Mengulur Benang Melawan Angin...
Edisi: 26/16 / Tanggal : 1986-08-23 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :
GAMELAN bertalu-talu. Puluhan laki-laki, dengan penuh semangat, bangkit satu per satu. Lalu mereka bergerak serentak dalam derap seirama, bak gerak sebuah tari. Ribuan orang, berlapis-lapis, yang merubung sejak pagi, segera menyambut sambil bertempik sorak. Di lapangan Padang Galak, lapangan sepak bola di sudut timur Kota Denpasar, sebuah pesta layang-layang segera dimulai.
Hari merangkak siang. Terik pun mulai menyengat. Puluhan laki-laki itu terus melangkah. Mereka menuju sebuah tempat yang sudah disiapkan sebelumnya. Sebuah bangunan kecil lagi sederhana. Itulah wadah kata orang Bali, menyebut bangunan bambu, setinggi 1 meter, panjang sekitar 5 meter. Ada hiasan kain, bercorak Bali, tentu, dengan benang emas. Berkilau. Ada rumbai-rumbai dari guntingan kertas kecil-kecil, warna-warni. Kain putih panjang selebar setengah meter, mengitarinya di bagian bawah. Dan, di situ, di bagian atas, terletak telungkup sebuah layang-layang ukuran raksasa, penuh warna: hitam, diselang-selingi kuning, merah, hijau.
Konon, itulah cara menyimpan yang baik, untuk menjaga agar layang-layang tak tersentuh bumi, terhindar dari kekotoran. Sebab, sebentar lagi layang-layang tersebut akan diterbangkan, memasuki atmosfer -- alam yang dianggap suci oleh orang Bali.
Suasana memang riuh. Ribuan penonton yang berjubel itu pun, ceria, kendati bergelimang debu, yang bisa menyesakkan dada. Ada juga bau dupa, kembang, yang bercampur bau keringat. Tapi itu semua bukan halangan bagi mereka untuk hadir pada hari Mingguitu, 20 Juli 1986. Hari itu adalah hari terakhir dari tiga hari Lomba Layang-Layang.
Lihatlah, bagai terasuk suara gamelan yang kian menggerimang, puluhan laki-laki itu segera mengitari layang-layang. Tampak lima orang, dua di depan dan tiga di belakang, mengangkat "benda suci" itu setengah tegak. Lalu mengusungnya. Beberapa lagi menyiapkan sebuah gulungan tali yang, bila diulur, ratusan meter panjangnya. Pembawa layang-layang dan pembawa gulungan tali kemudian saling menjauhi. Bagian depan layang-layang menantang arah embusan angin.
Tiba-tiba sepi. Suara gamelan terhenti. Bendera kuning, berukuran sedang, dikibarkan pada sebuah gardu lain. Ini sebuah isyarat, layang-layang segera diterbangkan.
Segera ketegangan menyelimuti suasana. Di ujung utara lapangan delapan layang-layang dari jenis bebean -- bahasa Bali, berarti ikan, memang begitulah bentuk layang-layang itu -- disiapkan. Sementara itu, tali telah terulur, panjang. Pemegang gulungan tali dilihat oleh pemegang layang-layang, dan sebaliknya, hanya terlihat sebesar kambing.
Ada yang dinanti dalam ketegangan itu: angin yang cukup. Rata-rata layangan itu tak ringan. Jenis ikan berukuran 4 x 7 meter, bahkan ada yang 5 x 9 meter. Kerangka -- orang Bali menyebutnya rangke' -- dari bambu, untuk sebuah layang-layang rata-rata menghabiskan empat sampai lima batang bambu bergaris tengah 5 cm. Sementara itu, tubuh layang-layang terbuat dari kain membutuhkan bahan sekitar 40 meter.
Saat yang dinanti pun tiba. Angin kencan bertiup. Bendera hijau menggantikan bendera kuning. Dan layang-layang ditegakkan. Bergerak-gerak diterpa angin, bagaikan mengikuti irama gamelan yang kembali menggema.
Kemudian, . . . werrr. Semua layang-layang itu melesat, serempak. Puluhan laki-laki, dalam kelompok masing-masing, menunaikan tugasnya sendiri-sendiri. Tali ditarik, gulungan dilarikan, layang-layang pun melayang. Tinggi, dan kian tinggi. Penonton mendongak, ribuan mata memandang. Orang tua, anak-anak, laki-laki, perempuan. Dan turis.
* * *
Bali memang negeri kesenian. Lihatlah, berbagai bentuk, berbagai ukuran, berbagai warna layang-layang menghiasi langit. Dan yang mungkin hanya ada di Pulau Dewata ini, lomba layang-layang sekali setahun ini juga diikuti oleh layang-layang tradisional -- layang-layang yang punya sejarah.
Entah bagaimana mulanya, di Bali selatan, daerah Pulau Bali yang punya banyak tanah lapang, sebelum diangkasakan layang-layang diupacarai dulu di pura desa. Dan karena tiap hal atau barang yang telah berbau dupa dan sesajen menjadi suci, jadilah layang-layang itu keramat. Tiap hal yang sudah dikeramatkan otomatis menjadi milik banjar (desa), bukan lagi milik perseorangan. Maka, tiap anggota banjar akan sepenanggungan dengan nasib layang-layang itu. Artinya, bila layang-layang tersebut diikutsertakan dalam lomba, hampir semua warga banjarakan terlibat. Ada yang menyimpulkan, persaingan antarbanjar inilah yang membuat tradisi layang-layang bertahan hingga sekarang, antara lain.
Adapun soal lomba, memang baru sekitar tujuh tahun terakhir dihidupkan kembali. Dan baru dua atau tiga kali, lomba itu diikuti oleh layang-layang dari berbagai negara lain, misalnya Jepang. Tak selalu lomba menelurkan juara. Itu tergantung panitia, adakah organisasinya rapi. Juga tergantung angin. Atraksi bisa batal bila ternyata udara tak mengalir deras.
Hari itu jenis tradisional yang tampak menarik adalah janggan dan bebean. Ada dua layang-layang janggan, salah satunya datang dari Banjar Danginpeken, Desa Sanur Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan. Layang-layang ini punya nama: Ratu Panji Sakti. Kepala janggan berwujud kepala naga, bermahkota meriah, dihiasi rambut yang tergurai, dan rangkaian kembang kamboja. Lalu ornamen gaya Bali berwarna kuning emas konon itu emas asli. Kerangka kepala naga terbuat dari bambu dan kayu Eden, yang dibungkus kain merah. Sejenis selendang kuning melilit leher. Bahwa ini layang-layang yang tidak biasa, di lapangan Padang Galak itu ia dilindungi dua payung kebesaran di kiri dan kanan.
Seperti hendak menunjukkan sejarah panjang layang-layang tradisional Bali, Janggan Ratu Panji Sakti berekor amat panjang, 65 meter. "Semula 75 meter, tapi yang 10 meter terbakar, tersangkut di kawat listrik," ujar salah satu dari hampir 100 orang pengawal -- termasuk penabuh gamelan pengiring layang-layang ini.
Kerangka kepala naga itu, mungkin kerangka layang-layang tertua dalam lomba ini. "Sudah ada sejak tahun 1952," kata pengawal itu tentang umur kepala naga. Kerangka itu memang dijaga benar. Ini memang bukan sembarang layang-layang. Untuk membuat yang baru, "Harus melalui upacara tertentu," kata orang itu. Bahkan, sekadar memperbaikinya, harus pula ada upacara.
Jenis tradisional yang lain, oleh orang Bali dinamakan pecukan. Bentuknya, dibandingkan dengan layang-layang tradisional Bali lainnya, lebih sederhana: hanya berupa lingkaran tak sempurna. Toh, tak kurang menarik. Dengan warna hitam diselang-seling kuning dan merah, di lapangan terbuka, pecukan memang gampang mengundang perhatian. Apalagi, seperti tampak hari itu, bila bidang kain jenis ini…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…