Afrika Selatan: Penindasan Yang ...

Edisi: 14/15 / Tanggal : 1985-06-01 / Halaman : 37 / Rubrik : SEL / Penulis :


KALAU saya berusia 18 tahun," ujar Lucas, seorang bocah berkulit hitam, "saya akan pergi ke Lusaka untuk menjadi kader. Di sana saya bisa punya bazooka, dan dengan bazooka itu saya bisa melawan polisi." Usia Lucas baru 14 tahun, tapi ia lahir dan tinggal di Afrika Selatan, negeri tempat pribumi kulit hitam ditindas penguasa kulit putih yang minoritas.

Dan polisi, bagi penduduk kulit hitam Afrika Selatan yang mayoritas, adalah lambang utama penindasan penguasa yang langsung mereka rasakan akibatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Di Cradock, "kampung kulit hitam" tempat tinggal Lucas, di Provinsi Tanjung Timur, hampir tiap hari polisi berpatroli dengan mobil lapis baja. Pemandangan semacam itu lumrah di seantero Afrika Selatan, terutama di daerah permukiman kulit hitam. Kesatuan polisi itu dipimpin oleh satu-dua orang kulit putih, dan selebihnya - para anak buah - adalah orang-orang yang warna kulitnya sama dengan Lucas. Bagi Lucas, kehadiran polisi sama artinya dengan berkobarnya rasa kebencian dan juga ketakutan. "Kalau melihat mereka, timbullah nafsu saya untuk membunuh mereka," katanya.

Pernyataan Lucas mencerminkan pertumbuhan jiwa dan cara berpikir sebagian besar generasi muda Afrika Selatan, suatu negeri yang, seperti kata senator Amerika Serikat terkemuka Edward Kennedy, kawasan tempat setiap orang - dan tampaknya juga setiap persoalan - digolongkan berdasarkan ras. Polisi menembaki penduduk kulit hitam - jika terjadi kerusuhan - bukanlah peristiwa luar biasa di sana. Dan bagi penduduk kulit hitam, demonstrasi atau bentrokan dengan polisi, dan akhir-akhir ini juga pemogokan yang ricuh, sudah lama menjadi irama hidup mereka sehari-hari.

Dalam dua bulan terakhir ini lebih dari 40 orang kulit hitam tewas dimakan peluru para penegak hukum kulit putih, belum terhitung lagi yang luka-luka.

Pemerintah Afrika Selatan di bawah Presiden Pieter W. Botha yang berkuasa sampai kini membawa panji-panji "Partai Nasional". Kelompok kulit putih minoritas ini memenangkan pemilihan umum sejak 1948. Dalam beberapa tahun terakhir serangkaian perubahan di bidang politik, ekonomi, dan sosial memang telah terjadi. Pertumbuhan penduduk kulit hitam yang tak terkendali dan modernisasi ekonomi besar-besaran memaksa pemerintah memperlonggar sistem apartheid-nya yang ketat dan mengambil langkah lebih berhati-hati menuju apa yang disebutnya "pemerintahan multirasial". Tapi perihal prinsip pokok apartheid-nya sendiri, tetap tidak diadakan tawar-menawar.

* * *

Apartheid dalam bahasa resmi pemerintah Afrika Selatan adalah aparte ontwikkeling (perkembangan terpisah). Niatnya yang bagus, seluruh masyarakat baik kalangan penduduk kulit putih maupun kulit hitam - memang harus berkembang menuju kemajuan. Tapi jeleknya perkembangan itu didasarkan kelompok menurut tingkatan sosial dalam masyarakat yang tak lain, pengelompokan warna kulit. Maka, ada berjenis-jenis perkembangan yang tidak "(duduk) sama rendah, tidak (tegak) sama tinggi". Dan antara kelompok yang satu dan yang lain tidak ada kaitan, tidak ada percampuran.

Bibit-bibit apartheid - yang disahkan itu - sudah ditanamkan sejak para pendatang bule memutuskan menetap pada tahun 1652. Kaum Kristen Kalvinis Eropa ketika itu memandang penduduk pribumi yang primitif dan tidak beragama Kristen bukan saja masih biadab, tapi juga "putra-putra Ham" (anak kedua Nabi Nuh) yang dikutuk Tuhan untuk jadi budak. Pandangan inilah yang kemudian melahirkan lembaga perbudakan dan menempatkan penduduk pribumi lebih rendah daripada pendatang kulit putih.

Dasar anggapan yang agamis ini bergandengan dengan prinsip cari untung, yaitu kebutuhan akan tenaga kerja murah, ketika orang kulit putih mulai mengerjakan tambang intan dan emas pada tahun 1870. Tenaga murah ini tersedia. Dan mereka adalah penduduk pribumi.

Tempat tinggal mereka pun ditetapkan tak boleh berbaur dengan orang kulit putih. Bagi kaum kulit hitam disediakan daerah khusus yang jauh terpisah dan berpagar rapat.

Dengan kedua aturan - tempat tinggal terpisah dan surat pas - ditanamkan-lah dasar-dasar penguasaan atas buruh kulit hitam. Dengan cara begitu, orang kulit putih mempunyai persediaan tenaga kerja yang siap digunakan tanpa perlu hidup berbaur dengan mereka.

Kini, tiap hari menjelang senja, di kota-kota besar Johannesburg, Durban, Pretoria, Port Elizabeth, dan Capetown - pusat permukiman kulit putih - akan tampak pemandangan seperti ini: Puluhan sampai ratusan ribu pekerja kulit hitam meninggalkan tempat kerja mereka. Bis, kereta api, dan jalan raya penuh sesak oleh orang kulit hitam yang pulang ke perkampungan khusus mereka - berkilo-kilometer jauhnya di piniran kota. Karena jam malam, mereka harus berpacu dengan waktu. Kedapatan masih berada dalam batas wilayah permukiman kulit putih setelah berlaku jam malam bisa membuat mereka ditangkap dan masuk sel.

* * *

Sampai abad ke-19, permukiman kulit hitam masih satu daerah dengan kulit putih. Tapi pada dasawarsa pertama abad ke-20, mereka digiring ke daerah pinggiran. Penduduk Peranakan (Coloured) dan keturunan India terkena pula peraturan penggusuran. Daerah pinggiran inilah yang disebut township.

Senator Edward Kennedy, yang belum lama ini mengunjungi Afrika Selatan, terpaku melihat keadaan itu, dan ia pun menulis dalam majalah Ebony (penerbitan warga kulit hitam AS edisi Mei). Ia mengungkapkan pengalamannya berkunjung ke beberapa tempat permukiman kulit hitam dan pertemuannya dengan para pemimpin kulit hitam termasuk Uskup Desmond Tutu, pemimpin spiritual kulit hitam Afrika Selatan yang belum lama mendapat Hadiah Nobel Perdamaian.

Ketika mengunjungi Soweto, perkampungan buruh kulit hitam yang besar di Johannesburg, Kennedy menulis: "Sejauh-jauh mata memandang, yang tampak hanya kompleks permukiman yang amat luas dengan rumah-rumah primitif yang kotor. Dengan beberapa pengecualian, semua rumah itu tampak sama: sempit, dan bikinan pemerintah. Kakus dan kamar mandi dibangun di luar rumah, dan tidak ada listrik. Jalan lingkungannya hanya beberapa yang diaspal, dan hanya ada beberapa warung dan pasar kecil. Beberapa kilometer dari situ tampaklah permukiman kulit putih dengan rumah-rumah mentereng di Johannesburg. Di sini, di Soweto, jutaan kulit hitam seakan 'menumpang' hidup."

Rumah-rumah yang disebutkan Kennedy itu tidak disediakan pemerintah dengan cuma-cuma. Ongkos sewa rumah-rumah bobrok itu ternyata sangat tinggi, sementara upah para buruh sangat rendah. Karena sulitnya mendapatkan perumahan, bisa terjadi satu rumah didiami sampai empat generasi berdesak-desakan.

Dengan upah yang rendah dan kehidupan yang mahal itu, orang kulit hitam tak mampu menyekolahkan anaknya yang di Afrika Selatan tinggi pula biayanya. (Sementara pendidikan anak kulit putih diberikan cuma-cuma). Keadaan ini berakibat lebih jauh, keluarga kulit hitam takut meninggalkan anak mereka yang tidak bersekolah itu di rumah, bila suami-istri bekerja di kota. Mereka khawatir, anak-anak yang tak tahu apa-apa melakukan kesalahan, melanggar hukum. Yang menakutkan mereka, anak-anak itu disamakan dengan orang dewasa, ditangkap dan dipenjarakan. Bahkan, cuma karena salah bicara.

Buruh hitam yang tinggal di barak-barak lebih menyedihkan. "Ratusan buruh hitam dipaksa hidup dalam barak yang dikurung pagar tinggi," tulis Kennedy, "dalam penderitaan di luar batas peri kemanusiaan, ratusan mil terpisah dari keluarga selama 11 bulan dalam setahun. Saya melihat kepedihan di wajah mereka ketika menceritakan betapa mereka terpaksa berpisah dengan anak-istri selama berbulan-bulan, demi menegakkan rumah tangganya. Seorang pekerja sudah 20 tahun hidup di barak itu, dan hanya dapat berkumpul dengan anak-istrinya selama 20% dari waktu tersebut.

Teriba-iba, Kennedy selanjutnya menulis, "Kami duduk dan ngobrol di meja kayu di samping tungku dalam 'ruang bersama' salah satu barak. Bangunan rapuh itu menampung 16 orang, delapan orang dalam satu kamar. Tak ada tempat menyimpan pakaian. Semua barang mereka disangkutkan di kawat yang terentang dekat loteng. Terputus hubungan dengan bagian Soweto yang lain dan terpencil dari Johannesburg, mereka mendapat libur hanya sehari dalamseminggu. Banyak dari mereka mengatakan, mereka menghabiskan waktunya dengan minum dan berjudi . . . ."

Para buruh yang tinggal di barak adalah buruh pendatang - suatu sistem mempekerjakan buruh yang sudah dikembangkan ratusan tahun dengan berbagai bentuk…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…