Ada Cina Saleh. Bukan. Ada Seorang...
Edisi: 36/16 / Tanggal : 1986-11-01 / Halaman : 18 / Rubrik : KL / Penulis : ASA, SYU'BAH
ANDAI kata kalangan keturunan Cina dikenal sebagai masyarakat Muslim, mungkinkah terjadi kekerasan sosial terhadap mereka, seperti yang sering pecah di kota-kota?
Sambil mengasah parang (untuk menebang pohon pisang), kakek saya bilang, "Menjarah toko-toko Cina boleh saja. Cina itu kafir."
"Lha, Cina Saleh?" tanya saya.
Kakek saya tertawa. "Cina Saleh, lain," jawabnya.
Tentu, saya berpikir, karena Cina Saleh bersunat. Tapi saya tidak pernah berpikir, mengapa laki-laki tua yang hidup bersama keluarganya di pinggir jalan besar itu, yang menurut kesan saya agak terasing dari para tetangga, dipanggil Cina Saleh dan bukan si Saleh. Waktu itu sekitar tahun 1950. Belanda baru saja pergi, dan Peristiwa Tiga Daerah (Brebes-Tegal-Pemalang), di sana-sini diiringi perampokan toko-toko dan penyunatan Cina. Cina Saleh, dengar-dengaran, adalah orang yang dulu turut disunat.
Karena itu, ia Islam. Karena itu pula, orang tak akan menjarah tokonya. Tentu saja -- karena ia tak punya toko. Ia hanya tukang sepuh emas, dengan rongsokan gelinding alias delman tersuruk di sudut pekarangan tempat tinggalnya, dan selalu muncul dengan celana komprang putih tua alias dekil. Bagaimana andai ia kaya, punya toko emas, misalnya, di Pecinan sana? Benarkah orang tak akan merampok hartanya?
Sampai sekarang pun, hampir 40 tahun sesudah Clash ke-2, dan hampir 60 tahun sesudah Sumpah Pemuda, sebagian orang tetap sangsi bahwa, untuk integrasi nasional, usaha pengislaman Saudara-Saudara keturunan Cina merupakan jalan yang ampuh. Ada banyak ikhtiar, memang, ke arah suasana harmonis antarkelompok. Ada "pengindonesiaan" nama Cina. Ada gagasan kawin campuran. Ada anjuran pergaulan yang lebih tuntas: di sekolah, di lapangan olah raga, di RT dan RW, dalam latihan tari serimpi, dalam kegiatan siskamling atau menangkap maling. Ada pikiran untuk menganggap keturunan Cina suku tersendiri; ada pula nasihat agar mereka mengidentikkan diri dengan suku setempat. Ada impian untuk memanfaatkan potensi wiraswasta keturunan Cina yang kuat bagi pemajuan usaha pribumi. Dan ada islamisasi alias dakwah, langkah murni agama, yang, kemudian dianggap ikhtiar pembauran.
Tapi sebagai ikhtiar pembauran pun, islamisasi memang bukan kerja yang mudah. Kali ini bukan karena keloyoan organisasi dakwah -- bukankah ada PITI, Pembina Iman Tauhid Islam, yang dulunya Persatuan Tionghoa Islam Indonesia? Tapi karena kenyataan terdapatnya beberapa perbedaan (demikianlah, orang bukannya melihat persamaan) antara yang keturunan dan yang lebih pribumi. Pertama, tentu, faktor kemampuan ekonomis: lebih tinggi di kalangan pertama, lebih rendah pada yang kedua.
Christianto Wibisono, kolumnis, menghubungkan hal itu dengan apa…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
OPEC, Produksi dan Harga Minyak
1994-05-14Pertemuan anggota opec telah berakhir. keputusannya: memberlakukan kembali kuota produksi sebesar 24,53 juta barel per…
Kekerasan Polisi
1994-05-14Beberapa tindak kekerasan yang dilakukan anggota polisi perlu dicermati. terutama mengenai pembinaan sumber daya manusia…
Bicaralah tentang Kebenaran
1994-04-16Kasus restitusi pajak di surabaya bermula dari rasa curiga jaksa tentang suap menyuap antara hakim…