Panggilan Dari Tengah Padang
Edisi: 47/15 / Tanggal : 1986-01-18 / Halaman : 37 / Rubrik : SEL / Penulis :
PINTU pagar masih tertutup. Sebentar petang, iringan sapi akan berbondong pulang lewat di situ, setelah sehari suntuk merumput. Namun padang terlampau kering untuk bisa benar-benar memuaskan perut sapi. Rumput, cokelat warnanya, tak mengundang selera. Bahkan bulan-bulan kering telah juga meluruhkan daun-daun pohon kayu Jawa yang berjejer membentuk pagar kandang besar itu, hingga tampak bagai pokok-pokok kayu mati. Ketika matahari makin turun ke balik horison warna cokelat abu-abu pelan-pelan menjadi hitam. Lalu hari gelap sama sekali. Rumput, pohonan pagar berikut pintunya, dan tubuh-tubuh sapi, larut dalam hitam, sampai nanti bulan menampakkan wajahnya di atas padang.
Hari ini usai sudah kerja gembala. Luta Lapu, 17, sudah memandikan kudanya dan dirinya sendiri. Sudah itu ia dan seorang kawan gembala lain, yang juga bujang, lelap dalam malam yang sunyi di pondok mereka. Sendiri saja pondok itu - di tengah hamparan rumput yang bagai tak berbatas. Syukurlah masih ada pohon-pohon sekitar rumah yang tidak ditebang, yang melindungi pondok dari hempasan angin. Pohon-pohon itu, juga hutan di aliran sungai dan celah lembah, bagai pulau di tengah padang sabana.
Ada desau angin, suara belalang, dan sesekali bunyi burung malam, gonggong anjing, dan, tentu, lenguh sapi. Bila hari cerah dan bulan penuh, padang tampak keperakan menghampar hanya berbataskan pagar, gundukan bukit kecil, lalu batas horison di ujung sana. Suasana seperti itu akan berulang esok malam, esoknya lagi, dan esoknya lagi, kecuali bila hujan mengguyur ranch atau api membakar. Demikian hidup berlangsung. Beratus tahun padang rumput sudah dan masih akan menghidupi sapi, dengan cara yang sedikit saja orang tahu.
* * *
Padang rumput mungkin seusia peradaban kita atau lebih. Ketika orang perlu sepetak tanah untuk bercocok tanam, hutan ditebang. Ketika tanaman di lahan itu tak lagi sesubur semula, pergilah mereka mencari hutan baru, meninggalkan tanah semula begitu saja. Rumputlah yang kemudian menjarah tanah bebas itu sehingga menjadi padang, menambah luas padang yang sudah ada.
Beratus dan beribu tahun padang rumput hanya dijadikan ladang perburuan. Memang ke situlah hewan pemakan rumput datang bergerombol. Lalu hewan pemakan daging datang untuk memangsa si pemakan rumput. Terakhir, orang datang untuk memburu mereka semua - tanpa berbuat lebih.
"Sayang, 'kan, kalau padang rumput tidak dimanfaatkan," kata Ir. Suyadi Reksohadiprodjo. Ia direktur utama PT Bina Mulya Ternak, juga seorang rancher pemula - salah seorang yang pertama kali menjadikan padang rumput bebas sebagai ajang penggembalaan ternak secara lebih intensif, yang menurut bahasa bule disebut ranch.
Tak mudah melakukan itu. Mula pertama ada survei dari Asian New Zealand Development Consultants (Anzdec) di pulau-pulau timur Indonesia: Bali, Lombok, Timor, Sumba, dan Sulawesi. Hasilnya, lokasi timur itu sangat berpotensi untuk menjadi ranch yang menghasilkan anak-anak sapi - yang kemudian bisa digemukkan dalam kelompok-kelompok kecil di wilayah Indonesia bagian barat, untuk kemudian dipotong bagi konsumsi daerah padat penduduk itu. Atau, masih menjadi mimpi, diekspor ke Hong Kong dan Singapura.
Kesungguhan survei bisa diandalkan. Mulai dari jenis dan kesuburan tanah, ketinggian dan kemiringan, curah hujan dan suhu, jenis tumbuhan, hingga cadangan air. Dengan data itu studi kelayakan disusun. Dan dengan studi kelayakan, Bank Dunia rela meminjamkan uang untuk membangun ranch di Sulawesi Selatan dan Sumba, yang perlu modal 3,6 juta US dolar. Syaratnya: harus ada tenaga asing dalam hal ini Australia, yang dianggap lebih berpengalaman - yang mengerjakan pembukaannya.
Kita setuju. Perusahaan milik negara, PT Bina Mulya Ternak, dibentuk dan diberi tugas pelaksanaan. Tahun 1973 proyek dimulai. "Waktu itu kita belum tahu apa-apa," kata Suyadi. Belum ada seorang Indonesia pun yang menguasai seluk-beluk ranch. Untuk mudahnya, ikuti saja dulu standar Australia yang dibawa orang bule tadi, kendati akhirnya dicampakkan karena tak sesuai dengan kondisi alam setempat.
Pemerintah daerah segera menyerahkan tanah yang ditunjuk, yang anehnya justru bukan - dan hanya bersinggungan dengan - lokasi yang telah disurvei. Akibatnya, pekerjaan seperti meraba-raba. Berhari-hari mereka naik kuda atau berjalan kaki, menapaki padang, belukar, hutan, mengukur areal. Kemudian mematok-matoknya dengan mempertimbangkan letak bukit, celah sungai, hutan, serta lekukan-lekukan yang mungkin dapat menampung air hujan atau air tanah.
Ahli atau bukan, buruh atau bukan, semua bekerja kasar. Tonggak-tonggak kayu dipikul. Gulungan kawat berduri dibawa. Gerumbul kecil yang tidak diperlukan ditebas. Bila malam tiba, mereka berkemah di tengah padang yang ribuan hektar luasnya itu, menyalakan lentera, menjerang air, menanak nasi menyedu kopi, lalu berbual kosong atau membicarakan pekerjaan tadi dan esok. "Rasanya seperti di wild west saja." kata Bahron Abas. sekarang direktur Bina Mulya, mengenang masa lalunya.
Sesudah patok dipasang, dipagarlah keliling padang. Kemudian dibagi-bagi lagi dalam petak-petak yang dinamai paddock. Setiap paddock mencapai luas ratusan hektar rumput, tempat sapi dilepas bebas, tumbuh besar, kawin, beranak, menyusui, dan - mudah-mudahan - tak keburu mati. Setiap paddock harus mampu menyediakan air - bisa dalam bentuk aliran sungai kecil dan bisa pula dam-dam penampung air hujan dan sumber setempat. Sedang hutan yang tersisa di antara padang rumput terkadang dibiarkan untuk peneduh sapi, di samping untuk menyelamatkan sumber air sendiri.
* * *
Dua ratus kilometer di utara Ujungpandang, di sisi jalan menuju Toraja, sebuah ranch terletak. Persisnya di Maroangin, Kabupaten Enrekang - merupakan satu dari tujuh unit milik PT Bina Mulya Ternak. Sesampai di kilometer 210 terpampang papan nama. Berbeloklah ke kiri, ada jalan memotong pagar tanpa daun pintu. Hanya ada balok-balok kayu yang dijajar renggang - berjarak 15-20 cm dan menjadi jembatan bagi lekukan tanah yang sengaja dibuat. "Sapi dan kuda tak akan berani lewat grid ini. Takut kejeblos," kata Hardjanto, manajer unit setempat. Itu sudah berfungsi sebagai pintu.
Ranch itu berbukit-bukit, dan dibelah sungai kecil Karajae yang di tepinya banyak tumbuh buah bila atau maja. Seluruhnya mencakup luas - seperti tertera dalam Hak Guna Usahanya (HGU) - 5.230 ha. Namun, baru 4.150 ha yang sudah dikelilingi pagar. Dan dari luasan yang terpagar itu hanya 72% yang efektif. Sisanya: hutan, semak, genangan air. Curah hujan memang tinggi - lebih dari 3.000 mm setahun. Akibatnya, banyak dam yang bisa dibikin untuk tempat minum sapi, di musim kemarau sekalipun.
Namun, wilayah seluas itu sebenarnya bukan lahan yang baik. Kemiringan dinding bukit-bukitnya kadang terlalu curam. Hutan, semak perdu, berkembang menyaingi rumput alam. Tanah pun terlalu asam - sehingga untuk menjadi tempat tumbuh lamtorogung dengan baik diperlukan pengapuran empat ton sehektar. Dengan tingkat kesuburan terbatas, dan sifat topografinya, tak heran bila 60% tanah wilayah itu dijeniskan kelas lima - satu kelas di atas kelas terburuk. Sedang sisanya kelas empat.
Seluruh ranch itu dibagi menjadi 20 paddock besar-kecil, yang kita sebut saja petak. Di setiap petak juga ada rumah gembala - dengan pekarangannya yang mengawasi lingkungan itu. Satu petak dipisahkan dari lainnya dengan pagar yang sama dengan pagar luar - empat jalur kawat berduri setinggi semeter, dicantolkan pada pohon kayu jawa (kedondong lanang) yang ditanam berderetan. Seluruh panjang pagar di unit itu, menurut Hardjanto, mencapai 200 km. Seandainya direntang dan disambung-sambung menjadi satu, kawatnya akan mencapai kepanjangan 800 km - alias jarak Jakarta-Surabaya.
Sewaktu kuliah dulu, dosen mengajarkan - sesuatu yang memang diterapkan di Amerika - manfaat petak sebagai sarana agar sapi bisa merumput secara rotasi: mula-mula di petak A, lalu pindah ke petak B dan seterusnya. Ketika sapi kembali ke petak A, rumput yang dulu dimakan diharapkan sudah tumbuh lagi. Itu akan mencegah perumputan berlebih overgrassing- yang bukan saja mematikan rumput unggul tapi juga menumbuhkan jenis yang tidak dikehendaki: gulma.
Namun, cara itu tak dilakukan di Maroangin. Menurut Hardjanto, "terlalu berat penanganannya". Pemindahan sapi antar petak kadang memang dilakukan, tapi dasarnya "hanya pandangan mata" rumput masih atau tidak - dan bukan jadwal rutin.
Di sini petak lebih dipakai sebagai wadah untuk memisahkan jenis-jenis sapi. Misalnya yang di bagian depan, dekat kantor dan perumahan karyawan, digunakan sebagai tempat darurat. Rumput tumbuh bagus di petak ini, air cukup, dan gembala setiap pagi menaruh dedak, tetes tebu, juga garam. Ke situlah sapi yang sakit dan yang kurus dikumpulkan untuk diperbaiki kondisinya. Bila masa kritis sudah lampau, sapi dikembalikan ke petak asal.
Sedikit di belakang, ada petak penampungan. Di sini sapi-sapi yang baru dibeli dari penduduk, untuk menambah populasi di ranch, ditampung - agar bisa beradaptasi sebelum bergabung dengan saudara-saudaranya yang lebih senior. Sedang di belakangnya lagi ada petak khusus untuk para induk dan anak, selain ada pula yang khusus untuk para jantan yang digemukkan. Jenis sapi lokal - sapi Bali Sulawesi, yang garis putihnya di pantat dan "kaus kaki"-nya mulai kabur - dan Brahman persilangan eks impor ditempatkan di petak berbeda.
Semua petak itu masih mengandalkan rumput lokal. Beberapa jenis rumput unggul memang dicoba. Misalnya bede - Brachiaria decumbens - yang tahan kering atau Setaria anceps dan rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang dipakai…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…