Bau Hio Di Sudut-sudut Masjid
Edisi: 19/16 / Tanggal : 1986-07-05 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :
SHANGHAI di hari Idulfitri, 9 Juni 1986. Pagi hari, matahari muncul dengan latar langit yang bersih, sinarnya membersit di antara daun-daun pohon ya dan liu, dan sela-sela bangunan tua sisa-sisa kolonial Eropa. Satu suasana yang tak akan ditemukan di RRC di luar Shanghai. Kota ini memang punya sejarah yang lain. Di masa lalu, Shanghai sempat terpilah-pilah menjadi daerah konsesi Prancis, Inggris, Jerman, Rusia ....
Keremangan perlahan jadi benderang. Pukul 7 sudah. Jalanan mulai ramai oleh sepeda, pejalan kaki, dan bis kota. Namun, taksi belum satu pun ada yang bergerak. Bila ada, tentu itu sudah dipesan oleh turis asing di hari sebelumnya. Memang, ini bukan taksi swasta, tapi milik negara. Sopir, bergaji 120 yuan (sekitar Rp 40.000), baru mulai bertugas pukul 8 demikianlah jam kerja diatur. Taksi di kota ini semuanya bikinan Jepang keluaran tahun terakhir. Hanya di Beijing ada Mercedes, Volvo, dan Citroen buatan tahun 1983, 1984, dan 1985. Dan tanpa kecuali, semuanya milik pemerintah.
Tapi benarkah ini hari Lebaran? Tiba-tiba saya ragu. Suasana tak jauh berbeda dengan hari kemarin. Bahkan semalam tidak ada suara takbiran. Di malam sebelumnya juga tak terdengar atau tampak sedikit pun aba-aba datangnya hari Idulfitri ini. Sampai tengah malam, kota bandar, yang dahulu tersohor dengan berbagai hiburan dan kehidupan malam hanya sepi. Seperti kota-kota besar, di negeri sosialis, kehidupan malam, juga untuk pendatang, ada batasnya. Diskotek yang ada di hotel, misalnya, hanya buka sampai pukul 11 malam.
Saya tak tahu, di RRC ini ada jugakah acara sembahyang led di tanah terbuka. Bila cuma soal masjid, tak perlu khawatir. Di Shanghai ada sembilan masjid, atau dalam bahasa Cina disebut qingzhengsi. Tapi itu dahulu, sebelum masa Revolusi Kebudayaan. Sebab, di masa Partai melakukan pembersihan terhadap segala yang berbau asing, tiga masjid remuk oleh barisan Pengawal Merah. Tiga yang lain kini sedang dalam persiapan untuk dibuka kembali. Jadi, tinggal tiga masjid, dan yang paling besar di antaranya adalah Xiao Tao Yuan Qingzhengsi atau Masjid Xiao Tao Yuan. Nama masjid itu diambil dari nama jalan di depannya rupanya, Jalan Xiao Tao Yuan -- satu daerah yang termasuk tidak gemerlapan, jalanannya pun termasuk bukan jalan besar, hanya selebar empat meter.
Lalu saya ingat, masjid itu bisa ditelepon. Maka, yakinlah saya, hari ini memang Lebaran, dan sembahyang Ied berlangsung pukul 9 pagi (atawa pukul 7 pagi WIB, mengingat mulai musim panas tahun ini perbedaan waktu di seluruh RRC dengan Waktu Indonesia Bagian Barat telah menjadi dua jam). Kurang jelas mengapa sembahyang Ied diatur mulai pukul 9. Mungkin disesuaikan dengan beredarnya taksi yang mulai pukul 8? Siapa tahu.
Dari Huaqiao Fandian (Overseas Chinese Hotel) menuju Xiao Tao Yuan memerlukan waktu sekitar 10 menit. Sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi karena taksi harus sering berkelit di antara para pengendara sepeda dan trem listrik beroda karet, perjalanan menjadi agak pelan. Ini salah satu gambaran kota-kota di RRC, yang rata-rata dipadati manusia dan pengendara sepeda. Hanya di Beijing, meski berpenduduk hampir 10 juta dan ada sekitar 6 juta sepeda yang tercatat, terasa longgar. Di ibu kota RRC ini jalan-jalan banyak -- lebar, cukup untuk enam jalur mobil.
Menjelang masuk ke daerah Xiao Tao Yuan, baru suasana Lebaran sedikit tercium. Tampak beberapa kelompok lelaki berkopiah putih bergegas mempercepat langkah. Dari kulit mereka yang kecokelatan dan roman muka yang sekeras alam, mereka tampaknya termasuk suku bangsa Uighur, atau suku yang berasal dari Provinsi Xinjiang yang mayoritas warganya beragama Islam. Di antara mereka ada juga rombongan berkopiah putih yang bertampang khas keturunan Han (baca: Tionghoa), dengan kulit yang lebih kuning dan mata yang jelas sipitnya. Sejauh ini, bahkan sampai di tikungan terakhir menjelang ke masjid, tak terdengar suara takbiran.
Bahkan hingga di gerbang dan halaman Masjid Xiao Tao Yuan, tetap sepi dari "Allahu akbar, Allahu akbar . . . " -- orang hanya ramai, beriringan masuk, serta bersalam-salaman. Assalamualaikum, saya ucapkan kepada seseorang yang di dadanya tertempel tanda panitia penyelenggara (seperti di tanah air, di sini Lebaran juga ada panitianya, rupanya). Waalaikumussalam, jawab lebih dari satu orang dengan serentak dan ramah. Maka, hilanglah rasa canggung yang saya derita sejak melangkahi gerbang masjid. Terasa sekarang, perasaan seagama ternyata bisa menembus batas…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…