Warga Pendudukan Bicara Tentang Palestina Dan Israel
Edisi: 30/23 / Tanggal : 1993-09-25 / Halaman : 51 / Rubrik : BK / Penulis : BHM
PADA suatu malam yang gerah bulan Juli 1991, saya mengunjungi sebuah perkemahan musim panas di hutan Lavie. Anak lelaki dan perempuan Israel, Yahudi, maupun Arab sedang berdiri dan berdebat tentang perlakuan pemerintah terhadap warga Arab, tentang ketidakacuhan Arab terhadap kondisi Israel yang pelik, tentang cara militer menangani intifadah. Dengan rasa penuh percaya diri dalam gejolak semangat anak muda, mereka saling mengadu argumentasi yang sebenarnya sudah basi.
Dengan hanya melihat, saya tak dapat membedakan siapa yang Yahudi dan siapa yang Arab. Bentuk fisik mereka serupa, baju dan model rambut mereka mengikuti mode yang sama. Bahasa yang digunakan sama-sama Ibrani, bahkan bahasa tubuh mereka pun tak berbeda. Hanya dialeknya yang berbeda.
Saya ingat, saya pernah mengikuti acara serupa ketika seusia mereka, dalam sebuah perkemahan Arab-Yahudi di Acre. Pada waktu itu, lebih dari dua puluh tahun silam, kami bisa dibedakan lewat busana, bahasa, dan pemakaian kata-kata dalam berdebat. Namun, yang tak berbeda sejak dulu adalah ketajaman emosinya, keinginan yang kuat agar lawan debat dapat mengerti perasaan kami. Juga ada perasaan risi dan kehadiran ilusi karena kadangkala dia -- lawan debat kami itu -- terasa begitu dekat lalu tiba-tiba terasa sangat jauh. Mengapa seseorang yang begitu dekat bisa sangat keliru memahami saya dan mengapa mereka yang begitu jauh justru memahami dengan sangat baik?
Lingkaran para pendebat itu tiba-tiba buyar. Seorang anak lelaki yang umurnya kira-kira 14 tahun, yang semula berdiri di luar, didorong ke arah saya. Bisik-bisik terdengar mengiringinya. "Dia itu yang melarikan diri," bisik seseorang, dan perdebatan tiba-tiba terhenti.
"Kami duduk bersamanya seharian penuh, tiga Yahudi dan tiga Arab," ujar seorang lelaki bernama Itai. "Kami berbicara dengannya, membuatnya berpikir," katanya lebih lanjut.
Anak lelaki bernama M yang didorong itu berperilaku agak kaku, sikapnya waspada dan pandangannya lebih tua dari usianya. Saya bertanya kepada M mengapa ia datang ke perkemahan. "Untuk bergembira ria dalam liburan," jawabnya dengan hati-hati. "Saya membaca bahwa ini adalah perkemahan Yahudi dan Arab, tetapi saya tak mengerti kalau bercampur bersama-sama. Dan sebelum ini saya tak tertarik untuk bersama Arab," ujarnya lebih lanjut. "Kami dan mereka bercampur bersama-sama. Juga di malam hari. Dan saya pun mulai merasa risi."
Seorang anak lelaki Arab bertanya kepada M apakah ia telah mengenal Arab sebelumnya. "Ya, saya pernah bersama Arab sebelumnya, tetapi tak seperti ini. Saya bersama para kuli kakek saya. Tapi dengan mereka tentu berbeda, dan di sini langsung jelas bagi saya -- saya tak suka ide tidur setenda dengan mereka."
"Saya tak merasa terganggu tidur setenda dengan Yahudi," protes Basel.
"Saya...," M mulai ragu-ragu. "Pada malam hari, saya tak tahan lagi lalu menyelinap ke belakang tenda dan menemukan lubang di pagar dan saya kabur. Segera terlintas bayangan jalan di hutan menuju perkemahan. Jalan yang curam di antara pepohonan pinus, di antara gua-gua yang berhiaskan bebatuan tajam."
"Kami peringatkan dia agar tak pergi," kata Itai. "Hutan ini penuh dengan sumur tua, kau bisa tergelincir ke dalamnya di malam hari." "Itu terjadi setelah sembilan malam," kata M dengan perlahan, seolah takjub akan dirinya sendiri, seolah-olah setelah selesai bicara baru ia sadar apa yang telah ia lakukan. "Pada waktu itu malam pekat, tak ada yang melihat saya pergi. Saya melewati pagar dengan merunduk hingga tak ada yang melihat dan berjalan menuju hutan."
Di luar lingkaran kecil yang padat, perkemahan tampak seperti dalam mimpi. Sinar lampu menerangi tempat tidur dengan samar-samar, anak-anak muda berjalan dari tempat mandi, di dalam sebuah tenda seorang anak lelaki berdiri di depan seorang anak perempuan. Dan di atas tempat tidur di samping mereka, seorang anak perempuan lain sedang menelungkup asyik membaca buku.
"Apa sebenarnya yang kautakutkan?" bisik Sana sambil menggigit sejumput rambutnya.
"Saya merasa takut dan kalian pikir saya tahu mengapa? Mereka mungkin akan merampok saya. Mungkin mereka akan melakukan sesuatu... saya merasa waswas," kata M sambil mengangkat bahunya seolah minta maaf. "Ketika di tenda, saya adalah satu-satunya Yahudi dikelilingi oleh Arab."
"Apakah kau tahu akan ke mana?" tanya sebuah suara dari kegelapan. "Hanya kira-kira... tidak persis. Saya berjalan ke tempat yang saya perkirakan menuju jalan utama, dan saya pikir saya akan menunggu hingga pagi, naik bus dan pulang ke Yerusalem," jawab M.
"Tidakkah kau takut berada di hutan?" "Tentu saja saya takut," kata M, "tapi saya lebih takut lagi berada di dalam tenda."
***
Di Kota Beit Hanina di utara Yerusalem, dalam sebuah apartemen yang penuh bunga, Adel Mana yang kelahiran kampung Majd el-Krum di Galilee itu bercerita kepada saya tentang masa kecilnya.
Itu adalah cerita yang panjang dan keras. Kampung itu melawan pendudukan pasukan Israel pada 1948 dan, setelah diduduki, pihak militer mengumpulkan semua penduduk di alun-alun. Menurut Adel Mana, para serdadu menembak mati empat orang yang dituduh ikut dalam perlawanan. Setelah itu, mereka mengangkut ratusan penduduk dengan bus ke Wadi Ara dan tengah malam mereka diturunkan di tengah jalan sambil dihardik, "Ke timur, dan siapa yang kembali akan ditembak."
Adel Mana ketika itu berusia satu tahun. Bersama orang tuanya ia mengembara ke Nablus, ke Yordania, ke Suriah, dan ke Libanon. Di tempat itulah ingatannya bermula, mengenai bagaimana sanak saudara bergabung dengan mereka di kampung pengungsian, mengenai ayahnya yang pergi menyelinap ke Israel untuk mengambil uang dari nenek dan dari saudara perempuannya yang tetap tinggal di Majd el-Krum. Atau kadangkala ayahnya menyelinap untuk membantu mengolah zaitun maupun memanen gandum di musim panas.
"Pada awal 1951, kami melakukan aliya," tuturnya. "Kami melakukan apa yang kau sebut imigrasi gelap. Kami datang dengan perahu dari Sidon ke Acre dengan sanak saudara sekampung lainnya. Paman saya merasa ragu-ragu untuk bergabung. Tentu saja ia ingin kembali ke kampung, tetapi ia takut pada tindakan yang akan dilakukan penguasa terhadapnya. Ia juga takut karena banyak yang tewas ketika menyeberangi perbatasan. Maka, ketika kami berangkat, ia tetap tinggal di Ein el-Hilweh."
"Lalu apa yang terjadi?"
"Ia menikah dan berkeluarga di sana. Dua kali kami minta izin dari militer agar ia dapat mengunjungi kami. Izin dikabulkan dan ia datang. Terakhir kali pada tahun 1982. Sesudah itu izin tak diberikan lagi. Sekarang amat sulit untuk berhubungan satu sama lain. Jika mungkin, kami mengirim surat. Itu saja. Jika kami mendengar bahwa angkatan udara mengebom Libanon, yang pertama kami pikirkan adalah bagaimana nasibnya. Bagaimana keadaan anak-anaknya?"
Di Nazareth saya berbincang dengan Lutfi…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Tamparan untuk Pengingkar Hadis
1994-04-16Penulis: m.m. azami penerjemah: h. ali mustafa yakub jakarta: pustaka firdaus, 1994. resensi oleh: syu'bah…
Upah Buruh dan Pertumbuhan
1994-04-16Editor: chris manning dan joan hardjono. canberra: department of political and social change, australian national…
Kisah Petualangan Wartawan Perang
1994-04-16Nukilan buku "live from battlefield: from vietnam to bagdad" karya peter arnett, wartawan tv cnn.…