50 Tahun Kemudian ...
Edisi: 05/16 / Tanggal : 1986-03-29 / Halaman : 84 / Rubrik : SR / Penulis :
TAK banyak orang seperti Takdir Alisjahbana. Dalam usia 78, dia bukan saja memastikan diri sebagai eminence grise, sang empu berambut putih, dalam kalangan kebudayaan Indonesia. Takdir, yang lama dikenal dalam buku pelajaran anak-anak sekolah sebagai pelopor kesusastraan modern Indonesia tahun 30-an, juga ternyata masih tetap jadi tokoh sentral, di pentas perdebatan yang dimulainya ketika ia baru berusia 27 tahun dulu.
Dengan rambut yang seluruhnya sudah jadi uban, tapi dengan wajah bersih dan pikiran yang runtut, pemikir, penyair dan novelis itu pekan lalu masih tahan untuk tiap kali muncul dalam sebuah pertemuan tiga hari yang tampak istimewa di Jakarta. Ini pertemuan sastrawan yang secara periodik diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki oleh Dewan Kesenian Jakarta, dan umumnya dihadiri sastrawan dari banyak kota di Indonesia. Tapi kali ini, temanya lain dari yang lain, bahkan layak dicatat: meninjau kembali apa yang disebut Polemik Kebudayaan, yang dimuat di pelbagai media Indonesia di antara tahun 1935 dan 1939.
Polemik itu berjangkit setelah S. Takdir Alisjahbana, waktu itu pemimpin majalah Poedjangga Baroe, menulis sebuah tulisan di berkala kebudayaan yang cuma beroplah sekitar 3.000 itu. Judulnya, Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru. Dengan gaya retorika Takdir yang khas -- terang, berapi-api, dan ditutup dengan kalimat yang berkibar seperti bendera perang tulisan itu mencoba membongkar apa sebenarnya yang disebut "Indonesia".
Bagi Takdir, pengertian "Indonesia" berkaitan erat dengan semangat "keindonesiaan", dan semangat itu "adalah ciptaan abad kedua puluh". Zaman Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Borobudur, dan Hang Tuah belum mencerminkan semangat "keindonesiaan" itu. Bahkan, kata Takdir, buku Hang Tuah menurut pengertian sekarang "dapat diartikan anti Indonesia," karena mengandung penghinaan terhadap satu bagian dari lingkungan kepulauan ini.
Zaman Hang Tuah seperti itu, kata Takdir, adalah zaman "prae-Indonesia". Dengan istilahnya yang mengejutkan, Takdir…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Dunia Kanak-Kanak dalam Dua dan Tiga Dimensi
1994-04-16Pameran faizal merupakan salah satu gaya yang kini hidup di dunia seni rupa yogyakarta: dengan…
Yang Melihat dengan Humor
1994-04-16Sudjana kerton, pelukis kita yang merekam kehidupan rakyat kecil dengan gaya yang dekat dengan lukisan…
Perhiasan-Perhiasan Bukan Gengsi
1994-02-05Pameran perhiasan inggris masa kini di galeri institut kesenian jakarta. perhiasan yang mencoba melepaskan diri…