Yang Terempas Di Kaki Majikan
Edisi: 40/16 / Tanggal : 1986-11-29 / Halaman : 52 / Rubrik : HK / Penulis :
BONIRAH, 30, pembantu rumah tangga di Jalan Kapasan Surabaya, pekan-pekan ini menjadi "bintang pengadilan". Ketika sidang yang memeriksa penganiayaan atas dirinya, Sabtu pekan lalu, ribuan pengunjung luber sampai ke halaman pengadilan. Sejak pukul 6 pagi, pengunjung sudah antre untuk mendapatkan tiket masuk yang terbatas -- sebagian besar hanya bisa mengikuti sidang di halaman pengadilan melalui pengeras suara. Selain Bonirah atau Irah, hari itu memang hadir pula di sidang rekan senasibnya, Windarti dan Markamah, yang juga dianiaya majikannya.
Pengunjung yang berjubel hanyut dalam luapan emosi. Mereka berteriak, "Irah . .. Irah ...," ketika saksi dibawa meninggalkan pengadilan. Sebab itu, pihak keamanan terpaksa siaga penuh mengamankan sidang -- melebihi acara sidang-sidang subversi: sekitar 300 polisi dan puluhan anjing pelacak dikerahkan. Alat baru di lingkungan peradilan yang selama ini menganggur, metal detector, difungsikan. Ikut pula meramaikan persidangan petugas TVRI Surabaya yang meliput sidang. "Sejak saya menjadi kepala Humas di sini, baru kali ini sidang pengadilan diliput televisi," kata Kepala Humas Pengadilan, Monang Siring-go-ringgo.
Begitu penting? Setidaknya kedua kasus itu sempat membangkitkan amarah sebagian penduduk Surabaya. Akhir September itu, beberapa hari toko-toko terpaksa tutup, dan panser tampak bersiaga di berbagai sudut kota. Sementara itu, kerumunan orang terlihat di beberapa tempat. Kegawatan itu bermula dari munculnya Irah, merangkak keluar dari rumah majikannya di Jalan Kapasan, dengan luka sekujur tubuhnya pada 16 September. Sewaktu dibawa tukang becak melapor ke polisi, ia mengaku telah empat tahun disekap di rumah majikannya, Herman Hartanto, persis di sebelah kantor Polres Surabaya Timur. Kecuali mengaku disekap dan diperkosa majikannya, Irah menyatakan sepanjang hari disiksa pula oleh istri Herman, The Hoen Hoen. Ia, misalnya, sempat disetrika, dipukuli jarinya sampai rusak, atau disiram air panas.
Belum habis kegemparan soal Irah, di pekan itu juga, penduduk Surabaya dikagetkan lagi oleh kasus Windarti, 15, dan Markamah, 17. Majikan mereka di Jalan Dharmahusada, Suseno Kurniawan, terpaksa melarikan Windarti ke rumah sakit dalam keadaan kritis akibat penganiayaan dan siksaan. Akibatnya, massa benar-benar marah, dan sempat terjadi pelemparan batu ke mobil-mobil. Untunglah, petugas keamanan, yang langsung dipimpin Panglima Brawijaya, Mayjen Saiful Sulun, cepat mengatasi keadaan sehingga kerusuhan yang lebih besar teratasi (TEMPO, Nasional 4 Oktober).
Toh, aparat keamanan menempuh kcbijaksanaan untuk menyidangkan perkara itu secara terbuka, bahkan mengundang TVRI segala. Sebuah keberanian yang patut dipuji dan bisa menjadi senjata ampuh untuk menangkal desas-desus yang tidak benar. "Kata Panglima, biar masyarakat tahu dan puas bahwa terdakwa pelaku penganiaya kedua kasus itu diadili," ujar Kepala Pendam Brawijaya, Letkol R. Abdurahman Amang.
Saiful Sulun memang sangat memahami kemarahan warganya. "Perbuatan terdakwa benar tidak manusiawi. Semua pihak tidak terkecuali WNI keturunan apa pun-akan trenyuh dan prihatin bila melihat perlakuan tidak manusiawi itu, kata Saiful Sulun. Keadaan tubuh Irah, misalnya, kata Saiful, sampai tidak bisa dipulihkan kembali -- cacat seumur hidup -- kendati dengan operasi plastik sekalipun. "Sekujur tubuhnya rusak dan tidak bisa dibikin mulus karena tidak secuil pun kulitnya yang bisa diangkat untuk…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Vonis Menurut Kesaksian Pembantu
1994-05-14Tiga terdakwa pembunuh marsinah dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. pembela mempersoalkan tak dipakainya kesaksian yang…
Hitam-Hitam untuk Marsinah
1994-05-14Buruh di pt cps berpakaian hitam-hitam untuk mengenang tepat satu tahun rekan mereka, marsinah, tewas.…
Peringatan dari Magelang
1994-05-14Seorang pembunuh berencana dibebaskan hakim karena bap tidak sah. ketika disidik, terdakwa tidak didampingi penasihat…