Mengapa Teroris Sering Lolos
Edisi: 25/16 / Tanggal : 1986-08-16 / Halaman : 37 / Rubrik : SEL / Penulis :
AHAD, 23 Oktober 1983.
Pagi baru saja tiba di Beirut, kota dengan tamasya yang menakjubkan, tetapi juga yang telah berubah menjadi ajang perang gila-gilaan dalam belasan tahun terakhir. Di dekat bandara internasional kota yang kusut itu, ratusan marinir AS masih lelap tertidur di dalam sebuah bangunan berlantai empat. Para marinir menamakan bangunan ini "Hilton Beirut". Sedangkan di Pentagon, ia disebut Markas Besar Tim Pendaratan Batalyon.
Sebuah truk Mercedes-Benz berwarna kuning baru saja melewati pos penjagaan -tentara Libanon, kemudian meluncur di jalan yang tidak dikawal, menuju halaman parkir umum tepat di depan "Hilton" tadi. Dengan kecepatan 56 kilometer per jam, truk itu melintasi halaman parkir yang kosong, kemudian dengan mudahnya menerobos lapisan hambatan yang terbuat dari kawat.
Dua orang marinir yang sedang berjaga tergagap meraih senapan M-16. Tetapi, mereka tidak bisa berbuat banyak. Kedua senjata itu kosong, sesuai dengan perintah yang berlaku. Sopir truk itu tampak tersenyum ketika melewati kedua marinir yang masih bingung. Kendaraan berat itu kemudian mendobrak karung-karung pembatas, langsung masuk ke lobi markas besar, dan berhenti di situ.
Beberapa ahli percaya, sebuah relay elektrik murahan, seperti yang terdapat dalam mesin judi jackpot, kemudian memacu sebuah detonator yang ditempatkan di dalam truk. Akibatnya adalah ledakan yang dahsyat, yang ditimbulkan oleh muatan truk, yang menurut dugaan setara dengan enam ton TNT. Sebagian besar isi muatan ialah RDX, juga dikenal dengan sebutan hexogen, bahan peledak tingkat tinggi yang biasa digunakan di kalangan militer.
Di sebuah kota dengan batas-batas yang tumpang tindih antara kehidupan sipil dan tempur, para teroris seperti mendapat peluang emas untuk menimbun, mencuri, bahkan mendapat pasokan bahan peledak. Dan kenyataan ini sudah berlangsung paling tidak untuk satu dasawarsa.
Contoh paling mencolok ialah penjualan 21 ton bahan peledak tingkat tinggi kepada Libya oleh bekas agen CIA Edwin Wilson, 1977. Menurut beberapa ahli keamanan, Libya kemudian menyalurkan sebagian bahan peledak ini kepada berbagai kelompok teroris.
Ledakan di "Hilton Beirut" tadi, menurut laboratorium forensik FBI, adalah ledakan nonnuklir terbesar yang pernah dicatat. Ledakan itu meninggalkan lubang sedalam tiga meter, dengan lebar sekitar 14 meter. "Hilton Beirut" berubah menjadi setumpukan abu, dan 241 dari sekitar 300 marinir yang berada di gedung itu langsung berangkat ke akhirat. Pentagon bahkan menyimpulkan, kehancuran benda dan nyawa tetap saja dahsyat, pun seumpama truk itu meledak di jalan raya, dari jarak sekitar 100 meter dari sasaran.
"Terorisme merupakan sesuatu yang tidak bisa diramalkan, tidak bersifat ortodoks, dan kerap kali dilakukan dengan kesiapan untuk bunuh diri," tulis Wayne Biddle dalam majalah Discover, baru-baru ini. Di samping itu, "Teknologi, dari sisi lain, senantiasa membuka peluang untuk tindakan-tindakan ulangan, pencapaian standardisasi, dan perhitungan-perhitungan risiko."
Kaum teroris memang menguasai seperangkat teknologi yang cocok untuk kepentingan mereka, mulai dari penggunaan korek api sampai pada peluncuran rudal inframerah. Tetapi, tidak jarang pula mereka mengambil kesempatan -- dari ketergantungan pertahanan masyarakat pada teknologi -- untuk bertindak menurut pola primitif.
Peristiwa yang dialami pesawat Trans World Airlines dengan nomor penerbangan 840 merupakan contoh sehari-hari sepak terjang kaum teroris yang terentang melalui Roma, Athena, dan Kairo. Melalui kawasan bulan sabit terorisme yang subur ini, pengamanan penerbangan bisa dikatakan yang terketat di dunia -- di luar Israel. Setiap bandara utama di ketiga kota itu dilengkapi dengan perangkat canggih antiteroris, yang ditangani oleh tenaga-tenaga terlatih.
Toh, mereka masih bisa kecolongan. Di salah satu bandara itulah, seseorang -- yang paling dicurigai adalah seorang penumpang wanita Libanon bernama May Mansur -- naik dari Kairo dan turun di Athena membawa dengan aman sebuah bom kecil melalui mesin-mesin sinar-X dan pelacak logam.
Ketika TWA-840 itu merendah ke ketinggian 15 ribu kaki untuk mendarat di bandara Athena pada pukul 14.30, sebuah bom plastik seberat kira-kira seperempat kilogram meledak di bawah tempat duduk 10F kelas ekonomi, sektor nonperokok. Bahan peledak itu mungkin dari jenis C-4, campuran sangat tidak peka yang biasa digunakan pasukan NATO, dan mengandung 91% RDX. Mungkin juga dari jenis Semtex, dengan kandungan 44,5% RDX dan 44,5% PETN -- unsur bahan peledak tingkat tinggi lain. Sisanya sebagian besar hanya minyak sayur. Bom itu dirakit di Cekoslovakia.
Baik C-4 maupun Semtex tidak bisa dicium oleh alat-alat pelacak bandara. Karena itu, siapa pun bisa melintaskan barang itu dengan aman, tanpa perlu memikirkan sebuah teknologi yang istimewa. Benda itu, misalnya, bisa dibawa masuk dalam sebuah amplop karton manila, dibuka dengan tenang, kemudian direkatkan di bawah tempat duduk 10F tadi.
Untuk meledakkannya pun tidak diperlukan teknologi canggih. Sebuah detonator sebesar rokok sudah lebih dari cukup. Detonator itu bisa dipacu oleh batere yang lazim digunakan untuk kalkulator saku. Untuk penghitung waktu, sebuah arloji digital sudah memenuhi syarat. Maka, teknisi khusus menjadi mubazir untuk pekerjaan ini.
Namun, lepas dari ukurannya yang kecil, dan desainnya yang "kampungan", akibat yang ditimbulkannya lumayan parah. Bom itu telah merobek dinding aluminium pesawat B-727 tadi, dan melemparkan empat orang Amerika -- satu di antaranya bayi berusia belum setahun -- ke awang-awang, awal April lalu. Jika bom itu meledak lebih cepat, misalnya di ketinggian 29 ribu kaki, di tempat perbedaan tekanan atmosfer antara di dalam dan di luar pesawat lebih tinggi, akibatnya pasti lebih fatal. Seluruh pesawat bisa hancur berkeping-keping.
Kenyataan ini sekaligus membuktikan bahwa kaum teroris sendiri tidak sampai pada perhitungan desain yang matang, yang berhubungan dengan efek bahan peledak yang digunakan. Memang, setelah peristiwa itu, ada laporan yang menyatakan bahwa bom itu dirancang dengan "sangat canggih", mungkin sekali oleh seorang tokoh teroris bernama Rashid, yang konon memiliki keterampilan khusus di bidang bahan peledak. Laporan ini dibantah langsung oleh beberapa ahli terorisme Amerika. "Siapa saja bisa membuat bom semacam itu," ujar Bruce Hoffman, seorang analis pada Rand Corporation di Los Angeles.
Tapi itulah. Justru dengan teknologi "sembarangan" itu, "jumlah tindakan yang bisa dilancarkan kaum teroris jauh lebih banyak daripada jenis pencegahan yang bisa kita lakukan," kata Paul Robinson, bekas direktur madya keamanan nasional di Laboratorium Nasional Los Alamos. Dengan pernyataan ini, Robinson sebetulnya ingin membuat perbandingan, siapa yang sesungguhnya berada di atas angin dalam perang antara teror dan antiteror. Kedudukan pihak pencegah memang tak menguntungkan. "Kita selalu dalam posisi yang menuntut bahwa pencegahan mensyaratkan musuh yang berimbang," katanya.
Kini, ketika pemerintahan Reagan mengambil sikap lebih agresif terhadap kaum teroris, pertanyaan tentang teknologi yang mungkin atau tidak mungkin digunakan oleh kelompok-kelompok yang berhadapan menjadi semakin mendesak. Pertanyaan itu beredar gencar melalui bentangan yang sangat luas, mulai dari…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…