang kini dikenal sebagai 'Tepi Barat'," kata Nona London. "Anak yang paling pintar di kelas adalah siswa kelas 11 dari Gilo, kawasan pinggiran baru Yahudi persis di selatan Yerusalem, dan ia tidak tahu bahwa Gilo berada di Tepi Barat dan pernah menjadi wilayah Arab. Ketika saya mengungkapkannya, ia berkata, 'Oh, itu sebabnya rupanya orang-orang Arab suka melontar mobil kami dengan batu'."

Boleh jadi pertanda zaman paling jujur adalah kenyataan bahwa kita di sana ada Monopoli versi Yahudi. Itu memungkinkan para pemainnya membeli rumah dan hotel di kota-kota Tepi Barat seperti di Hebron, Bethlehem, dan Nablus - seperti juga dulu di kota-kota Israel pra-1967, misalnya di Tel Aviv dan Netanya.

Waktu telah menciptakan realitas baru…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…