Kerajaan Kupu-kupu Di Pinggir Jeram

Edisi: 23/15 / Tanggal : 1985-08-03 / Halaman : 43 / Rubrik : SEL / Penulis :


ANDAI Alfred Russel Wallace tak tertarik oleh kupu, mungkin Sulawesi tidak bakal jadi unik dalam peta geografi dunia. Syukurlah, Wallace malah terpesona. Sewaktu berjalan bersama Badrun, Ali, dan Baco di pedalaman Makassar, ilmuwan penjelajah itu melihat sekumpulan kupu-kupu beterbangan di keteduhan - sebentar ke kebun, sebentar kesemak, menggeletarkan sayap perlahan. Wallace terpaku - dan segera mengenali jenisnya: kebanyakan masuk kelompok Euplaea dan Danais.

Seekor, yang hitam-biru pucat, Eronia tritaea, melayang menyusur tanah antara semak-semak, lalu hinggap di bunga. Tangkai bunga bergoyang lembut, menahan beban baru. Seekor lagi kaya dengan warna oranye bergaris-garis pada sayap yang berdasar hitam. Ini Tachyris ihtome. Keduanya anggota kelompok Pieridae, umumnya diketahui hanya beranggotakan kupu-kupu putih. "Kedua jenis ini masih baru bagi para naturalis Eropa," tulis Wallace dalam buku The Malay Archipelago. (TEMPO, 6 April, 1985).

Itu kisah lama, memang - tahun 1856, ketika Wallace pertama kali mengunjungi Makassar. Lebih dari sebulan kemudian ia berangkat ke Aru, dan kembali lagi setahun berikutnya. Pada persinggahan kedua ia telah menetapkan kupu sebagai obyek pengamatan utamanya, kendati ia juga mengamati burung, kumbang, capung, dan tetumbuhan.

Pengamatannya, termasuk terhadap kupu, membuahkan hasil. Wallace merumuskan teori dengan membuat garis pembagian jenis fauna pada peta Selat Makassar - dan garis itu mereka namai garis Wallace. Dengan garis itu dimaksudkan: sejak dulu Sulawesi memang terpisah dari daratan Asia - tidak seperti Jawa, Kalimantan, dan Sumatera, yang baru menjadi pulau pada Zaman Es.

* * *

Tentu Wallace juga ke Bantimurung - 42 km di arah timur laut Ujungpandang. Di situ sawah luas terhampar berhiaskan pohon lontar, berbataskan tebing batu terjal bergunduk-gunduk meruncing, diselimuti semak dan pohon yang hijau melebat. Di situ bintik embun membasahi daun, yang baru kering ketika sinar matahari menerobos kerimbunan - nanti, menjelang siang. Titik-titik air menetes dari dinding-dinding batu, membuat beberapa lekukan celah yang kemudian menjadi sumber air jernih, berkelok membentuk selokan. Satu yang besar membentuk sungai, diapit batu cadas yang tegak, bergerojok tanpa henti pada riam.

Alam semacam itu, bertengger di ketinggian sekitar 40 meter di atas muka air laut, ternyata menyimpan ribuan kupu. Bukan tak sengaja Wallace menemukannya ketika ia menyusur pantai, mengikuti alur sungai hingga ke air terjun ini. Di lembah yang sepertinya terkurung, di antara ribuan pohon sekitar air terjun, ilmuwan itu kemudian menyempatkan tinggal selama empat hari. Selama itu Wallace dengan cermat mengamati tingkah para kupu, dan memilih-milih jenisnya.

Bukan hanya Wallace yang datang ke sana. Orang kian hari kian banyak mengunjungi Bantimurung menapak jejak penyelidik itu. Bila tiba hari Minggu atau hari libur lain, kini tercatat sekitar tiga ribu karcis terjual - kawasan ini memang jadi daerah rekreasi. "Menjelang Puasa malah bisa empat kali lipat," ucap Amiruddin, pegawai honorer PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) yang bertugas di situ. Mereka - pelancong dan sedikit turis - berbasah-basah kaki atau mandi di sungai, bepercik-percik air merasakan tempias jeram, atau berpacaran di gerumbul semak bagai kupu.

Untuk kesenangan pelancong yang berkunjung, areal 18 ha disisihkan bagi taman wisata. Tapi pada prakteknya pagar taman tak menahan pengunjung: orang tetap bisa menyusup lebih jauh, dengan mendaki pinggiran air terjun dan menyusuri sungai di atasnya. Tak berapa jauh, dekat gua purbakala, sungai menggenang tenang bagai telaga, yang di seputarnya juga banyak kupu bercengkerama. Sampai di situ sajalah, tak usah lebih - karena di belakangnya kawasan akan menjadi kian sulit dijamah: selain lantaran dilindungi, dihalangi pula oleh bongkah-bongkah cadas dan tumbuhan yang liar. Inilah Cagar Alam Bantimurung seluas 1.000 ha.

Dalam cagar alam, kupu mendapat kebebasan hampir tanpa usik. Lebih-lebih Cagar Alam Bantimurung bertaut dengan dua kawasan cagar alam lain yang terletak di lereng yang lebih tinggi: Karaenta, seluas 1.000 ha juga, dan Bulusaraung, 5.090 ha. Dalam hutan-hutan yang bercadas itu massa kupu-kupu Bantimurung membentuk kerajaannya.

Entah mengapa para pengunjung justru tak tampak tertarik pada pesona kupu-kupu. Selain para penjaja kupu, tampaknya hanya ayam yang berkeliaran di taman wisata yang peduli pada kehadiran binatang itu. Ayam-ayam berlarian, mencotok ulat-ulat bakal kupu yang jatuh dari pohon, atau yang menggelantung dengan seutas benang halusnya hingga dekat tanah. Sementara itu bagi para pelancong, taman wisata sibuk menyediakan lapangan tenis, penginapan, kamar ganti pakaian, deretan warung, dan tempat parkir.

* * *

Apakah peragaan para kupu tak lagi punya pesona? Ternyata, masih - seperti yang disaksikan Wallace. Setidaknya bagi H. Beddu Rewa yang kini berusia 59 tahun. "Saya tinggal di sini sejak kecil," ujarnya, seolah ingin menunjukkan betapa akrabnya ia dengan para kupu. Pengenalannya pada kupu dimulai sejak tahun 1930-an, ketika seorang Belanda - ia lupa namanya - memintanya memandu perjalanan pemburuan kupu di Bantimurung. Kini keluarga Beddu Rewa adalah satu-satunya keluarga yang bermukim di kawasan taman wisata. Ada satu kamar di rumah keluarga itu - tidak terlalu besar - digunakan untuk menyimpan koleksi kupu. Sebuah tempat kecil yang layak disebut museum kupu.

Koleksi kupu Haji Beddu sangat beraneka dan memiliki kekayaan tersendiri. Koleksi itu bisa dikatakan meliputi semua kupu-kupu yang berkeliaran di seputar rumahnya. Beddu menyebut - tak jelas bagaimana cara menghitungnya - ragam kupu di Bantimurung mencapai 270 jenis. Jangan kaget bila ia masih mengalikan angka itu dengan empat. "Biasanya setiap jenis ada empat macam," tuturnya, dan keempatnya punya penampilan yang berbeda. Inilah hal yang memang tak sempat dikerjakan Wallace: menghitung ragam kupu di Bantimurung. Sayang, memang, karena bila ia sempat, tentu ada angka pembanding bagi jumlah Pak Beddu.

Dari sekian jenis kupu yang bermukim di situ, ternyata Beddu dan Wallace sependapat tentang jenis mana yang terbesar ukurannya. Yakni kelompok Ornithoptera, yang memiliki bentangan sayap lebar 18cm-20cm. Wallace dulu melihatnya ketika berjalan tengah hari, dan mengaku sangat beruntung bisa menangkap tiga kupu dari jenis yang disebutnya "kupu terbesar, terbaik, dan terindah di dunia" ini. "Saya bergetar karena gembira ketika melihat kupu itu dalam keadaan baik, di dalam jaring," tulisnya. Dengan warna dasar hitam keperakan, sayap belakang kupu gigantik itu bertabur bintik putih dengan bercak besar berwarna kuning cemerlang.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…