Indonesia Seratus Tahun Yang Lalu; Indonesia Seratus Tahun Yang Lalu

Edisi: 06/15 / Tanggal : 1985-04-06 / Halaman : 33 / Rubrik : SEL / Penulis :


TANGGAL 13 Juni 1856. Setelah dua puluh hari terantuk-antuk, akhirnya Kembang Djepoon, sekunar milik saudagar Cina yang diawaki orang-orang Jawa dengan kapten Inggris itu, labuh jangkar di Buleleng, pesisir utara Bali. Perjalanan yang melelahkan. Sedangkan Makassar, tujuan utama kali ini - setelah dua tahun menunggu selesainya Singapura, Malaka, dan Borneo, yang lebih dulu dijelajahi - masih beberapa hari pelayaran lagi. Bali, menurut rencana, tidak masuk daftar. Aku hanya sekadar singgah karena tidak ada pelayaran langsung dari Singapura ke Makassar.

Langit cerah di Buleleng. Menyusur pantai bersama kapten kapal dan supercargo milik keturunan Cina itu, aku melihat di depan membentang tamasya yang cantik dan megah. Kami melangkah perlahan. Yang dituju pertama: rumah bandar. Ada beberapa orang pribumi di kediaman sang taipan, berpakaian bagus, semua tampak menyandang keris. Mereka menawarkan barang kerajinan berukuran besar yang terbuat dari gading dan emas, juga ukiran kayu yang rumit dan dipoles mengkilap. Indah.

Orang-orang Cina yang ada tidak mengenakan pakaian nasional mereka, tetapi pakaian Melayu. Sukar dibedakan dari penduduk asli - suatu indikasi bahwa ras mereka, Mongolia dan Melayu, bertalian erat. Di keteduhan pohon-pohon mangga, di dekat rumah, beberapa perempuan berkerumun menjajakan barang-barang katun. Mereka, perempuan-perempuan itu, berdagang dan bekerja untuk para suami - adat kebiasaan yang tidak pernah bisa diadopsi oleh kaum Melayu yang Muslim.

Dua hari di Bali kumanfaatkan untuk menjelajah negeri, melihat-lihat dan mencatat. Lebuh-lebuh dan gang-gang, yang di tepinya tumbuh kaktus tegak dan Euphorbia tak berdaun, berbaris berleret-leret. Perkampungan yang guram dan kumuh. Kumpulan lorong sempit berbatas dinding tanah. Rumah-rumah bambu, yang akan terbuka dengan ramah setiap kami mengetuk pintu. Dan di luar dugaan, yang membuat aku takjub, usaha pertanian sudah semaju tanah leluhurku, Eropa.

Sawah berpetak-petak aneka bentuk berbatas tanggul dan pematang, berombak berkelak-kelok. Di beberapa bagian bahkan bertingkat-tingkat mendaki bukit. Semua basah digenangi air mengalir yang terpecah menjadi kanal-kanal kecil. Air dari pegunungan, wilayah yang konon masih menyimpan ternak-ternak liar di pusarnya: binatang yang gagah, bertubuh besar dan tampan, berwarna cokelat muda dengan tungkai putih dan bercak besar lonjong berwarna sama di bagian pantat - ternak seperti yang terlihat bergerombol ditunggangi bocah-bocah gembala atau dicencang di padang rumput.

Satu hal lagi yang penting: aku menemukan sejenis kupu spesies baru. Kuberi nama Pieris tamar.

* * *

Pelayaran Bali-Lombok kami tempuh dua hari. Perjalanan yang menyenangkan. Dua gunung berapi di kejauhan: satu di depan anjungan, nun di sana, Rinjani, dan satu lagi yang makin tertinggal di belakang Gunung Agung. Masing-masing menjulang lebih-kurang delapan ribu kaki, tegak perkasa dengan halimun dan awan-gemawan yang menggantung di punggungnya, berpendar warna pelangi saat mentari terbit dan senja.

Pelabuhan Ampenan berpasi r hitam. Guram. Terletak di lekuk teluk, agak terlindung dari gelombang laut selatan yang terkenal ganas. Sauh dilabuh seperempat mil dari pantai. Turun dari sampan yang membawa ke tepi, aku menarik napas lega. Semua selamat, juga barang-barang; tidak ada yang tercebur ke dalam gelombang laut yang menggelora - yang oleh penduduk asli disebut, dengan bangga, "laut kami yang selalu lapar dan siap menelan segala yang dapat diterkam".

Satwa yang aku temukan di Lombok sangat berbeda dari yang ada di Bali, seolah kedua pulau ini terpisah ribuan mil oleh lautan, seperti Afrika dan Amerika. Tidak banyak lagi burung-burung pelatuk dan pemakan buah. Tidak ada lagi burung-burung manyar - sejenis burung kecil, cokelat, berkepala kuning cerah, yang menenun sarang berbentuk botol di pepohonan tepian pantai.

Sebaliknya, mulai dijumpai burung-burung yang biasa ditemukan di Australia: kakaktua putih kecil, burung cilik penghisap madu dari genus Ptilotis, dan Merops ornatus si pemangsa lebah. Juga Tropidorhyncus timoriensis yang oleh penduduk asli disebut kuik-kuik karena bunyinya, dan sejenis Megapodius berkaki tegar dengan cakar bengkok yang suka membangun sarang besar untuk meletakkan telurnya. Ada lagi dara hijau besar - merpati jinak terbesar yang pernah kulihat.

Di hutan perawan masih bisa ditemukan rusa dan babi hutan, yang ternyata kemudian dapat dijumpai di sebagian besar wilayah MalayArchipelago lainnya. Kawasan itu mmbentang 4.000 mil dari barat ke timur dan 1.3do mil arah utara-selatan, dan menurut pengertianku, berdasarkan penyebaran satwa--meliputi juga Semenanjung Malaya dan Kepulauan Nikobar di barat, Filipina di utara, dan Kepulauan Solomon di sebelah timur.

Banyak cerita aneh beredar di kalangan penduduk asli. Mereka umumnya percaya, ada beberapa orang yang mempunyai kekuatan gaib dan mampu mengubah diri menjadi buaya atau apa pun yang diinginkan, untuk mengimpaskan dendam. Tentu saja balas dendam berarti pembunuhan. Aku jadi teringat kata-kata seorang kawan kepada salah seorang pengikutku, Manuel, si Portugis asal Malaka.

Sobat yang Melayu--Borneo, seperti Ali, pengikutku yang satu lagi, berkata, "Selama beberapa tahun aku tinggal di Lombok, ada satu hal yang benar-benar aneh: hampir tidak ada hantu di sana!" "Lho, memangnya kenapa?" tanya Manuel menimpali. "Kau tahu," sahut Ali, "kami, sebagai layaknya orang Timur, percaya bahwa orang yang mati, apalagi terbunuh, pasti akan ada hantunya. Tidak ada orang yang berani keluar sendirian malam-malam. Tetapi di Lombok orang bisa tenang-tenang saja, padahal tidak jarang ditemukan mayat tergeletak di lapangan atau pinggiran jalan. Aneh."

Dan memang, pernah dalam sebuah penjelajahan kami menemukan jenazah meringkuk di balik pagar bambu kecil, beralas tikar, berpakaian lengkap. Dan di sampingnya teronggok sebuah wadah sirih. Mungkin korban pembunuhan.

Mulanya, pusat pemerintahan Lombok - kedudukan raja dari suku Sasak, penduduk mayoritas yang kebanyakan Muslim - terletak di Karangasem. Setelah mereka dikalahkan orang Bali, kota raja pindah ke Mataram, sebuah desa besar kira-kira empat mil dari Ampenan .

Jalan yang menghubungkan Kota Pelabuhan Ampenan dengan Kota Raja Mataram berpasir, sebagian lagi merupakan jalan rumput dengan lubang penuh lumpur di sana-sini. Kedua sisi dirimbuni pohon-pohon besar, diapit sawah yang menganak tangga, lebih bagus dari yang di Buleleng. Padi menguning. Jutaan capung mengapung diatasnya. Dan orang-orang, dengan keranjang bertangkai panjang, menangkap serangga bersayap dua itu dikumpulkan, digoreng untuk lauk.

Melintas Mataram, Kusirku turun. Kuda dituntun. Terlarang bagi rakyat jelata mengendarai apa pun di Kota Raja. Kereta bergerakpelan melalui lebuh yang lurus, lebar, teduh. Rumah-rumah beratap rendah dan berdinding tanah. Istana Raja dan Pendeta Agung (Maksudnya barangkali Penghulu Keraton) ditandai dengan pilar dan gapura dari bata merah yang ditatah indah. Selebihnya sama dengan rumah lain. Keluar dari Kota Raja pemandangan berganti: bukit-bukit karang, lembah ngarai, dan hutan bambu serta luasan palem.

Matahari tegak di atas kepala ketika kami sampai ke Kupang, sebuah desa di bagian tengah pulau. Memasuki sebuah rumah besar, aku diterima di beranda. Ruang luas terbuka dengan lantai bambu yang licin mengkilap. Seorang penerjemah datang, menanyakan maksud kunjungan, dan mengatakan bahwa sang pambekel, si empunya rumah, sedang berada di Mataram, menghadap Raja. Tiga jam kami menunggu.

Sang pambekel, yang juga seorang pangeran Suku Sasak, menanyakan surat izin ketika aku menyampaikan keinginan untuk menginap di rumahnya, berburu burung, dan berkeliling negeri. Sebagai seorang petinggi dengan kekuasaan terbatas, Pambekel tidak berani menerima kami tanpa perkenan Anak Agung, raja penguasa Lombok. Tentu saja aku tidak membawa karena aku pikir tidak perlu.

Sekitar pukul lima, Ali dan Manuel datang - dan Pambekel kembali ke Mataram untuk melaporkan kedatangan kami. Jam demi jam berlalu. Menjelang tengah malam, akhirnya, Raja - diiring Pambekel, beberapa pendeta dan hulubalang - datang. Mereka duduk membentuk lingkaran, dengan aku di tengah. Tanya jawab pun dimulai.

Segala hal ditanyakan: tujuan, senapan, barang-barang yang kubawa. Kaca mataku dipinjam. Dicoba bergantian, dan dikomentari bahwa benda itu tiada guna karena tidak membuat penglihatan mereka bertambah terang. Mereka pun takjub melihat jenggot tebalku. Semua yang dilihat dan ditanyakan, didiskusikan di antara mereka - dengan bahasa mereka. Hasilnya: tidak satu pun keteranganku dipercaya. Bahkan mereka tidak yakin bahwa aku orang Inggris, bukan Belanda. Tidak ada izin Raja memutuskan begitu .

Segera setelah hari terang, kuminta Ali dan Manuel menyiapkan kuda. Kami kembali ke Ampenan. Tetapi sewaktu lewat Mataram Gusti Gede Oka mengundang kami. Tertarik mendengarkan keteranganku yang panjang lebar tentang bedil, sang pangeran keturunan Bali yang masih kerabat Raja itu ingin menunjukkan senjata api buatan anak negeri. Dikeluarkannya dua pucuk senapan, masing-masing tujuh dan delapan kaki panjangnya, penuh ornamen dari emas dan perak. Tampaknya cukup baik. Semua komponen, kecuali bagian pelatuk yang diambil dari senapan Inggris, asli bikinan sendiri.

Kemudian aku dibawa ke bengkel pembuatan sebuah bangsal kecil yang terbuka. Di bagian depan menonjol tungku penempa dari tanah liat. Alat pengembusnya adalah dua batang tabung bambu dengan piston yang digerakkan tangan - yang dihubungkan ke satu mulut penyembur. Dengan demikian, dapat dihasilkan semburan yang tak terputus-putus. Di sudut terserak landasan tempa berupa lempeng besi, martil, dan peralatan tukang.

Mesin pembuat laras entah di mana. Ketika kutanyakan, dijelaskan oleh Gusti, "Kami menggunakan keranjang berisi batu." Kemudian diambilnya mesin bor yang luar biasa itu: semua serba bambu, kecuali mata bornya. Ini adalah sebuah keranjang yang ditembusi bambu kecil sepanjang tiga kaki, dengan bagian atas yang dilengkapi bambu besar, yang diikatkan dengan rotan sehingga secara tak disengaja membentuk salib. Di bagian bawah ada cincin besi, berlubang di tengah untuk sarang mata bor.

Batang besi yang akan dibuat laras ditancapkan tegak lurus di tanah, dilingkup dengan bambu. Mata bor ditaruh di atasnya, dan keranjang diisi batu pemberat - kemudian diputar oleh dua orang.

Dengan bor berbagai ukuran, mula-mula kecil kemudian makin besar, dalam waktu tiga hari akan diperoleh sebatang pipa. Dan, setelah dihaluskan, jadilah laras bedil. Betul-betul halus buatannya bahkan, kalau tidak membuktikan dengan mata sendiri, tidak akan ada yang percaya bahwa semua itu dibuat dengan peralatan sederhana yang bahkan untuk sekadar membuat tapal kuda pun seorang tukang besi di Inggris tidak akan sanggup.

Beberapa hari di Ampenan, pada suatu pagi yang cerah, datang utusan Raja. Aku diundang menyambung pembicaraan. Dan kali ini aku bisa lebih jelas mengamati Anak Agung: seorang laki-laki tampan berusia sekitar tiga puluh lima, dan berwibawa. Aku menunjukkan hasil karyaku: burung-burung dan serangga yang diawetkan. Akhirnya semua beres. Aku mendapat izin. Anak Agung sendiri yang memutuskan.

Di Lombok, raja memang berkuasa penuh. Seorang otokrat. Tetapi Anak Agung ternyata juga seorang yang bijak, yang karena itu dihormati dan ditaati. Roda ekonomi Kerajaan terutama bersandar pada pajak hasil bumi. Tiap tahun seluruh rakyat, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, diwajibkan menyisihkan beras - tidak banyak, sehingga tidak memberatkan. Lagi pula, tanah pertanian yang ada sangat subur. Semua rakyat patuh.

Yang jadi masalah: beras pajak itu, sebelum masuk kocek Raja, harus melalui banyak tangan: para kepala kampung, wedana, dan gusti. Jumlah beras yang terkumpul pun kian tahun kian tipis. Ada saja alasannya - dari soal wabah penyakit, serangan hama, sampai musim yang salah mangsa.

Sementara itu, para pejabat Kerajaan kelihatan bertambah kaya - terutama para gusti, pejabat tertinggi setelah Raja. Keris-keris mereka, dan ini lambang status, kian hari kian cantik saja. Mula-mula, hanya bergagang kayu kuning. Lalu, diganti gading. Kemudian dilapis emas. Dan akhirnya penuh dihias intan dan zamrud. Tetapi Anak Agung nyatanya diam saja. Tidak ada bukti untuk menindak.

Pada suatu pagi yang mendung, Raja menitahkan sekalian nayapraja untuk berkumpul di Balairung. Di situ dikatakan: tadi malam, wangsit telah datang suara gaib dari Gunung Agung, tempat bersemayam para dewa. Bunyinya: Raja harus berziarah ke puncak untuk menerima titah berikutnya.

Tidak lama berita ini tersebar, dan persiapan besar-besaran pun dilakukan. Maka, pada hari yang telah dipilih dengan saksama, Raja berangkat, menunggang kuda hitam besar berekor panjang, diiring seluruh lapisan masyarakat. Gagah.

Sampai di gunung, semua berhenti di lereng. Anak Agung meneruskan pendakian diiringi dua bocah laki-laki pembawa sirih-pinang. Di puncak tebing mereka berhenti. Sang raja meminta sirih, dan menitahkan kedua pengiring menunggu di balik karang. Mentari bersinar hangat. Angin sepoi-sepoi mengganggu tubuh yang telah letih berjalan. Bocah pengiring raja tertidur. Raja sendiri terlelap, capek. Lama baru semuanya turun.

Keesokan harinya rombongan pulang ke Istana. Dan, tiga hari kemudian, di hadapan seluruh narapraja, isi wangsit diumumkan. "Sewaktu aku sedang semadi," demikian Anak Agung, "aku mendengar suara: 'Hai Raja. Akan menyebar wabah sampar, demam, dan penyakit di seluruh muka bumi. Rakyatmu, bahkan kuda dan ternak, akan lampus. Tetapi kalau kau mau turut kata, akan kutunjukkan cara pencegahannya' . . . " Ruangan hening. Menunggu.

Dan Anak Agung melanjutkan. "Buatlah dua belas bilah keris. Dan setiap desa diwajibkan menyerahkan sebundel jarum - masing-masing sebanyak jumlah warganya. Kalau wabah datang,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…