Bagaimana Mengadili Subversi ; Antara Teater Dan Pengadilan
Edisi: 39/15 / Tanggal : 1985-11-23 / Halaman : 62 / Rubrik : HK / Penulis :
SERENTAK pengadilan dilanda aksi mogok. Proses peradilan "perkara Tanjung Priok" dan "pengeboman BCA", yang menyangkut H.M. Fatwa, Abdul Qadir Djaelani, dan H. Mawardi Noor tiba-tiba jadi mandek. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat misalnya, Senin pekan lalu, pengunjung bengong melihat terdakwa dan pembelanya.
Tiba-tiba saja keempat pembela meninggalkan sidang, menyusul penolakan hakim atas keinginan pembela menampilkan saksi yang meringankan, a de charge, Ali Sadikin. Fatwa, yang ditinggalkan pembelanya, segera pula meminta diri kepada hakim. "Saya diancam hukuman mati, saya mohon majelis hakim mempertimbangkan hal itu," ujar Fatwa. Entah mengapa, Ketua Majelis Hakim B.E.D. Siregar mempersilakan Fatwa keluar. "Itu hak Saudara," katanya.
Tapi, setelah majelis menghadapi kursi kosong, barulah Hakim Siregar menyadari situasi itu. "Berdasarkan tata cara sidang, persidangan tidak bisa diteruskan, karena terdakwa dan pembelanya tidak hadir," ujar Siregar, sambil menutup sidang.
Tim pembela perkara Fatwa, yang terdiri dari Abdul Hakim Garuda Nusantara, Suroto Kartosudarmo, Denny Kailimang, dan Luhut Pangaribuan, hari itu memang melancarkan protes keras ke alamat hakim. Menurut mereka, hakim telah mengesampingkan pasal 160 KUHAP, dengan menolak permohonan terdakwa untuk mengajukan Ali Sadikin sehagai saksi. Dalam pasal itu, memang, hukum acara mewajibkan hakim memanggil saksi baik yang diajukan jaksa maupun yang diminta terdakwa. "Sebab itu, kami meminta fatwa dari Ketua Mahkamah Agung. Sebelum fatwa keluar, kami tidak akan hadir di sidang," kata Abdul Hakim Nusantara.
Ternyata, tim pembela tidak perlu berlama-lama menunggu fatwa yang di maksud. Dalam sidang lanjutan, Senin pekan ini, Hakim B.E.D. Siregar mengumumkan bahwa permohonan agar Ali Sadikin didengar sebagai saksi dikabulkan. "Majelis tidak keberatan mendengarkan kesaksian Ali Sadikin," ujar Siregar. Fatwa girang. "Terima kasih, Bapak Ketua," kata Fatwa, yang hari itu tidak didampingi pembelanya.
Tapi, setelah itu, bukan berarti persidangan berjalan lancar. Ketika sidang akan dilanjutkan, Fatwa menyela. "Sebenarnya, Pak Hakim, saya benar-benar sakit hari ini. Cuma, untuk menghindari prasangka macam-macam, saya paksakan datang juga. Jadi, mohonlah kearifan Pak Hakim untuk menunda sidang, karena tadi saya sudah hampir muntah," pinta Fatwa.
Semula Majelis Hakim tetap akan melanjutkan pemeriksaan. Tapi, ketika sidang berjalan, Fatwa - yang hari itu tubuhnyn di tempeli tiga buah koyok - menginterupsi. "Maaf ... saya. tidak tahan lagi," katanya. Setelah berunding dengan majelisnya, Siregar terpaksa juga menunda sidang sampai Rabu ini.
Aksi pemogokan Fatwa, seperti sidang pekan lalu itu, juga terjadi di pengadilan yang sama dalam waktu selang dua hari. Hari itu, Abdul Qadir Djaelani yang beraksi. Ketika hakim membuka sidang, Pembela H.M. Dault dan Asmansyah tidak hadir, tanpa…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Vonis Menurut Kesaksian Pembantu
1994-05-14Tiga terdakwa pembunuh marsinah dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. pembela mempersoalkan tak dipakainya kesaksian yang…
Hitam-Hitam untuk Marsinah
1994-05-14Buruh di pt cps berpakaian hitam-hitam untuk mengenang tepat satu tahun rekan mereka, marsinah, tewas.…
Peringatan dari Magelang
1994-05-14Seorang pembunuh berencana dibebaskan hakim karena bap tidak sah. ketika disidik, terdakwa tidak didampingi penasihat…