Dari Damaskus Ke Libanon Selatan
Edisi: 01/15 / Tanggal : 1985-03-02 / Halaman : 41 / Rubrik : SEL / Penulis :
MENTERI pertahanan biasanya sebuah sosok dengan bobot lain. Kukuh bagai tembok. Terobosan ke arahnya buat bertemu, di banyak negeri, alot. Apalagi di negeri totaliter yang diperintah dengan hukum perang.
Syria, umpamanya. Kita tahu, negeri ini musuh Israel paling keras dan sahabat paling kental Moskow. Bukankah Syria yang mempermalukan Reagan di Libanon, lewat apa yang dituding presiden AS itu sebagai subversi yang didukung Uni Soviet? Maka, siapakah yang mengira bisa bertemu dengan menteri pertahanan Syria?
"Aku tidak berharap bisa dengan segera membuat janji temu dengannya," kata William Shawcross, yang melaporkan kisah perjalanannya ke Syria dan Libanon lewat majalah Rolling Stone Desember tahun silam.
Tapi Shawcross, pengarang Sidesshow dan The Quality of Mercy, punya nomor telepon menteri pertahanan itu, yang diberikan seorang rekannya sesama wartawan Inggris. Nomor itulah yang dipakainya - iseng-iseng mencoba- dan jawaban Ibu Menhankam di seberang sana bikin Shawcross sempoyongan. "Datanglah besok," kata Nyonya jenderal Mustafa Tlas - begitu saja.
Rumah Menteri Pertahanan, sebuah apartemen luas di sebuah gedung mungil modern, menempati salah satu punggung pebukitan Damaskus. Itulah kawasan tempat tinggal sebagian besar pejabat senior Syria. Jalan tiga jalur yang lengang diisi orang-orang muda bercelana jin yang menyandang senapan mesin. Itulah para anggota pasukan para, ataupun - boleh jadi - intel-intel yang ingin identitasnya tersamar. Mereka menghubungi rumah kediaman Menhankam dengan pesawat halo-halo, dan setelah mendapat jawab, entah apa, memperbolehkan wartawan kita masuk.
Memakai jubah rumah yang panjang dan putih, Jenderal Mustafa Tlas tampil dalam postur tubuh yang apik. Lengkap dengan kumis. Istrinya muncul dengan ceria, memakai pakaian rumah, mirip yang digunakan suaminya.
Sang jenderal langsung melemparkan tanya yang agak aneh: "Anda kenal Putri Diana?" Dan ia segera tampak kecewa ketika yang ditanya menjawab tidak. Tampaknya Tlas salah satu pengagum Putri Diana paling dahsyat di Syria. "Saya pernah menulis sajak panjang, untuk dia," katanya. "Judulnya Ratu Impian," Nyonya Tlas bergumam menambahkan, diiringi tawa.
Seorang gadis pelayan yang cantik sementara itu menuangkan kopi. Sang jenderal melanjutkan ceritanya tentang berbagai kesenangannya yang lain. Ia mat kodak yang suka memotret bunga - dan konon prestasinya diakui orang Belanda. Buku-bukunya tentang pemotretan bunga sama baiknya dengan karya tulisnya tentang perang gerilya. (la terbilang pendukung paling awal Organisasi Pembebasan Palestina - PLO). Dan proyek yang sedang digarapnya adalah buku tentang jamu.
Setelah acara minum kopi selesai, Jenderal Tlas menggiring tamunya turun ke ruang kerjanya. Lantai dan dinding ruangan itu penuh berbagai jenis senjata api, beberapa di antaranya bersepuh emas, tersimpan dalam kotak beledu. Semua itu hadiah para pedagang senjata yang ingin membina hubungan bisnis dengan negeri itu.
Di rak-rak tersusun sejumlah besar buku, dan di atasnya terpajang foto-foto antara lain gambar Gina Lollobrigida, berbubuhkan tanda tangan bintang film Italia itu disertai kata-kata: "Teruntuk Jenderalku". Foto Putri Diana tentu saja tidak ketinggalan. Yang ini tanpa tanda tangan.
Sesaat sebelum pergi, Shawcross bertanya tentang sas-sus pertarungan perebutan kekuasaan di Damaskus, sehubungan dengan berita-berita bahwa Presiden Hafez Assad, yang memerintah Syria sejak 1970, sakit keras. Dan bahwa adiknya, Rifaat, merencanakan mengambil alih angkatan bersenjata, dan, kemudian, negeri itu. "Sudah pada ditendangtendangi," kata Jenderal Tlas tentang mereka yang hendak makar. "Saya telah menggeser 56 perwira pengikut Rifaat. No problem. "
* * *
Dalam menulis laporan, Shawcross memakai gaya "aku" yang enak- Jadi sebaiknya kita biarkan saja ia meneruskannya.
Sebelum datang ke Syria, aku hanya memiliki pandangan yang suram tentang negeri ini. Aku membayangkannya sebagai suatu tempat yang terkerudung dogmatisme yang zalim. Polisi rahasia cagak-cagak di tiap gang dan pintu masuk. Pembunuhan politik terjadi saban hari. Semua dalam nafsu anti-Yahudi yang berkobar-kobar dan berbagai aspek totalitarisme lain. Pikiranku malah dicekoki dengan citra salah satu neraka dunia abad ke-20, dunia yang harapannya copot. Demikianlah bayanganku, tadinya. Tapi aku harus terperanjat.
Dua nasihat pernah diberikan kepadaku di Syria dan Libanon--keduanya masih lengket di benak. Di Damaskus, aku dinasihati seorang wanita muda Syria yang mendapat didikan Eropa, agar "menghindari orientalisme". "Begitu banyak penulis Barat datang kemari dan hanya melihat segi eksotisnya," ujar wanita itu. "Ujung ujungnya, Syria tak beda dengan berbagai tempat lain di dunia."
Di Beirut, kebalikannya, seorang wartawan Amerika menegaskan, "Anda tidak akan mengerti apa yang sedang berlangsung di sini, kecuali menerima kenyataan bahwa itulah iblis kelas dunia. Bukan iblis cecere, tapi dari jenis kelas dunia!"
Kedua nasihat itu merasuki pikiranku.
* * *
Ternyata gampang menggelandang ke mana mana di Syria. Pada suatu petang, setelah menonton film Dallas melalui televisi Syria, kemudian The Love Life of Napoleon di saluran Yordania sehingga orang Syria bisa menerima berita yang relatif tanpa sensor - aku naik bis ke Aleppo, tiga ratus kilometer ke utara Damaskus. Waktu melintasi kawasan pinggiran ibu kota dan memasuki jalan raya antarkota, kondektur memutar kaset lagu-lagu pop Syria, lalu membagi-bagikan permen dan air mineral. Di sisi kiri, terlihat semburat matahari senja yang tenggelam ke balik Pegunungan Libanon.
Duduk di sebelahku seorang anak muda dengan rambut tipis dan kumis halus kepirang-pirangan. Namanya Leo. Ia senang bahwa aku orang Inggris, karena ia punya pacar gadis Inggris. "My darling, " katanya, "pacarku itu, dari Liverpool. Dia sudah kembali ke sana."
Beberapa tahun lalu si pemuda mengendarai mobil keliling Eropa dan bertemu dengan " my darling-"nya di Cyprus. "Pacarku datang ke Aleppo bersamaku; ia penari klub malam. Ia sangat manis. Pacarku itu tinggal dua setengah tahun, tapi kemudian diusir karena tidak mau tidur dengan seorang agen polisi raha-sia. Darling- ku yang malang," ujar si pemuda.
Aku tertarik pada kasus pacarnya, tetapi lebih tertarik pada klub malam tempat cewek itu menari. "Dapatkah aku pergi kesana?" kutanya pemuda itu. "Tentu," jawabnya. "Di Aleppo terdapat banyak klub malam."
Sudah tengah malam ketika kami - aku, Leo, dan kondektur yang nimbrung sampai ke klub malam Kaspar. Tempat hiburan itu besar, ruang melantainya dikitari sejumlah meja dan kursi. Di satu sisi ada panggung, tempat sebuah grup musik bermain dengan ingar-bingar. Ada sebuah layar yang ditulisi huruf-huruf warna merah jambu, berbunyi: Follies of the Casbah.
Cerita yang muncul di panggung mirip adegan parodi film Humprey Bogart, rekaman klise ala Barat tentang kehidupan malam di Timur dengan sebaris penari Inggris. Bagaimana aku harus mengingat ingat nasihat tentang "bahaya" orientalisme di tempat seperti ini? Demikian kutanya diriku sendiri.
Petang berikutnya aku datang ke Aleppo Club. Disini, seperti di klub pria di mana pun, tataan arsitekturnya mewah, juga perlengkapan perabotannya. Di sebuah meja duduk melingkar sekelompok lelaki dan wanita Syria. Mereka makan dan minum sambil bicara cas-cis-cus dalam bahasa Prancis, diselingi tawa riang ria. "Nouveau riche (orang kaya baru)," gumam temanku. "Mereka bekerja pada perwakilan dagang Soviet." Dengan cara bersahabat ia menasihati agar aku tidak menulis apapun tentang Syria sekembali dari perlawatan ini. "Anda belum memahami apa pun." Aku setuju saja.
* * *
Belakangan aku bermobil dari Damaskus ke Palmyra, kota reruntuhan dari zaman penjarahan Romawi. Aku ditemani dua rekan, dari New York Times dan Washington Post. Perjalanan yang menawan melintasi gurun tak bertepi: pohon pohon bunga apiun dan bunga-bunga liar lainnya tumbuh di sisi jalan, tebing dan punggung punggung bukit pasir, sedangkan restoran mulai bermunculan di sana sini.
Dari jendela hotelku di Palmyra terhidang pemandangan oasis yang memesonakan: angin mendayu melalui pepohonan palem, terdengar bagai desah ombak di pantai. Dan di seberang sana: reruntuhan kota tua.
Malam itu kami duduk-duduk di bangunan kuno Baal - semacam tempat pertemuan - di bawah langit yang gelap, menyimak kelepak sayap burung yang hinggap dan terbang di atasnya. Sedangkan seorang pianis Armenia bagaikan hendak menghancurkan piano memainkan Pictures at an Exhibition.
Di antara hadirin bergabung pula kelompok kelas menengah atas lama yang biasa disebut "Teman Teman Damaskus". Mereka bukan kaum OKB yang melesat kaya di bawah rezim yang sedang berkuasa - tetapi kaum borjuis lama yang copot kekuasaannya ketika Assad naik panggung pada 1970. "Apa pendapat Anda tentang…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…