Perjalanan Perahu Surga
Edisi: 24/16 / Tanggal : 1986-08-09 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :
NUNG, nung, ning. . . goong . .. Dengung gamelan berirama rancak itu -mengentak-entak di tengah hari yang gerah. Matahari memang sedang menyengat di Desa Siong, Kecamatan Dusun Timur, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Selatan, awal Juli lalu. Temperatur udara kampung yang terletak 255 km barat laut Banjarmasin ini lebih dari tiga puluh derajat Celsius. Dan angin sedang terlelap rupanya.
Nung, nung, ning ... goong .... Udara gerah. Amat gerah. Sesekali, di saattangan punya kesempatan, kedua lelaki penabuh nalente dan panewang tetabuhan yang berupa 4 gong besar dan 6 gong kecil -- menepis dengan cepat bulir-bulir keringat yang membasahi wajahnya. Sedetik kemudian, tangantangan itu kembali lincah memukul gamelan. Nung, nung, ning ... goongggg ....
Lima belas menit kemudian, senyap ....
"Tetabuhan itu baru terdengar bila ada upacara adat," ujar Syamsir Ijan, 45, seorang penabuh tadi sambil melepas dua kancing bajunya. Menyedot nikmat kreteknya, lelaki suku Dayak Manyaan itu kini duduk bersila, berdempet-dempetan dengan puluhan orang sesukunya di bale -- tempat asal bunyi gamelan tadi.
Di bale, sebuah bangunan berbentuk rumah panggung beratap seng, luhan orang-orang Manyaan duduk berimpit-impit. Kadang terdengar derit belahan bambu, tempat mereka berkumpul di lantai bale yang luasnya sekitar 6 x 12 meter.
Wanita-wanita berpakaian rapi saling berceloteh. Sementara lelaki-lelakinya lebih suka asyik mengepul-ngepulkan asap rokok. Sedang di tepi bale, di dekat gamelan yang ditata menggantung, beberapa remaja asyik bercanda. Gumam orang-orang di bale ini bagai suara ratusan lebah. Berisik.
"Ini hari keenam ijambe, sebentar lagi kami akan melakukan ucapan nampotei karebau," ujar Syamsir. Ijambe, itulah rupanya upacara adat Manyaan yang dihantarkan oleh nung, nung, ning, goong tadi. "Upacara untuk mengantar arwah kerabat menuju ke datu tunjung, menuju ke surga," kata Syamsir.
Tengah hari yang gerah di Siong. Kampung kecil yang hanya berpenghuni 117 jiwa itu sudah semarak sejak pagi. Ratusan orang telah berdatangan ke hunian suku Dayak Manyaan itu. Debu berhamburan tersepak kaki-kaki, tergerus roda motor dan beberapa mobil yang lalu lalang. Jalan utama kampung selebar lima meter yang pada hari-hari biasa lengang, kala itu riuh rendah.
Upacara mengantar arwah suku Manyaan berlangsung tujuh hari penuh. Memang tak seperti dulu: hanya sepuluh mayat yang telah berumur belasan tahun segera diupacarai, sebelum akhirnya diserahkan kepada api. Ya, kepada api, mirip ngaben di Bali.
Seorang anak kecil lepas dari gandengan ibunya. Berhenti di depan penjual balon yang sedang menggelembungkan warna-warni balon karet. Puluhan orang asyik mendengarkan bualan tukang obat lewat pengeras suara yang sember bunyinya. Dan lagu-lagu Indonesia mendayu-dayu lewat tape recorder warung-warung "tiban" yang berjajar di kiri kanan bale. Siang yang bising, Siong yang berpesta.
Di antara hiruk-pikuk di luar dan gumam orang-orang di bale, Tagen beringsut maju. "Saya mau mengantar arwah kepada Tuhan," ujar wanita berusia 75 tahun itu sambil membetulkan bahalai pinjung kelek-nya. Kain batik berbentuk seperti kemben itu menutup badannya sebatas dada.
Lalu Tagen, sambil membetulkan letak kakaman, selendang batik yang tersampir di pundaknya, menghadap seorang wanita yang berpakaian mirip dia. Hanya yang terakhir ini mengenakan ubel-ubel merah di kepalanya yang di bagian belakangnya berjumbai dua daun sawang. Tagen tepekur ketika kepalanya ditaburi beras putih segenggam. Ubel-ubel merah dan jumbai daun itu kini terpasang pula di kepalanya.
"Tagen kini menjadi balian, orang yang memimpin upacara adat," bisik Syamsir, si tukang tabuh tadi. Kini lengan, pelipis, dan di bawah lubang tenggorokan nenek yang matanya rabun itu ditutul cairan kapur -- titik-titik putih warnanya. "Itu dinamai tenrek," ujar Leter, 50, balian yang baru saja menyerahterimakan tugasnya kepada Tagen, "Kalau tanpa tenrek bisa keliru membaca mantra."
Sementara Leter dan 3 balian yang lain beristirahat menunggu giliran berikutnya, Tagen bersiap-siap menjalankan tugasnya. Sudah lebih lima jam para balian itu bergiliran membaca mantra di hari keenam ijambe.
Sambil memejamkan mata, agen menghela napas sejenak. Suasana di dalam dan di luar bale masih berisik. Tangan kiri nenek yang keriput itu kini mengenakan sarayunggeley, gelang yang digantungi bulatan putih dan berhiaskan manik-manik. Tangan itu menjumput beras yang menggunung di niru di depannya.
Wurr . . . wurr . . . beras-beras itu ditaburkannya di hadapannya. Sambil membetulkan silanya, perempuan tua itu bergumam membaca mantra: "Ngele mandre damang madis manre, munkuy elan raden nyawangiup. "Wuur . . . wuur . . . beras ditabur lagi. Mulut Tagen terus komat-kamit dalam bahasa pangunraun, bahasa halusnya Dayak Manyaan.
Kadang di sela-sela pembacaan jampi-jampi itu, tangan Tagen menggerak-gerakkan luwuk, besi yang bentuknya seperti penggaris. Para balian percaya bahwa benda ini bisa menghindarkan dia dari tarikan arwah yang sedang mereka doakan. Maksud mereka 'kan cuma mengantarkan, tapi tidak, atau belum, kepengin ikut pergi ke dunia lain. Sementara luwuk itu pun "sebagai penunjuk jalan agar perjalanan arwah-arwah tidak tersesat," kata Tagen.
Hari semakin siang, matahari semakin terik. Angin mulai bertiup sedikit. Tapi agaknya arwah-arwah itu masih saja terlelap. "Hai, bangunlah engkau dari tidur yang lelap!" ujar Tagen mengulangi mantra pembuka. Ia terus saja membaca sambil berkali-kali melempar beras untuk membangunkan roh-roh itu.
"Arwah-arwah itu sekarang sedang berkumpul di bale ini," ujar Leter yang sesekali menyimak bacaan rekan sejawatnya. Barangkali ia benar. Di bale itu memang terbujur tulang-belulang mayat yang arwahnya hendak diantar ke surga. Sepuluh orang yang tulang belulangnya dikumpulkan dalam dua rarung -- batang kayu yang dibentuk seperti lesung yang panjangnya sekitar dua meter.
Dari pojok kiri bale, sekitar satu setengah meter di depan Tagen, tercium sedikit bau anyir. "Tulang-belulang itu kami gali pada hari pertama ijambe," ujar Syamsir. Di antara tulang-tulang itu terdapat kerangka mayat ibunya yang meninggal dua tahun silam.
Rarung yang terisi tulang-belulang ibu Syamsir di ujungnya ada tonjolan kayu yang dibentuk menyerupai burung garuda, komplet dengan sayapnya. "Itu tanda bahwa pemimpin arwah di situ seorang wanita," kata Syamsir, dan itulah ibunya. Pada saat meninggal, 1984, usia ibu Syamsir mencapai hampir 75 tahun, usia tertinggi di antara jasad-jasad wanita yang akan di-ijambe kali ini. Maka, langsung arwah ibu Syamsir mendapat kehormatan sebagai pemimpin.
Rarung yang satu lagi berhiaskan bentuk kepada naga. Itu pertanda bahwa "komandan arwah di situ seorang lelaki."
Pemimpin…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…