Jalan Lain Ke Surga

Edisi: 27/15 / Tanggal : 1985-08-31 / Halaman : 27 / Rubrik : SEL / Penulis :


SEKITAR 1.000 laki-laki, bertelanjang dada, menghambur dari arah alun-alun, sambil bertempik sorak. Mereka menyibakkan jubelan penonton, menembus lapisan orang yang sudah merubung sejak pagi. Mereka memasuki lapangan di sebelah kanan Puri Agung Gianyar. Mereka begerak seperti sebuah stampede kecil, sebelum berhenti tiba-tiba.

Hari terang, terik. Pukul 11 siang lebih. Tapi keseribu laki-laki Bali itu, dengan antusias dan tangkas, mendatangi dua usungan besar yang tersedia di lapangan sehari sebelumnya. Beberapa orang meloncat naik, memberi komando. Dengan ikat kepala putih yang melingkari rambut, dengan kain bercorak papan catur yang disangkutkan seperti cawat yang longgar, mereka mulai bekerja. Meskipun, dalam kenyataannya, usungan belum beranjak dari sana.

Beberapa orang hanya tegak di sekitar empat patung kertas warna-warni yang diletakkan di empat pojok usungan besar itu - patung empat kera termasyhur dari kisah Ramayana. Beberapa lagi naik ke bagian lebih tinggi, ke menara usungan. Yang mayoritas mengambil tempat di bawah, di sanan, bagian dasar konstruksi bambu dan kayu itu, di antara sejumlah buluh besar yang disilang-silangkan.

Orang-orang itu, bagaikan massa yang bersemangat dalam sebuah pawai raksasa, pada hakikatnya menyatakan bahwa mereka telah siap. Mereka siap mengangkat bade. Orang Bali menyebut bangunan besar yang portabel itu bade, atau, dalam bentuk yang lebih sederhana, wadah. Di situlah terletak, dan menjulang setinggi enam meter, sebuah menara dari kayu ringan, dari bambu, cermin-cermin, dan kertas kuning Cina yang keemasan.

Seperti tampak di hari itu, tumpang, pucuk menara itu, bertingkat sembilan. Ujung tertingginya berkilau: di sana terpasang emas tipis berbentuk kembang - atau sejenis lambang. Dan ribuan pasang mata menyaksi kan.

Suasana memang riuh, mungkin galau. Bau dupa, kembang, parfum bercampur bau keringat, dan asap rokok. Toh tiap orang tahu apa yang dituju. Sebab, 3 Agustus 1985 itu adalah hari puncak upacara pembakaran jenazah Anak Agung Niang Putu, setelah tiga hari sebelumnya, dari siang sampai malam, pelbagai acara ditempuh. Dan seperti hampir tiap orang dewasa di Gianyar tahu, itulah upacara palebon yang termeriah di Bali yang pernah ada selama 10 tahun terakhir ini. Meskipun tak disiarkan secara luas.

Menara dengan tumpang sembilan susun itu memang segera menunjukkan martabat orang yang wafat: itu jenis tumpang kedua tertinggi setelah tumpang yang khusus di buat untuk seorang raja yang pernah berkuasa, yakni 11 tingkat. Dan tak cuma itu. Hari itu tampak pula orang menyiapkan bale Nagabanda, sebuah kendaraan, khusus bagi seekor naga besar. Naga mitologis ini tentu saja hanya patung - adalah sebuah kepala besar yang bermahkota meriah, dengan ekor kira-kira 30 meter. Ekor itu berjela bagaikan tali tambang yang hitam, yang bila diangkat harus dipegang terlipat oleh beberapa belas orang.

Konon, itulah pertanda bahwa jenazah, yang dilingkarinya sejak kemarin dulu di ruang persemayaman, adalah jenazah seorang aristokrat, yang akan dibakar dengan upacara lengkap.

Yang akan diperabukan memang bukan orang kebanyakan. Semasa hidupnya, jenazah itu adalah salah satu istri Sri Paduka Ide Anak Agung Ngurah Agung, raja yang telah mangkat hampir seperempat abad yang lalu, bekas yang dipertuan dari Puri Gianyar. Dan dalam banyak hal, Puri Gianyar tetap puri yang terpandang di Bali.

Di satu bagian, tinggal keluarga Anak Agung Gde Agung, bekas menteri luar negeri dan diplomat terkemuka Indonesia, yang kini sedang berada di Negeri Belanda mempersiapkan sebuah buku. Di bagian lain, tinggal saudaranya seayah, tapi bukan seibu: Anak Agung Gde Oka, pensiunan kepala Istana Kepresidenan Tampaksiring. Dialah orang yang punya kerja hari itu: yang akan diperabukan adalah jenazah ibundanya - dan Anak Agung Gde Oka adalah anak tunggal.

Puri yang terbagi dua itu juga - yang luasnya tak lagi diketahui persis - masih tetap terawat, meskipun umurnya telah lebih dari 100 tahun. Di dalamnya, kehidupan keluarga masih berjalan dan berfungsi. Setidaknya di bagian tempat Anak Agung Gde Oka, yang disebut Puri Anyar. Itu berarti, tidak seperti halnya beberapa puri lain di Bali, Puri Gianyar tak berubah jadi hotel. Atau jadi sekadar tontonan turis. Bahkan di hari itu, selama upacara yang spektakuler itu, para turis tak banyak dapat kesempatan mendekat. Seorang petugas berkain dan berdestar dan berbaju safari beige menyuruh para pelancong dari negeri jauh itu menyingkir dari tempat tertentu; suaranya keras tapi kalimatnya sopan, dengan pengeras suara di tangan.

Palebon memang suatu kemeriahan, tapi bukan sekadar tontonan. Ini sebuah cara bagi arwah ke surga. Ada saat-saat khidmat di antara suasana pesta yang penuh hidangan dan baju warna-warni. Ada banyak doa dipanjatkan waktu muspa bersama. Lontar-lontar kuno dibaca, dengan suara mengalun di dekat tubuh yang mati, sementara, di sebuah gubuk di sudut, gambang kematian, yang bersahaja dan ditabuh empat orang tua, tak putus-putusnya berbunyi - sayu dan misterius.

Anak Agung Niang Putu wafat dalam usia 89. Kematiannya tepat terjadi pada hari Purnama, 3 Juni yang lalu. Hari itu kebetulan pula Waicak, dan bagi orang Bali, keyakinan Budha adalah sebuah versi lain dari Hindu: tak heran bila upacara pelabon-nya berlangsung dalam ukuran besar. Kekhususan lain kali ini ialah bahwa segalanya dilakukan dengan persiapan yang cepat: praktis cuma sebulan.

Konon, tak begitu mudah melangsungkan ngaben yang diduga menelan ongkos sekitar Rp 30 juta itu, dengan jarak waktu yang begitu pendek untuk menata. Setidaknya bagi pelbagai keluarga bangsawan Bali di zaman ini - yang tak lagi berkuasa dan tak jarang jatuh miskin. Maka, yang dilakukan Anak Agung Gde Oka, dalam usia 60-an, dan dengan jantung yang tak sehat, boleh dibilang suatu prestasi yang mengesankan. Seorang sopir dari Ubud - yang tak memandang tinggi orang Gianyar - berkata bahwa semua itu bisa terjadi berkat hubungan-hubungan Anak Agung Gde Oka sendiri. "Beliau itu disukai rakyat, tidak sombong dan suka membantu," katanya.

Ngaben memang suatu proses bantu-membantu. Bagi sebuah puri di abad ke-20, itu juga bisa mencerminkan sebaik mana kontaknya dengan masyarakat orang kecil di sekitar. Dalam upacara besar kali ini di Gianyar, misalnya, tercatat 13 banjar dari dua desa adat ikut terlibat menyumbangkan kerja, bahkan beras dan kue-kue. Seorang Bali menunjukkan pertanda kerja sama yang baik dalam wujud lain: dalam usungan besar itu, bade.

Lihatlah bade itu. Tempat penyunggi menara yang dasarnya dibuat dari bambu panjang yang disilang-silangkan itu - dan disebut sanan - bisa menjadi sebuah cara untuk mencelakakan. Usungan itu harus dipanggul ratusan lelaki. Sebagian berada di tepi-tepi dan sebagian lain terkungkung di tengah. Semuanya harus bergerak serentak. "Kalau tidak kompak, kalau ada yang nakal saja kepada yang lain, pasti orang yang di tengah akan mati terjepit," kata seorang petugas upacara.

Dan hari itu, semua orang tampaknya kompak. Keluarga, tamu dan masyarakat ramai, mungkin rakyat dari 13 banjar di dua desa adat yang menyumbangkan tenaga itu, hadir, tertib. Di sudut kanan puri, di sebuah gardu agak di ketinggian, Anak Agung Gde Oka - dengan safari biru gelap dan destar yang dihiasi kembang merah yang baru dipetik - menyaksikan. Ia bersama tamunya, gubernur Bali Prof. Ida Bagus Mantra. Di lapangan di bawah sana, upacara berlangsung persis seperti dalam jadwal.

Upacara itu, tak ayal lagi, adalah sebuah festival dengan banyak rol. Turis-turis, kebanyakan orang putih dengan T-shirt dan kulit terbuka, sibuk dan berdesakan. Sehabis jamuan makan siang, tamu-tamu berjalan hilir mudik, mencari tempat terbaik untuk menonton. Gamelan bertalu-talu.

Dan pada pukul 12.30, jenazah pun diusung dari ruang persemayaman. Dilindungi sebuah payung, iringannya pelan-pelan menaiki sebuah tangga bambu, yang mendaki tinggi sepanjang 15 meter - mirip tangga pesawat terbang sebelum boarding. Tangga itu memang dibangun khusus beberapa hari sebelumnya, untuk menaikkan jenazah. Kakinya berada di halaman dalam puri. Ujungnya tepat merapat ke menara bade, yang sehari sebelumnya disiapkan di luar puri. Ke dalam salah satu bilik dalam menara itulah jenazah diletakkan.

"Kematian, di Bali, adalah sebuah saat yang mengasyikkan," kata seorang ahli, "tak harus lagi bersentuhan dengan bumi, yang sengsara." Dalam bilik di menara itu, sang jenazah mungkin "merasakan", buat pertama kalinya, bagaimana asyiknya berada jauh dari tanah. Apalagi setelah bade dijunjung, bergerak dalam derap ratusan orang, bergoyang-goyang mengitari lapangan seperti candi gemerlap yang kena gempa. Di dekatnya, sebuah usungan lain juga diangkat, sebuah bangunan yang berbentuk miniatur sebuah pendopo. Itulah kendaraan khusus bagi sang Nagabanda. Dan sang Naga harus siap. Ia hari itu harus dipanah. Jenazah yang akan bebas dari bumi yang sengsara juga harus bebas dari dirinya - simbol segala pikiran "rendah", dan "duniawi", yang masih melingkari.

Lalu gamelan diam. Teriakan berhenti. Pada pukul 13.00, di bawah matahari Bali yang membakar, busur pun di pasang. Dupa dibakar, semerbak. Seorang pedanda tua, diiringi dua pedanda lain, akan menjalankan tugas.

Anda yang mungkin pernah melihat adegan upacara ini dalam sebuah lukisan Bali barangkali akan mengharapkan sebuah adegan yang seru. Apalagi, menurut cerita, bila pedanda yang bertugas sebagai pemanah itu kalah, ia akan mati dalam konfrontasi ini.

Dalam kenyataannya, siang itu, yang terjadi bukanlah suatu duel yang dahsyat. Yang terasa adalah suasana lamban, yang serius, dan tanpa kejutan. Pendeta tua itu, Ida Pedanda Nabe Tulikup, dalam usianya yang 70-an tahun, bergerak pelan, khidmat, hati-hati. Wajahnya yang arif, dengan bulu mata yang meredupkan pandang, memang lebih perkasa: di kepalanya terpasang sebuah mahkota dengan beludru merah dan pucuk sebentuk gelas yang mirip bola lampu yang ditemukan Edison. Tapi ia tak bertindak sebagai jagoan, biarpun dengan busur di tangan. Ia tak bertindak sebagai algojo, bagi sang Naga. Anak panah itu tak terlepas. Yang terlontar: sepucuk kembang.

Dan seakan-akan merasa gembira akan sukses pertarungan itu, gamelan pun kembali menggerimang, orang-orang bersorak dan bade diangkat. Artinya, telah tiba saatnya jenazah itu diboyong. Orang ramai pun menuju sebuah lapangan dekat kubur, satu kilometer jauhnya dari puri. Di situlah telah tersedia patung lembu yang bentuknya telah tersohor itu, tempat tubuh Anak Agung Niang Putu yang tua akan dibakar hingga jadi abu.

Tiba-tiba saja, suasana tak lagi meriah. Tempo menjadi pelan. Sederet upacara panjang, yang terdiri dari bagian kecil-kecil, terinci monoton. Sebelum jenazah dibakar, keluarga dekat dan para pedanda naik ke tempat lembu ditegakkan, yakni sebuah pavilyun darurat bertiang empat yang dibangun di atas tujuh lapis tangga bata. Kain demi kain dilapiskan ke jenazah yang tersembunyi di perut lembu itu. Dua puluh lima kendil air suci dituangkan. Bungkusan demi bungkusan dibuka; isinya ditata cermat. Seolah-olah ada seseorang yang disiapkan kopornya, sebelum berangkat ke negeri jauh.

Di bawah, orang menunggu. Pengiring, pembantu, keluarga jauh, tamu. Dan turis. Pemandangan memang tidak sehari-hari. Di sekitar itu, di lapangan yang terbentang dekat makam di Setra Beng Gianyar itu, palebon ternyata tak hanya dilakukan oleh keluarga puri. Beberapa rombongan ngaben lain juga telah siap, bahkan di antaranya telah ada yang menyalakan api. Seakan-akan sebuah kampung baru telah muncul di areal itu, dengan gubuk-gubuk darurat, yang meriah dan berhimpit, dengan asap, bau jenazah terbakar, dan amisnya daging sesajian yang tertinggal.

Artinya, sebuah penantian panjang telah dimulai. Jenazah Anak Agung Niang Putu, yang masih utuh dalam suntikan formalin, memakan waktu kira-kira empat jam sebelum jadi abu.

Hari mulai senja. Para keluarga akan menginap di tempat itu, sementara tontonan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…