Maulana Menari Di Depan Tuhan ; Malana Menari Di Depan Tuhan

Edisi: 48/15 / Tanggal : 1986-01-25 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :


AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mausoleum kita, menggemakan kalimat-kalimat kita." Demikian Maulana Jalaluddin Rumi kepada anaknya, Sultan Walad, menurut sebuah sumber dari abad ke-14.

Kemudian, waktu pun berlayar dalam tahun dan abad. Konya bagai terlelap dalam deru sejarah. "Tetapi, Kota Anatolia Tengah ini tetap menjadi saksi kebenaran ramalan tadi," tulis Talat Sait Halman, penyair dan pengarang Turki yang telah merampungkan seonggok buku dan artikel mengenai para mistikus Islam Anatolia, terutama Maulana Jalaluddin Rumi dan Yunus Emre.

Selama lebih dari tujuh abad, Rumi laksana bayangan abadi yang mengawal Konya. Terutama di kalangan pengikutnya, para maulawi, yang di Barat lebih termasyhur sebagai "para darwis yang menari" -- the whirling dervishes.

Setiap tahun, dari tanggal 2 sampai 17 Desember, ribuan peziarah mara menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka datang untuk memperingati hari wafat Maulana Jalaluddin Rumi 712 tahun yang silam.

Siapakah sesungguhnya orang ini, yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang pendapat yang riuh rendah? "Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman," kata Orientalis Inggris Reynold A. Nicholson. "la bukan nabi, tetapi ia menulis kitab suci." ujar penyair klasik Persia, Jami, mengenai karya Rumi, Masnawi.

Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya di kanvas, berdasarkan sebuah gambar kuno. Muhammad Iqbal, filosof dan penyair nasional Pakistan itu, sekali waktu berkata "Maulana mengubah tanah menjadi madu .... Aku mabuk oleh anggurnya; aku hidup oleh napasnya." Bahkan Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menulis pesan khusus: "Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Maulana."

* * *

Jalaluddin diliahirkan pada 1207 di Balkh, kini wilayah Afghanistan. Ia putra Bahauddin, ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir bersama keluarganya dari Balkh tatkala Jalaluddin masih 12 tahun. Alasan pengusiran tidak pernah jelas, hanya ada isyarat ke arah persilangan pendapat antara Bahauddin dan Sultan.

Sepuluh tahun keluarga ini mengembara melalui Persia dan Jazirah Arab: tidak setumpak tanah pun cocok untuk semangat kebebasan dan gagasan "revolusioner" Bahauddin. Begitulah, sampai akhirnya Konya membukakan pintu.

Kota yang di zaman purba bernama Iconium ini pernah dikunjungi Paulus, rasul Kristen, tiga kali. Selama hampir 150 tahun ia menjadi ibu kota Kerajaan Seljuk Turki. Tinggi dalam kebudayaan, semarak oleh iklim toleransi dan kebebasan. Kendati mayoritas penduduknya Turki dan Islam, rumah baru Bahauddin ditegakkan di tengah corak kosmopolitan. Di sini berbaur masyarakat Kristen, Yahudi, Yunani, Armenia, penganut pelbagai sekte Islam maupun para nonmuslim berdampingan dalam damai.

Menurut sahibulkisah, adalah penguasa Seljuk, Sultan Alauddin Keykubat, yang mengundang Bahauddin sekeluarga bernaung di kota itu. Dalam suratnya, konon, Sultan menyebutkan, "Kendati saya tidak pernah menundukkan kepala kepada seorang jua, saya siap menjadi pelayan dan pengikut Anda yang beriman."

Sultan bahkan sudi merendahkan diri dengan menjemput rombongan Bahauddin di pintu kota -- dengan berjalan kaki. Penguasa itu berniat mencium tangan sang ulama, yang tetap bertengger di pelana kudanya, tetapi Bahauddin mengulurkan tongkat "jabatan"-nya, lambang kekuasaan moralnya, dan tongkat itulah yang dicium Sultan dengan takzimnya.

Ketika itu Jalaluddin berusia 22. Ia bermukim di Konya hingga wafatnya, 17 Desember 1273, pada usia 66. "Kota ini menyuguhkan kepadanya suasana dan kesempatan untuk mengembangkan dan menyatakan gagasan-gagasan barunya, yang menerima nilai-nilai kultural pelbagai agama dan mazhab yang hidup di ibu kota Seljuk itu," tulis Talat Sait Halman, guru besar bahasa, sastra, dan sejarah kebudayaan Turki yang pernah mengajar di Universitas Columbia, Universitas New York, dan Universitas Princeton, AS.

Di Konya pulalah filosofinya menemukan bentuk gerakan atau mazhab. Gagasan dan idaman Maulana akan kemurnian spiritual, kasih dan pengertian, dimensi-dimensi estetis iman, kemanusiaan, kebebasan intelektual, dan universalisme, menemukan tanah yang subur dan berakar di jantung Anatolia.

Pada 1244, sebuah pertemuan dramatis mengubah kehidupan spiritual Maulana. Ia berjumpa dengan Syamsuddin Tabriz, mistikus yang bersemangat, yang datang ke Konya entah dari mana. Pertemuan ini kerap digambarkan sebagai "bertemunya dua samudra". Ada dikatakan, "Maulana menemukan rahasia pedalaman cinta melalui Syamsuddin, dan sampai pada kenyataan bahwa cinta melampaui akal pikiran."

Saat itu Maulana berusia 37, dan berada di atas semua ulama di Konya. Ia menimba pengetahuan dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani, dan Ibrani. Pengetahuannya ensiklopedis. Tetapi, tiba-tiba, kegairahan menaklukkan akal pikirannya: Batas-batas kecerdasan mendadak tampak sempit, mengungkung, dan membelenggu.

Di bawah pengaruh pertemuan dengan Syamsuddin, ia menjalani periode menyala-nyala, baik dalam kreativitas kepenyairan maupun kegairahannya kepada musik. Dalam periode itu pulalah lahir sema, tarian mistis itu. "Secara simbolis, Maulana adalah obor yang dinyalakan Syamsuddin," kata Talat. Pengarang Prancis Maurice Barres memadankan persahabatan kedua orang itu dengan persahabatan Socrates dan Plato atau Goethe dan Schiller.

Tindakan-tindakan simbolis Syamsuddin sendiri kadang-kadang membingungkan. Dengan mengatakan, "llmu kasih tidak bisa dikuasai melalui sekolah agama," ia konon melarang Maulana membaca buku, termasuk karangan ayahnya sendiri. Suatu hari, seraya duduk di tepi telaga, Syamsuddin mencampakkan buku-buku Maulana satu demi satu ke dalam air. Yang empunya hanya memandang, mungkin dengan keyakinan bahwa mistik sejati hanya bisa direngkuh tanpa melalui jalan konvensional.

Setelah persahabatan 15 bulan, tiba-tiba Syamsuddin lenyap secara misterius. Maulana terguncang, dan mengalami kehilangan besar. "Tanpa wajahnya surga bagiku bagai neraka yang menjijikkan," tulis mistikus itu. Sejumlah puisi hadir dari perpisahan mendadak ini: Datanglah,/ datang./dalam ketidakhadiranmu, /aku kehilangan akal dan iman.

Makna Syamsuddin dalam kehidupan Maulana bisa disimak melalui sepucuk surat yang dilayangkan Maulana ke Damaskus, tatkala diketahui bahwa Syamsuddin berada di kota itu: "O, cahaya hatiku pulanglah! O, kekasihku dan kekasihku satu-satunya, hidup kami ada dalam tanganmu. Datang lah, aku berdoa."

Syamsuddin tidak membalas surat itu. Akhirnya putra Maulana, Sultan Walad, bersama sejumlah pengikut…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…