Wayang-wayang Seni Rupawan

Edisi: 49/15 / Tanggal : 1986-02-01 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :


INI memang pementasan wayang yang lain. Layarnya berukuran sekitar 2,5 x 1 m, lebih sempit dari biasanya. Dua papan di tepi kanan dan kiri, berfungsi sebagai tiang layar, berukir-ukir. Batang pisang membujur di bawah, seperti lazimnya, tapi tidak ada jejeran wayang di kanan kiri dalang. Semua benda dari kulit itu sebelum muncul dalam adegan disimpan di kotak.

Begitu pertunjukan siap, di hadapan 200-an penonton, yang pertama tampil bukan hanya gunungan seperti lazimnya. Tapi juga Semar dan Togog. Lantas Iampu sorot (dan bukan belencong atau lampu minyak) yang sejak sebelumnya mencorong berubah warna -- dari putih ke kuning. Dan tiba-tiba warna-warni wayang berubah. Tubuh Semar berganti dari ungu ke cokelat, dan giginya yang menyempil hanya sebuah itu tampak kuning. Diiringi gending Ayak-Ayakan Patet Manyuro, lakon Mintaraga mulai bergerak.

Wayang kulit Jawakah itu? Ya. Tapi bukan lagi wayang purwa -- kata sebagian orang. Purwa 'kan klasik? Bahannya memang sama, pola desainnya sama, teknik dasar permainannya sama, dan lakonnya persis sama. Tapi itu penyebalan tak kepalang tanggung! -- kata setengah orang. Dalangnya saja dua orang. Satu di depan layar, dalang utama yang membawakan cerita. Satu lagi di baliknya, bertugas meramaikan adegan di layar dengan memperagakan wayang-wayang figuran, misalnya. Layar memang jadi penuh warna. Pertama, wayang-wayang itu sendiri dibuat berwarna-warni. Kedua lampu spot itu menyebabkan warna-warni wayang yang dimainkan di belakang kelir tembus pandang seperti aslinya -- malah memunculkan sebuah jarak tertentu dan kekaburan tertentu antara dua bidang, tergantung jauh-dekatnya masing-masing dari layar.

Tapi justru itu yang membikin orang kaget: rasa yang didapatkan rupanya berbeda. Wayang, "pusaka adiluhung" itu, telah dirusakkan. Pada acara pameran kesenian di bekas Benteng Vredenburg, Yogya, 1979, misalnya, Kasman-nama pencipta kreasi ini-diprotes keras. "Waktu itu saya terpojok. Tampaknya semua orang memusuhi saya," katanya. "Bahkan poster-poster pemberitahuan pameran saya juga tercabik-cabik. Entah oleh siapa." Padahal waktu itu wayang-wayang Kasman baru dipamerkan saja. Berbeda dengan pada 1 Juli tahun lalu itu, dengan sponsor Proyek Penelitian dan Pengkajian Nusantara (Javanologi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta.

Itu memang kejadian yang tidak enak. Sejak itu pula, "Saya, malah sampai sekarang, tidak pernah lagi nonton wayang kulit. Di tempat-tempat pertunjukan itu rasanya semua orang menjauhi saya." Pertunjukan di Sitihinggil, Alun-Alun Kidul, Yogya yang rutin pada minggu pertama dan terakhir tiap bulan -- juga tidak mengubah minatnya. Apalagi penampilan seniman ini mudah dikenali: ke mana-mana selalu mengayuh sepeda tua, merk Fongers, pemberian almarhum ayahnya ketika Kasman masih di SMP. Berpakaian selalu tidak rapi, rambutnya yang sebahu dan sudah banyak diselaputi uban tidak ia sisir dengan beres, dan tak pernah bersepatu, hanya bersandal kulit. Kasman kini lebih banyak mendengarkan siaran wayang kulit di radio.

Sikap Kasman memang berbeda dari para seniman wayang lainnya. "Saya," katanya, "tidak menganggap wayang sebagai kreasi yang mandek. Saya juga mendudukkannya pada fungsinya sebagai hiburan. Kalau saya menganggap wayang adiluhung, belum tentu saya kuat melaksanakan gagasan-gagasan saya."

* * *

Sukasman anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Almarhum Mangunwihardjo, bekas pengusaha batik, juga seorang penggemar wayang. Di rumah keluarga ada satu peti wayang kertas komplet -- yang sering dimainkan Ayah dan teman-teman Ayah sembari ngobrol, sementara Kasman menjadi peserta yang baik. "Pada usia sebelum masuk SD saya sudah bisa menggambar beberapa tokoh wayang," tuturnya.

Ketika kemudian, di masa dewasanya, ia menganggap wayang "yatim piatu" (tak ada yang benar-benar memperhatikannya, katanya), dan mencoba mengurusinya, ia memiliki cara sendiri. Ia merasa gambar wayang tidak harus persis aslinya boleh diubah dan ditambahi di sana-sini dalam komposisi yang kompak. Ini jelas tidak sejalan dengan pendapat ayahnya maupun yang lain-lain. Sebelum meninggal, sang ayah berpesan, "Engkau jangan coba-coba merusakkan wayang." Nah.

Tapi obsesi Kasman terhadap wayang kulit adalah seni rupa melulu pada bentuk fisiknya.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…