Adu Tanduk Warisan Ki Ronggo

Edisi: 31/16 / Tanggal : 1986-09-27 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :


RIBUAN pasang mata terpaku ke sudut arena. Pintu anyaman bambu terkuak. Kraaak. Seekor sapi jantan gemuk, putih dengan beringasnya masuk ke arena. Bagai atlet yang melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum hendak bertanding, sapi berlari-lari kecil mengitari lapangan. Maka, debu pun mengepul. Sementara itu, dari sudut yang lain mucul seekor sapi hitam, sama besar dan tegap, merunduk-runduk memasuki lapangan. Tiga orang lelaki memegangi leher sapi yang beringas itu dengan susah payah.

Beberapa orang bersulempang hijau melemparkan tali ke leher sapi putih yang tampak jinak tadi Hupp ... sapi pun digiring ke tengah lapangan. Sementara itu, sapi hitam tetap menampakkan nyalang matanya, dan terus dipegangi erat oleh ketiga lelaki yang berselempang merah.

"Babak berikutnya.... si pelor melawan si rudal," begitu teriak seorang pria bertubuh kekar dengan mata sipit di anjungan, lewat corong pengeras. Dan, "ngok . . . ngok . . . ngok . . . ngok," tambahnya lagi, menirukan suara sapi. Sesudah kedua kepala sapi dipertemukan, priiiit ... pluit pun melengking. Sapi dilepaskan, baku tumbuk, baku hunjam tanduk. Sorak sorai penonton meledak. Arena ingar-bingar. Ya, itulah adu sapi yang selalu ada di Bondowoso -- Jawa Timur -- setiap tahun.

* * *

Matahari ketika itu baru saja tersembul dari balik puncak Gunung Ijen, di ufuk timur, medio Agustus, menjelang peringatan Hari Proklamasi. Tetapi kesibukan di sekeliling arena sudah terdengar sejak ayam mulai berkokok. Suara orang lalu lalang berbaur dengan lenguh sapi. Mereka yang ikut pesta adu sapi ini memang bermalam bersama jago-jagonya. Maklum, penyelenggara, dan memang sudah demikianlah tradisinya, hanya menyediakan "losmen" bagi sapi-sapi yang siap bertanding. Gratis. Penginapan sapi itu berupa gubuk-gubuk dari ilalang, terletak di sekeliling arena.

Inilah pesta rakyat yang senantiasa dinanti-nanti. Tahun ini hanya diselenggarakan di Desa Kademangan, dalam Kota Bondowoso. Dahulu, pesta berpindah-pindah dari desa satu ke desa lainnya, sebelum dibangun stadion permanen, bersebelahan dengan pasar sapi di Kademangan itu. Namanya saja yang permanen, sementara tribun dan pagar penonton tetap terbuat dari bambu.

Kini istilah adu sapi diperhalus jadi "Kontes Sapi", diselenggarakan oleh Pemda Kabupaten Bondowoso. Kali ini adu sapi diselenggarakan pada akhir Juni lalu, sampai Oktober mendatang. Setiap pekan diadakan dua kali: Sabtu dan Minggu. Pihak Pemda menyerahkan pelaksanaannya kepada seorang promotor. Memang mirip penyelenggaraan sebuah pertandingan tinju.

* * *

Pertarungan kedua ekor sapi rupanya cukup seru. "Ya . .. ya . . . ini dia si rudal, hook-nya berbahaya. Hayo gasak terus sampai ka-o," kata Hendra alias Poo Tiong, pembawa acara, sekaligus bertindak selaku juri tunggal dan dialah promotor itu. Ia telah berpengalaman lebih dari 10 tahun memimpin baku hantam antar sapi ini. Di anjungan itu ia selalu menyelipkan humor di antara komentarnya. Dalam acara yang penuh ketegangan, hal-hal yang mencairkan suasana tampaknya diperlukan. Kadang-kadang lelucon Hendra keterlaluan -- bagi yang terkena. "Wah, wah, wah . . . sapi kayak begini kok diadu di sini, enakan disembelih saja, lantas dimakan dagingnya," ini contoh komentar Hendra, bila sapi-sapi yang beradu tampak kurang terlatih.

Menyaksikan sapi-sapi bertarung memang mendatangkan semacam keasyikan tersendiri. Hewan yang selama ini kita makan dagingnya, kita suruh menarik bajak atau gerobak, ternyata mempunyai taktik bertarung bak seorang petinju profesional. Tak jarang, di arena yang seluas separo lapangan sepak bola, kedua sapi hanya menempelkan tanduk masing-masing, berlama-lama. Atau jago-jago bertanduk itu cuma saling mencium ekor. Ada pula misalnya, seekor sapi lalu menunggangi lawannya, mirip adegan sapi kawin. Kalau sudah begini, lapangan jadi riuh rendah penuh suit-suit dan tawa penonton. Tetapi kalau terus-menerus sapi-sapi yang muncul ke gelanggang ternyata hanya menyuguhkan adegan "damai", penonton pun bisa protes. Serempak mereka akan berteriak histeris. Siapa lagi sasaran mereka bila bukan panitia, ya, Hendra dan kawan-kawan di anjungan itulah. "Ayo pekkeluar se-begus (Ayo keluarkan sapi yang bagus)," pinta penonton. Sapi-sapi itu, ah, tentu saja mereka mendengar protes penonton. Tapi, sayang, tak memahami maksudnya.

Untunglah, dalam pertandingan antara si Rudal dan si Pelor, pertengahan Agustus lalu, penonton merasa puas. Kedua sapi sama-sama tangguh. "Tahun lalu keduanya sama-sama meraih kemenangan," tutur Hendra kepada TEMPO.

Sekitar 3.000 penonton hari itu matanya tertuju pada kedua sapi favorit, yang telah membuktikan ketangguhannya tahun lalu itu. Suara corong tak lagi main-main, seperti sebelumnya. Pada klimaks pertandingan antara kedua jago favorit, juri harus lebih serius. "Kalau tidak, penonton akan marah. Bisa barabe nantinya," ujar Hendra, pengarah acara dan sekaligus juri itu. Demikianlah pengalaman juri sapi itu di tahun-tahun sebelumnya.

Oleh karena itu, penjagaan polisi kini semakin ketat. Ada larangan membawa senjata tajam. Bahkan para pengunjung yang dicurigai langsung diperiksa. Banyak pula polisi yang tak berseragam, menyamar sebagai pengunjung umum berpakaian tradisional Madura. Dengan baju dan celana pendek komprang berwarna hitam, kaus bergaris-garis merah putih, dan odeng, ikat kepala khas pulau garam ala Pak Sakerah.

Tahun ini, sampai awal September, alhamdulillah, tak ada penonton yang kedapatan membawa senjata tajam. Dan yang penting pula, dalam lima tahun terakhir, tak ada yang terlibat carok. Biasanya, mereka yang beringas dan lupa diri itu, yang selalu kalah totoan, judi.

Pelor akhirnya dinyatakan menang. Rudal, meski nama ini gagah, mengambil nama jenis senjata mutakhir, "peluru kendali", harus kalah. "Nama itu saya tiru dari siaran TVRI," ujar pemilik sapi yang kalah itu. Wajahnya tampak sedih, sementara seler (orang-orang berselempang) alias suporter si pelor berguling-guling di arena bergalau dengan debu dan (mungkin) kotoran sapi, merayakan kemenangan.

Para seler ini dielu-elukan panitia. Tiba-tiba terdengar suara gamelan membawakan gending-gending nada sukaria. Lho, dari mana asal suara gendang dan gamelan? Wah, cukup sukar juga dilihat. Mata penonton menyapu ke sana kemari, mencari. Ketika seorang tandak (penari wanita) mengendap-endap keluar, ah, ternyata rombongan tetabuhan berada di kolong bawah anjungan. Yang disebut rombongan gamelan ini membawa cymbal, kecrek, dan gong besar. Mereka itu dikontrak panitia selama diselenggarakannya adu sapi.

Tandak mengelu-elukan yang menang, membawakan kidung (lagu) kemenangan. Sementara itu, Pelor diberi selempang bermotif benang keemasan. Pemilik sapi yang menang tak bisa membendung kegembiraannya: entah berapa ribu rupiah (bukan dolar, tentu) yang dimasukkannya ke celah kutang tandak yang terus saja menari dan menembang. Seler ikut menari-nari di tengah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…