Madura: Sapi Dan Manusia

Edisi: 14/51 / Tanggal : 1985-02-16 / Halaman : 33 / Rubrik : SEL / Penulis :


SEORANG lelaki kekar, yang berdiri di anjungan seluas tiga meter persegi, dengan ketinggian dua meter, berteriak: "Cuulll".... Semua mata lalu dialihkan ke tengah lapangan: teriakan cul lewat pengeras suara itu hampir berbarengan dengan melesatnya pasangan-pasangan sapi yang memburu di tanah tanah rumput. Cul yang berasal dari kata Madura ocol (pada ucapan terdengar "ocul") artinya lepas atau lepaskan - dan berfungsi sama dengan letupan pistol tanda start untuk pelari maraton.

Kerapan sapi sudah dimulai. Penonton yang memadati lapangan tak henti-hentinya berteriak histeris. Pasangan-pasangan sapi yang berlari kesetanan pun tak henti-hentinya menerima sabetan cemeti dari joki yang duduk di pelana kayu. "Hidup Artis Safari! Hidup Artis Safari .... Unyil! ... Unyil! ... ayo

Artis Safari dan Unyil - lengkapnya: Si Unyil Makhluk Ajaib - adalah nama-nama pasangan sapi yang ikut bertarung kali ini - di lapangan Giling, Kota Sumenep, Madura, pertengahan September tahun lalu. Ada 36 pasangan berlomba. Semua punya nama yang terdengar cukup aneh: Supersonic, Si Ganyang, Berjuang, Gajahmada, dan Sayonara.

Musim kerapan sapi di Madura biasanya berlangsung antara Juli dan September. Ini masa-masa habis panen, kala kesibukan petani berkurang, sementara uang mereka berlebih. Lomba adu cepat lari sapi tradisional ini, ternyata, punya putaran kompetisi yang teratur, seperti halnya putaran kejuaraan PSSI.

Perlombaan dimulai pada tingkat kecamatan. Di situ bertanding jago-jago desa. Pemenang tingkat kecamatan kemudian bertarung di tingkat kawedanan - istilah resminya sekarang "pembantu bupati". Pemenangnya berhak ikut pertandingan tingkat kabupaten. Nah, puncak acara kerapan sapi kemudian kejuaraan antarkabupaten. Di sinilah hadiah dan piala-piala dari pejabat dan sponsor diberikan. Dan pesta besar ini disebut kerapan sapi tingkat Karesidenan Madura.

Pada tingkat kabupaten perlombaan seru luar biasa - seperti yang di lapangan Giling di tengah Kota Sumenep itu. Enam kecamatan di Kabupaten Sumenep mengirimkan wakil mereka: Kecamatan Batang-batang, Guluk-guluk, Ambunten, Bluto, Pulau Sapudi, dan Sumenep Kota. Lapangan yang dipakai arena lomba tak lain lapangan sepak bola "rakyat", tak ada tribun khusus untuk penonton, juga pajangan-pajangan. Satu-satunya kesibukan sebelum kerapan adalah pembuatan anjungan - ya, untuk panitia yang memberi aba-aba cul tadi dan untuk sejumlah juri berdiri.

Dekat dengan anjungan itu, ada garis start yang tak jauh dari finishnya. Di sanalah sapi dibariskan sebelum berlomba. Lapangan memang tidak terlalu luas, hingga kerapan sapi hanya menempuh jarak 120 meter. ")arak tempuh tergantung lapangan yang ada," kata seorang panitia yang kebetulan pegawai Dinas Peternakan. Maklum: tidak ada "federasi kerapan sapi internasional".

Panitia kerapan biasanya memang para pegawai Dinas Peternakan yang di bantu aparat keamanan setempat dan pemuka desa. Sebagian dari mereka menjaga garis finish atau garis start. Ketika dua pasang sapi siap di garis start, ada pula anggota panitia yang bertugas membawa bendera merah. Dia ini tokang gebbes - pengibas bendera, yang dibetot begitu suara cul yang keras itu berkumandang.

Sementara itu, jika dua atau tiga pasang sapi siap di garis start, ribuan pasang mata penonton tertuju kepada tokang tongkok alias joki. Biasanya ia, seorang pemuda dengan muka garang, berselempang kain yang warnanya sesuai dengan umbul-umbul di garis start itu. Umbul-umbul ini bukan hiasan, tapi berguna untuk memudahkan penonton mewarnai teriakannya jika sapi belum mereka ketahui namanya. Jadi, cukup: "Merah! Hijau! Kuning!"

Ketika juri siap membacakan pengumuman, terutama waktu joki naik ke pelana kayu, yang bahasa Maduranya kaleles, dan tepuk sorak biasanya sudah dimulai, sejumlah petugas lain sibuk menjalankan fungsi. Agar sapi tidak beringas karena tepuk sorak itu, ada yang bertugas merangkul kepala binatangbinatang itu. Ini tentu saja kerja yang berbahaya salah sedikit bisa kena tanduk. Petugas ini disebut tokang tambeng, yang termasuk dalam puluhan petugas di belakang sapi. Orang-orang ini bukan panitia, tetapi anggota kru yang berlomba, alias umat si sapi.

* * *

Saat yang mendebarkan pun tiba. Teriakan cul sudah berkumandang, tokang gebbes sudah mengibaskan bendera start, tokang tambeng bergerak gesit melepaskan rangkulan. Dan pasanganpasangan sapi melesat - bukan karena teriakan cul, apalagi karena kibasan bendera, tapi karena kaget dan kesakitan: belasan orang di belakang sapi-sapi itu menghardik "yeah!" sembari memukulkan cemeti berbarengan ke tubuh sang binatang. Bukan hanya cemeti, malahan juga pecahan bambu, ranting pohon, ikat pinggang, atau apa saja yang sedang dipegang.

Setelah sapi menggebrak, tugas selanjutnya monopoli si joki yang dengan terus-menerus menghajar tubuh sapi dengan cambuk dan bahkan sikat berduri. Bersamaan dengan itu, penonton yang memagari lapangan berteriak histeris sambil melemparkan apa saja ke angkasa: topi, kopiah, gumpalan rumput, pelepah pisang, tak ketinggalan juga sandal atau sepatu.

Jarak 120 meter itu ternyata ditempuh hanya sekitar sepuluh detik - dan bendera di garis finish diacungkan. Tak sampai seperempat menit, satu rondenya. Tetapi justru setelah bendera finish dikibarkan, "drama" sebuah kerapan sapi baru mulai. Begini:

Sapi-sapi yang lari kencang itu tak bisa dihentikan mendadak begitu saja, seperti pengemudi menginjak pedal rem. Tidak. Upaya joki tak lebih dari menarik tali pacu untuk merangsang sapi melakukan gerakan yang berlawanan, dan speed memang menjadi pelan. Tapi ini sapi, lho - dalam keadaan kalap pula. Binatang-binatang itu lari terus, menubruk apa saja yang menghadang.

Sepasang sapi menerjang pohon mangga di pinggir lapangan. Penonton buyar, lari terbirit-birit. Puluhan tokang nyandak, yang tugasnya menghentikan keberingasan sapi, memburu sapi yang kesetanan. Bagai para matador tokang-tokang nyandak meloncat dan menerkam tanduk sapi, memelintirnya sebentar dengan kekuatan luar biasa - konon dengan ilmu khusus - dan sapi itu pun, anehnya, jinak seketika. Seorang joki jatuh - sapinya menubruk pohon. Seorang penonton mengabarkan kaki Ma Joki patah sudah.

Pada pasangan berikutnya ada pula kecelakaan lain: Tokang nyandak tak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Sapi-sapi yang dihadangnya tak bisa dihentikan dengan jalan damai, menubruk pohon-pohon, dan kayu yang menggandeng kedua sapi itu patah, dan jagoan-jagoan yang sudah single itu lari mendengus-dengus menyerbu penonton, dan penonton menghambur memanjat pohon apa saja, dan penonton yang jauh dari pohon menyerbu arena yang tadi dipakai kerapan. Seorang penonton jatuh sebagai korban - bukan oleh sapi, tapi terinjak penonton lain. Pingsan.

Pingsan, alhamdullilah. Sebab, kerapan di lapangan Giling itu mengambil korban yang lebih parah dari sekadar pingsan. Entah pada ronde keberapa, mungkin keenam atau ketujuh, seorang penonton bernama Drawi, yang berdiri dekat garis finish, tiba-tiba bergelimang darah. Ia diinjak sapi dan dilindas kaleles hingga tersungkur. Mata kirinya kena terjang kaki sapi, tersembul keluar. Kepalanya tiba-tiba berwarna merah semua. Penonton di sekitarnya cuma bisa memandangnya sesaat - masing-masing masih berjaga-jaga dan mencari langkah menghindar dari amukan sapi.

Baru setelah tokangnya ndak berhasil menenangkan sapi, pertolongan untuk Drawi berseliweran datang. Kerumunan tak terhindarkan, sehingga tak jelas siapa yang menolong dan siapa pula yang punya niat lain. Regu PPPK yang sudah siap sejak awal termasuk dalam pertolongan simpang-siur itu. Tubuh Drawi yang sekarat kemudian tampak dibawa ke mobil ambulans. Astaga, baru saja sosok itu dimasukkan ke mobil, dari arah lain muncul pula orang-orang tergopoh-gopoh menggotong tubuh lelaki lain. Mulut dan hidungnya berdarah, entah karena sapi atau karena terinjak penonton.

Sore hari, ketika kerapan berakhir, dengan cepatnya tersiar kabar: seorang korban tewas di rumah sakit, seorang lagi gegar otak. Entah siapa yang tewas, siapa yang gegar otak. Tapi di antara kabar itu terdengar juga berita tak sedap: Drawi, ketika mengalami nasib nahas itu, kena copet Rp 150 ribu. Dan satu berita lagi: Drawi seorang penjudi.

* * *

Penjudi macam Drawi memang kelompok terpenting yang meramaikan kerapan sapi. Penjudilah yang biasanya bergerombol di dekat garis finish. Mereka berkepentingan sekali segera mengetahui keputusan juri - dan berniat mempengaruhi keputusan. Para penjudi itu kadang-kadang memang menjadi juri tidak resmi: mereka memperlengkapi catatan mereka dengan stopwatch, dan tak begitu saja percaya kepada juri yang menggantungkan keputusan pada acungan bendera finish. Pertengkaran akibat perbedaan penilaian itu tak jarang menimbulkan huruhara, yang tak menunggu waktu sampai selesainya huru-hara penonton menyelamatkan diri dari amukan sapi-sapi.

Di lapangan Giling itu pun kekacauan terjadi ketika tiga pasang sapi bertarung. Di babak semifinal: Pesawat Angkasa Luar, nama sapi milik bupati Sumenep, R.H. Soemarlum, lalu Congkrong Halilintar, kepunyaan kepala Kepolisian Sektor Batuputih, Letnan Satu A. Ghafar, dan Gajahmada, yang pemiliknya seorang pedagang hewan ternama dari Desa Ganding.

Ternyata, Gajahmada menang - meninggalkan kedua lawannya dalam waktu yang cukup bisa dibedakan penonton awam. Bendera merah sudah berkibar di garis finish dan segera diikuti bendera merah di garis start dan anjungan. Umbul-umbul merah di tempat start Gajahmada juga digoyang-goyangkan kru sapi Gajahmada dengan girang.

Tetapi untuk pemenang kedua dan ketiga, tak ada kesepakatan. Dua pasang sapi nyaris bersamaan mencapai garis finish. Panitia di garis finish jadinya agak ragu. Sebagian penjudi yang berkerumun di situ meneriakkan kata: "Hijau! Hijau!" untuk Halilintar. Tapi panitia ternyata tak kunjung mengangkat bendera hijau. Belakangan, setelah ditunggu penuh waswas, panitia mengangkat ini: bendera hijau dan kuning sekaligus. Lho! Mengapa draw, atau, istilah sononya, beddhu? Sebagian penonton protes makin lama semakin banyak. "Hijau menang! Hijau menang!" suara gelombang pemrotes.

Hansip, polisi, tentara, bergegas menjaga ketat tangga anjungan agar tidak sampai diserbu penonton, sementara protes semakin lantang dan berani. Ada yang mengacungkan stopwatch segala. Lewat corong, panitia setengah putus asa mengulang-ulang permintaan agar penonton tenang dan kembali keluar garis perlombaan. Imbauan tidak digubris. Joki si Congkrong Halilintar, dengan pecut yang diayunkan ke atas, malah dibopong ramai-ramai. Mat Joki yang gagah dalam pakaian olah raga dan bersarung tangan ini pun tak ketinggalan berulah: ia memamerkan jurus-jurus silat - uh! - sementara kakinya bertumpu pada pundak-pundak yang memanggulnya. Mulutnya pun tak tinggal diam. "Hijau, Pak, yang menang! Hijau! Saksinya penonton! Pokoknya, Hijau!" Penonton memberikan persetujuan dengan gemuruh luar biasa.

Ketika protes terasa akan berkepanjangan, bupati Sumenep - yang menonton sejak tadi bersama cucunya - "diamankan". Kemudian kelihatan bergegas meninggalkan lapangan dengan kawalan ketat petugas Hansip. Komandan Kodim Sumenep, Letkol Ma'boel, naik ke anjungan. "Saudara-Saudara, saya minta tenang." Penonton tenang sesaat. "Coba dengar apa kata juri, siapakah dari kedua pasangan itu yang menang." Bagai kawanan lebah yang serentak hinggap di sarang, gemuruh penonton lenyap. Semua menunggu dengan tegang keputusan yang akan diumumkan komandan kodim itu. Tapi Ma'boel tak segera mengumumkannya. Entah ia tidak siap, entah ia ingin keputusan lebih terbuka dengan menyerahkannya pada juri. Ia menoleh kepada juri dan bertanya dengan suara tegas: "Juri, coba sebutkan, hijau atau kuning." Juri, yang terdiri dari lima orang, agak tergagap menghadapi penunjukan tiba-tiba itu. Mereka tak segera bisa menjawab, dan penonton menggunakan peluang itu untuk berteriak bagai koor: "Hijauuu . . .!" Saya tidak tanya kalian. Saya tanya jurinya!" kata Dandim dengan berang. Kembali tenang.

Akhirnya juri menentukan pemenang. Bendera diangkat. Hijau. Penonton menyambutnya dengan riuh. "Jelas, Saudara, Hijau menang, seperti yang Saudara lihat. Tadi, sewaktu Dewan Juri mengangkat dua bendera, hijau dan kuning, itu cuma salah angkat," kata Ma'boel. Penonton bersorak menyambutnya, entah memaafkan, entah mengejek. Ketika ditanya, seorang…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…