Seorang Presiden Yang Sendiri
Edisi: 08/16 / Tanggal : 1986-04-19 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :
FRANCOIS Mitterrand berdiri di ujung karpet merah yang terbentang 400 m di gedung pameran yang luas. Malam itu, ia berada di Kota Lille - sebuah kota industri yang lagi surut, tapi menjadi pusat kekuatan spiritual sosialisme Prancis. Sinar lampu sorot menyeruak terang menembus asap rokok yang merayap, membuat jaringan kawat listrik yang mirip renda dan kerangka tangga metal berkilau. Suara desah menyapa 20.000 hadirin dan kemudian lenyap bagaikan angin lalu, digantikan pengeras suara model Marseillaise.
Kemudian, tampil Mitterrand bak seorang pendeta di tengah kuil akbar. Sederetan pilar, dibungkus kain merah, putih, dan biru, berdiri antara dia dan podium - pilar-pilar mirip pohon poplar dalam lukisan Monet, salah seorang tokoh impresionisme Prancis. Untuk beberapa saat Presiden Prancis itu tegak diam, membiarkan mata seluruh republik tertuju padanya. Dan lalu, dibiarkannya salah satu kekuatan politik Eropa yang paling polos ini sedikit tersenyum. Baru ia melangkah lebar, sendirian melewati pilar-pilar tiga warna, disambut serentetan sorak tak terputus dari para pengagumnya. Mitterrand menyeberangi ruangan luas yang penuh lekuk itu, menuju ujungnya yang lain, tempat podium terletak.
Penampilan Mitterrand merupakan salah satu kampanye untuk pemilihan umum 16 Maret lalu. Dengan cermat semuanya direncanakan dalam image kepresidenan Prancis: kekuasaan yang mengambil jarak, kalem, dan sendiri. Tapi kenyataan di Lille adalah cerita lain. Yang tampil adalah seorang veteran politik yang tampak berjuang agar partainya tidak kehilangan pendukung. Soalnya, pemilihan umum akan menentukan adakah Partai Sosialis masih akan menjadi mayoritas dalam Parlemen atau tidak. Dan yang lebih penting, pemilihan umum itu akan dipandang sebagai referendum buat Mitterrand sendiri, masihkah bertahan - impian para pendukung sosialisme Prancis.
Buat sejarah Prancis masa kini, Francois Mitterrand dan Partai Sosialis menunjukkan lorong menarik yang tak pernah dijalani, memberikan jalan penuh tantangan dan lamunan tapi tak pernah benar-benar diikuti. Selama 23 tahun, Mitterrand bertahan sebagai oposan, menjanjikan perubahan besar, satu penataan kembali masyarakat Prancis yang digambarkannya sebagai matinya aturan-aturan kanan. Lalu, lima tahun yang lalu, rakyat Prancis memberi kesempatan kepada kaum Sosialis. Mereka pun memasuki kekuasaan dengan jaya dan sukaria, menyatakan - sebagaimana dikatakan Menteri Kebudayaan Jack Lang, setelah perjuangan berpuluh tahun, "masa cerah" akan menggantikan "masa gelap".
Menjelang pemilihan umum pertengahan Maret lalu, semua janji Sosialis itu diletakkan di bawah satu penelitian yang sangat cermat yang tidak menguntungkan. Dan bila hasil sebuah pengumpulan pendapat bisa dipercaya, ternyata Francois Mitterrand adalah satu-satunya Presiden Prancis yang Sosialis dalam seperempat abad sejarah Prancis belakangan ini yang paling tidak populer. Oposisi kanan - yang menurut Presiden dan sekutunya adalah kaum yang kaya, reaksioner, dan memiliki hak istimewa tampaknya sangat mengidamkan memenangkan mayoritas Parlemen yang telah diraih oleh Partai Sosialis yang lalu. Dan bila itu terjadi, dua tahun terakhir masa pemerintahan Mitterrand, 1986-1988, akan sangat dipengaruhi karenanya. Dengan kata lain, kemenangan kaum konservatif akan membuat impian 81 tahun - Partai Sosialis Prancis terbentuk pada 1905 - untuk tetap bertahan di kursi kekuasaan jadi meragukan.
Padahal, bahkan bila pihak Sosialis tak lagi menjadi mayoritas di Parlemen, mereka mungkin akan tetap menjadi satu-satunya partai politik terbesar di Prancis. Tapi lima tahun pertama dari yang disebut Mitterrandisme menunjukkan bahwa doktrin orisinil Sosialis diguncang, dan itu berarti kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan partai pun ikut goyah. Mitterrand dan kebijaksanaan politiknya mendapat serangan gencar. Partainya menghadapi jalan simpang: antara sepenuhnya melaksanakan pandangan-pandangan tradisionalnya dan mencari rumusan baru yang tidak sangat sosialistis - rumusan yang antara lain termasuk penghematan, pengetatan anggaran, dan satu gaya pemerintahan yang mau tak mau akan mirip dengan gaya pemerintahan Charles di Gaulle, musuh bebuyutan kaum Sosialis.
Dalam lima tahun terakhir ini bisa disaksikan serentetan penyesuaian, penggantian program-program khas Sosialis. Maka, akhirnya, bisa ditanyakan: Jadi, apa yang tinggal dari cita-cita kaum Sosialis? Akankah sosialisme sebagai satu alternatif akan lenyap di salah satu negeri tertua di Eropa?
Bayangkanlah seseorang berkunjung ke Prancis, dan ia mendengar tentang terpilihnya Mitterrand pada 1981. Lalu pengunjung itu tahu, dan mungkin sangat percaya, akan ramalan bahwa kaum kiri akan berkuasa di Prancis - tapi ia tak kembali untuk melihat dengan mata kepala sendiri perkembangan Prancis di bawah kiri sampai beberapa bulan belakangan ini. Tentulah, dalam ingatannya akan terbayang bahwa Prancis, ketika memilih pemerintahan kiri pada 1981, tampaknya dengan sangat istimewa menyimpang dari kecenderungan dunia. Dan itulah satu pemerintahan yang siap bersekutu dengan Komunis - dan itu sesuatu yang sangat janggal dan kemudian akan terjadi pemerataan kekayaan. Meningkatnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Nasionalisasi industri dan bank mengurangi peranan perusahaan swasta. Sangat mungkin membayangkan bahwa kaum idealis muda di tahun 1960-an yang melahirkan gagasan jungkir balik itu akan berkuasa dan mereka…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…