Sang Pendeta Tanpa Gereja

Edisi: 36/15 / Tanggal : 1985-11-02 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :


SEORANG misionaris sejati. Seorang Kristen, meski dengan pengertian yang mungkin agak berbeda dari bayangan para penginjil Eropa. Seorang pemuka lokal, yang tidak semua orang mendengar, yang kiprahnya menandai sebuah era penyebaran agama di sebuah bagian wilayah yang sangat luas. Dan seorang yang hakikatnya semacam pejuang persamaan, yang mungkin punya kelemahan-kelemahan, tapi juga impian cita-cita yang jelas dicoba wujudkan.

Tidak diketahui secara tepat tanggal dan tempat kelahiran Sadrach - orang ini. Tetapi dapat disimpulkan, dari beberapa data, ia lahir sekitar 1835. Mengenai tanah kelahirannya, semua sumber menunjuk Kewedanaan Jepara, Jawa Tengah bagian utara. Tetapi ada yang mencantumkan secara lebih tepat: sebuah desa di dekat Demak. Yang jelas, ia berasal dari keluarga petani miskin, dan di waktu lahir bernama Radin. Dari nama ini saja sebetulnya sudah terlihat dari kelas sosial mana ia berasal.

Miskinnya keluarga Radin, pada zaman itu dan di daerah itu, tidak mengherankan. Kenyataan bahwa sejak kira-kira 1840 daerah utara Jawa Tengah mengalami depresi ekonomi yang gawat tentunya disebabkan oleh beberapa faktor: peningkatan jumlah penduduk yang tajam, panen yang gagal antara 1843 dan 1851, epidemi tifus dan kolera, dan akhirnya pelaksanaan aturan tanam paksa, terutama untuk kopi dan tebu, pada tanah yang luasnya juga tidak seberapa.

Alhasil, penduduk daerah ini menurun drastis: desa-desa ditinggalkan; mereka yang masih hidup memilih pindah ke Jawa Timur atau mengungsi ke perkebunan pemerintah dan swasta.

Sebagaimana anak muda sebayanya, Radin juga berangkat meninggalkan orangtuanya dan pergi ke arah timur. Kehidupannya pada Sadrach periode ini memang mengandung hal-hal yang kurang jelas. Meski demikian, kiranya dapat disetujui penjelasan Yotham, anak angkat dan sekretaris Sadrach, yang menyatakan bahwa pemimpinnya itu berkelana memenuhi panggilan agama. Setelah diterima oleh "keluarga tanpa anak" (Misionaris Adriaanse), ia terdampar pada seorang guru ngelmu bernama Kurmen alias Sis Kanoman.

Sadrach menjadi murid Sis. Data mengenai Sis terbatas pada apa yang disampaikan Adriaanse - lewat buku 450 halaman yang ditulisnya pada 1899, Sadrach's Kring yang merupakan penilaian kurang menyenangkan. Memang guru Jawa biasanya kurang berharga di mata misionaris meskipun hal itu tidak mengurangi pengaruh sang guru terhadap Radin. Bahkan, Radin menganggap Sis bapak angkatnya - dan setelah perjalanan jauh beberapa tahun, ia masih pulang menemui bekas gurunya itu dan kembali mengikutinya. Pada gilirannya, Sadrach pun menjadi guru, sekaligus mewarisi teknik-teknik guru ngelmu, seperti penyembuhan penyakit dengan pembacaan mantra atau penggunaan air ludah atau air kencing pada bagian tubuh yang sakit, atau inisiasi murid-murid baru.

* * *

Radin kemudian melanjutkan perjalanannya: pergi ke beberapa pesantren menyempurnakan ilmunya. Pesantren, dengan organisasinya yang luwes dan sangat demokratis, merupakan satu-satunya sekolah di masa itu. Dan sekolah ini terbuka untuk semua orang, bahkan memberi kesempatan pada mereka yang paling miskin untuk melakukan promosi jenjang sosial di masyarakat, meski sudah tentu di luar struktur resmi pemerintahan penjajahan. Para santri yang miskin, seperti Sadrach, punya beberapa sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya: pesantren itu memiliki wakaf yang dapat dipakai untuk mengongkosi sejumlah santri yang tidak mampu. Atau, para santri bisa bekerja di tanah milik pesantren, membantu sang guru berdagang, atau membantu-bantu penduduk desa-desa terdekat. Para santri terbaik juga punya kesempatan menjadi "asisten" sang kiai. Bagaimanapun, kebutuhan santri itu sangat terbatas: kehidupan di pesantren, lebih-lebih waktu itu, memang sangat spartan.

"Tour de Java" yang dilakukan Sadrach membawanya sampai ke Jombang. Dekat Jombang terdapat desa-desa Kristen yang paling penting masa itu seperti Ngoro yang didirikan Coolen, sekitar 20 km dari kota ini. Lebih dekat lagi, kira-kira 7 km di selatan, terdapat Mojowarno dan beberapa desa lain yang didirikan Abisai Ditotruno dan Tosari untuk orang-orang Kristen pembangkang dari Ngoro yang disingkirkan Coolen karena berani menentang ketentuan tiadanya hak membaptis yang dikeluarkannya untuk mereka. Saat itu seorang misionaris perintis di Jawa, Jellesma, berdiam di Mojowarno. Dengan demikian, untuk pertama kalinya Santri Radin melakukan kontak dengan ajaran Kristen dan dengan orang Belanda. Jellesma tinggal di desa ini dari 1851 sampai 1858. Sadrach berada di Jombang pada tahun-tahun tersebut, pada usia antara 16 dan 23. Sayang, tidak diketahui apakah Sadrach juga berhubungan dengan Abisai, Tosari, atau Coolen. Yang jelas, ia dengan puas dapat mengamati desa-desa Kristen ini, yang dijadikan model percontohan oleh para misionaris sampai awal abad XX. Sebagaimana terlihat nanti, ia tidak melupakan apa yang dilihatnya, dan malah meniru.

Dialog dengan Jellesma kelihatannya belum mengakibatkan Sadrach memilih Kristen sebagai agama: sang santri melaniutkan perjalanannya ke sebuah pesantren di Ponorogo.

Hanya sebagian yang diketahui orang tentang apa-apa yang dipelajarinya di pesantren itu. Menurut pengarang ini. ia belajar membaca Kitab Quran dan "mendalami" ajaran Islam. Selain itu juga terbukti belajar membaca dan menulis dalam bahasa Arab serta menulis pegon (bahasa Jawa aksara Arab), di samping membaca dan menulis dengan alfabet Jawa. Setidak-tidaknya, ia telah membekali diri dengan pengetahuan yang lebih tinggi dari kebanyakan orang Jawa.

Memang, sangat menarik untuk mengetahui secara tepat: pelajaran agama apa sebenarnya yang diterima Radin di pesantren-pesantren bidang apa, kitab apa, mengingat bahwa sebagian pesantren, setidak-tidaknya waktu itu, justru merupakan tempat belajar perdukunan (kemat, hikmat), silat, dan semacamnya. Tapi tak ada penjelasan tentang ini. Yang terang, di rumah Sadrach di Karang joso masih terdapat sebuah buku yang dikategorikan sebagai pusaka oleh ahli waris sang kiai. Buku dengan format kecil ini, yang terdiri dari sekitar 200 halaman, merupakan manuskrip yang tertulis pada kertas bergaris, mempergunakan aksara pegon dan kelihatannya di kerjakan oleh satu orang.

Dalam buku ini, yang tidak dijelaskan apakah ada berjudul, ditemui singkatan-singkatan yang sama dan transkripsi ortografi Jawa yang sama. Dari seluruh buku di situ, inilah satu-satunya yang tertulis dalam aksara Arab dan, lagi pula, satu-satunya buku yang "membicarakan agama Islam". Karena sampai sekarang seluruh keluarga Kiai beragama Kristen, tak pelak lagi buku tersebut tentu berasal dari Sadrach sendiri. Di antara seluruh keluarga Kristen ini hanya sang kiai yang pernah belajar di pesantren.

Di pihak lain, agaknya sang kiai ingin masa mudanya dan ilmu-ilmunya juga diketahui orang-orang sepeninggalnya. Dengan alasan-alasan itulah kami menganggap buku tersebut memang milik Sadrach meskipun tidak ada bukti-bukti yang lebih kongkret.

Meski terbagi atas bab-bab yang tidak berurutan secara logis, tidaklah hilang kesan bahwa penulisnya adalah seorang murid yang cerdas. Ditampilkan berbagai pokok persoalan yang menarik perhatian pengarangnya menyangkut "mistik Islam" dalam arti yang sangat luas, mengenai "nama-nama Tuhan", pelbagai "rasa", malaikat, silsilah raja-raja Islam di Jawa, transkripsi mistik dari nama Nabi Muhammad (setiap huruf mengandung satu makna), juga sebuah dialog menarik antara Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang mengenai alam kubur. Dari situ bisa diperkirakan warna tertentu ajaran keagamaan Islam atau pesantren yang ada direguk Sadrach.

* * *

Sadrach kembali ke daerah asalnya. Ia menetap di Semarang, di Kauman, menurut Adriaanse. Ketika itu ia menambahkan nama "Abas" di belakang namanya. Pada masa itu pula ia berjumpa dengan bekas gurunya. Pak Kurmen, yang ternyata sejak berpisah dengannya telah menjadi Kristen. Itu karena ia kalah dalam debat melawan Kiai Tunggul Wulung yang sudah Kristen lebih dulu.

Maka, untuk kedua kalinya, Radin Abas berhubungan dengan orang dan ajaran Kristen. Tidaklah mengherankan: bagian utara Jawa Tengah zaman itu merupakan pusat Kristen kedua di Jawa, setelah Jawa Timur.

Tiga misionaris pertama yang dikirim ke Jawa tidak lagi sekadar menerjemahkan Kitab Suci seperti Bruckner. Dua diantaranya, Hoezoo dan Jansz, menetap di Semarang. Yang ketiga, Jellesma, tinggal di Surabaya, kemudian pindah ke Mojowarno. Mereka boleh dikatakan gagal dalam penyebaran Kristen.

Penyebabnya bermacam-macam, tapi alasannya dapat disederhanakan menjadi: para pendeta itu ngotot agar orang-orang Jawa itu juga menerima ortodoksi sebagaimana dipahami orang Eropa. Tidak satu pun di antara mereka rela menerima orang Kristen Jawa yang kurang mendalami Injil dengan cara mereka dan tidak bersedia menanggalkan adat kebiasaan. Maka, mereka yang ditampik para pendeta itu lebih suka mengikuti Kiai Kristen Tunggul Wulung, yang lebih mudah mereka pahami. Jadinya, orang Kristen di daerah ini terbagi dua: Kristen Jowo, yang mengikuti sang kiai, dan Kristen Londo yang berada di bawah pengaruh misionaris.

Ketika memutuskan untuk masuk Kristen, Radin Abas sebenarnya tidak memilih salah satunya. Mulanya ia kelihatannya mengikuti Hoezoo. Ia meninggalkan Kauman dan menetap di sebuah desa kecil, lima jam perjalanan dari Semarang. Setiap Sabtu ia berjalan kaki ke Semarang untuk dapat menghadiri kebaktian yang dipimpin misionaris di gereja pada hari Minggu. Tetapi setelah diperkenalkan Pak Kurmen dengan Tunggul Wulung, Sadrach merasa lebih akrab dengan kiai Jawa ini. Hubungan keduanya demikian eratnya. Tahun 1865 Tunggul Wulung membawa Sadrach ke Batavia untuk menemui pejabat tinggi Belanda, Anthing. Anthing, yang sangat aktif dalam kristenisasi di Jawa, mulanya bertugas di Semarang, dan di situlah ia berkenalan dengan Tunggul Wulung. Tahun 1863, Anthing diangkat menjadi Wakil Ketua Mahkamah Agung di Batavia.

Dua putra Tunggul Wulung tinggal di rumah Anthing. Salah satunya, bernama Ibrahim, mengikuti jejak ayahnya, mendirikan sebuah komunal Kristen di Tanah Tinggi, Jakarta. Tunggul Wulung sendiri sempat lima bulan bekerja sama dengan Anthing bertugas membagi-bagikan brosur agama dari rumah ke rumah di Batavia. Karena pekerjaan ini kurang diminatinya, meskipun mendapat gaji, akhirnya Tunggul Wulung berangkat dari Batavia.

Radin Abas tetap tinggal di rumah Anthing mulanya sebagai pembantu, kemudian sudah dianggap "anak".

* * *

Berada di Batavia berarti menjalin kontak dengan pusat kristenisasi ketiga di Pulau Jawa - meski tidak begitu banyak data yang diperoleh mengenai kegiatan Sadrach. Ia berada di Batavia tiga tahun, tinggal di Kampung Serani, belajar membaca dan menulis dalam aksara Latin, dan akhirnya dibaptis.

Adriaanse mengatakan, pendeta dan bapak permandian Radin adalah Teffer - yang lahir tahun 1827, pernah berkebun tembakau di Timor Portugis (Timor Timur), pernah muncul di Ambarawa sebagai imam militer di perkampungan tentara Belanda, tercatat tidak begitu rukun dengan koleganya misionaris Protestan, dan, setelah jatuh sakit di tahun 1894 dan tidak punya uang untuk berobat, lalu dirawat oleh seorang misionaris Katolik, beralih agama menjadi Katolik.

Tetapi pasti yang membaptis Sadrach adalah Ader, pendeta gereja Protestan meski Yotham hanya menyebut nama King untuk masa hidup Sadrach di Batavia ini. E. W. King (1824-1884), lahir di Batavia, kata orang ia peranakan Belanda tapi mungkin lebih tepat peranakan Inggris, punya sebuah komunal Kristen di Mesteer Cornelis (Jatinegara) dan sebuah percetakan kecil untuk menerbitkan majalah misionaris De Opwekker.

Kiranya hubungan Pendeta Ader dengan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…