Perlukah Anggaran Ditinjau Kembali

Edisi: 33/15 / Tanggal : 1985-10-12 / Halaman : 62 / Rubrik : EB / Penulis :


SECERCAH harapan masih coba digantungkan pada musim dingin mendatang di belahan bumi Utara. Biasanya memang, pada kuartal terakhir setiap tahun, pemakaian minyak negara-negara industri di Utara secara berangsur mulai menggelembung - sebelum akhirnya mencapai puncak pada tiga bulan berikutnya.

Namun, di luar dugaan, harga dan volume ekspor minyak negara-negara OPEC masih saja kendur. Indonesia, misalnya masih belum memperoleh kepastian apakah bisa menaikkan kuota produksinya yang 1,1 juta barel per hari itu dalam waktu dekat. Tak heran jika banyak orang kemudian berpaling ke dalam negeri: pada prospek penerimaan Pajak Perseroan (PPs) minyak dan gas alam.

Tahun anggaran 1985-1986 ini, sasaran PPs migas adalah Rp 11,16 trilyun. Sasaran sebesar itu, yang porsinya hampir 60% dari seluruh penerimaan dalam negeri, kelihatan cukup berat dijangkau ketika pasar minyak Indonesia di Jepang mendapat tekanan, pada kuartal ketiga baru-baru ini. Karena itu, cukup menarik jawaban Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Subroto atas pertanyaan anggota DPR, pekan lalu, yang menyatakan perlunya merevisi RAPBN pada Repelita IV.

Sejumlah alasan kemudian dikemukakan Menteri dalam acara dengar pendapat itu. Pertama, pada setiap tahun anggaran di Repelita IV, RAPBN disusun dengan perkiraan produksl minyak Indonesia akan mencapai 1,7 juta barel sehari tiga tahun mendatang. Nyatanya, pada tahun fiskal ini, terjadi kemacetan penjualan hingga sulit bagi Indonesia dan negara-negara anggota OPEC lainnya untuk menambah kuota produksi.

Yang kedua RAPBN tersebut disusun dengan anggapan harga minyak akan bertahan pada US$ 28 per barel sampai 1987, dan diduga akan berangsur membaik hingga tahun anggaran berikutnya. Nyatanya, harga minyak digerilya terus menerus, sampai-sampai anggota OPEC sepakat tidak lagi menggunakan Arabian Light Crude (ALC) sebagai penentu harga (marker crude). Harga minyak akhirnya banyak ditentukan oleh kekuatan permintaan pasar.

Menurut Menteri Subroto, revisi memang diperlukan jika faktor-faktor di luar minyak juga ikut menekan sasaran penerimaan. Apalagi kalau sampai OPEC terancam bubar. Memang, baru kali ini, seorang pejabat pemerintah secara terbuka menyatakan perlunya tindakan penyesuaian diambil untuk menghadapi perubahan situasi di luar negeri. Penafsiran masyarakat lalu jadi bermacam-macam.

Sebagian besar menduga, pemerintah akan melakukan devaluasi kembali untuk menutup berkurangnya penerimaan migas. Yang lain memperkirakan volume RAPBN pada tahun anggaran berikut akan menciut. Tentu saja, semuanya itu masih merupakan teka-teki. Menurut seorang pejabat Ekuin, angka RAPBN pada Repelita IV sesungguhnya tidak perlu diubah. Sebab, pada setiap memasuki tahun anggaran baru, angka yang tertera di situ selalu disesuaikan.

Kata pejabat ini, angka-angka pada RAPBN di Repelita IV hakikatnya hanyalah bersifat indikatif saja, atau hanya merupakan perkiraan-perkiraan. "Bukan berarti yang ditulis di situ harus sama dengan kenyataannya," tambah pejabat itu. Secara tidak langsung, ia ingin menunjukkan penyesuaian yang sudah dilakukan pemerintah terhadap APBN tahun berjalan. PPs migas, misalnya, di Repelita IV, ditulis Rp 12,668 trilyun, sedang angkanya di APBN Rp 11,16 trilyun.

Revisi, kalau istilah itu akan digunakan, memang sudah dilakukan mulai tahun anggaran 1985-1986 ini secara diam-diam. Kata seorang pengamat ekonomi, perubahan sasaran…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
SIDANG EDDY TANSIL: PENGAKUAN PARA SAKSI ; Peran Pengadilan
1994-05-14

Eddy tansil pembobol rp 1,7 triliun uang bapindo diadili di pengadilan jakarta pusat. materi pra-peradilan,…

S
Seumur Hidup buat Eddy Tansil?
1994-05-14

Eddy tansil, tersangka utama korupsi di bapindo, diadili di pengadilan negeri pusat. ia bakal dituntut…

S
Sumarlin, Imposibilitas
1994-05-14

Sumarlin, ketua bpk, bakal tak dihadirkan dalam persidangan eddy tansil. tapi, ia diminta menjadi saksi…