Bila Preseden Menjadi Hukum

Edisi: 34/16 / Tanggal : 1986-10-18 / Halaman : 62 / Rubrik : AG / Penulis :


SEPERTI tiba-tiba keluar dari simpanan lama, buku tua itu dibentang dan dikaji kembali. Ruang gedung Pengurus Besar Nahdatul Ulama yang sempit dan panas itu penuh Jumat malam pekan lalu. Ada Menteri Agama, memang, yang bertindak sebagai pribadi dan menjadi pembicara utama. Tapi juga tampak keinginan hadirin untuk, katakanlah, menemukan kembali basis dari satu masa yang jauh silam: sebuah kitab pemerintahan yang dikarang di abad ke-5 Hijri atau ke-10 Masehi.

Tak heran: minat orang kepada pustaka kuno itu, kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah wal-Wilayatud Diniyah (Hukum-Hukum Pemerintahan dan Pengaturan-Pengaturan Keagamaan), di tahun-tahun terakhir memang seperti dibangkitkan kalangan NU sendiri: ajaran sekitar politik dan pemerintahan dalam Islam, yang "lebih absah" bahkan, yang bukan dari jenis "panas" seperti yang pernah mendominasi kesan tentang Islam itu. Itu terserak dalam berbagai kitab (yang, memang, tidak dalam segala butir bersepakat), tapi terutama dalam kitab Al-Ahkam itu.

Bukan, karya Imam Mawardi ini bukan sebuah buku politik. Ia kitab fiqh -- hukum atau yurisprudensi Islam. Akrom Malibary, M.A., ilmuwan muda NU yang turut membawa makalah, bahkan menunjukkan tidak adanya konsep filosofis tentang negara di situ -- arti, ruang lingkup, wewenang hukum, tanggung jawab dan kewajiban negara. Juga tidak konsep kedaulatan. Atau teori konstitusi. Seorang pembicara di antara hadirin, Aswab Mahasin, Direktur LP3ES, lebih dari itu menyatakan kesimpulannya bahwa Ahkam bukanlah sebuah teori politik, melainkan teori legitimasi.

Dengan kata lain, pembenaran kekuasaan. Dan di sinilah soalnya. Kitab ini, yang dikarang di Baghdad pada periode kedua Dinasti Abbasiah, memang membahas pembentukan keimaman alias khalifah, aturan penggantiannya yang mengiringi kematiannya, hak-hak istimewanya, tugas-tugasnya, dan kemungkinan pemecatannya. Tapi yang terasa menonjol memang kesan peneguhan kekuasaan itu.

Pembentukan keimaman, misalnya, dinyatakan -- sebagaimana umumnya pendapat Ahlus Sunnah alias Sunni -- sebagai wajib syar'i (berdasar syariat). Kesimpulan yang berlandaskan hanya ijma' (konsensus ulama) ini memang berbeda dari pendapat aliran Mu'tazilah atau kalangan filosof, yang memandangnya sebagai semata-mata wajib 'aqli, berdasar akal. Dan pewajiban berdasar agama itu memang searah dengan aspirasi Sunni yang menekankan faktor stabilitas masyarakat dan, dengan demikian, pemerintahan.

Untuk stabilitas itu pula Al-Mawardi menyatakan, selain dapat dipilih oleh sebuah dewan, imam juga dapat ditunjuk oleh imam pendahulunya. Praktis, ini adalal pengangkatan seorang (bahkan bisa lebih) putra atau pangeran mahkota.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Menyebarkan Model Kosim Nurzeha
1994-04-16

Yayasan iqro menyiapkan juru dakwah, ada di antaranya anggota abri berpangkat mayor, yang mengembangkan syiar…

S
Sai Baba, atau Gado-Gado Agama
1994-02-05

Inilah "gerakan" atau apa pun namanya yang mencampuradukkan agama-agama. pekan lalu, kelompok ini dicoret dari…

S
Siapa Orang Musyrik itu?
1994-02-05

Mui surabaya keberatan sebuah masjid dijadikan tempat pertemuan tokoh dari berbagai agama, berdasarkan surat at…