Margaret Atau Duka Yang Jauh
Edisi: 19/15 / Tanggal : 1985-07-06 / Halaman : 31 / Rubrik : SEL / Penulis :
TEPAT 60 tahun lalu, seorang gadis berambut pendek menuruni tangga kapal laut di Pago Pago, pelabuhan dan pangkalan Armada Pasifik AS di Samoa. Gadis 23 tahun itu, Margaret Mead, mahasiswa yang kemudian menjadi antropolog kenamaan. Dengan penuh semangat ia menghadapi proyek penelitiannya yang pertama - menemukan bukti bahwa peri laku manusia terutama ditentukan oleh lingkungan kebudayaannya dan bukan oleh keturunannya. Franz Boas, antropolog yang ketika itu mentor Mead, menyarankan agar ia memusatkan perhatiannya pada peri kehidupan remaja Samoa di Pasifik itu. Selama hampir sembilan bulan kemudian Mead tinggal di Desa Luma di Pulau Tau, kira-kira 100 km sebelah timur Pago Pago.
Pengertian bahwa lingkungan kebudayaan mempengaruhi peri laku mereka yang menghayatinya kini suatu anggapan yang biasa saja. Tapi di tahun 1920-an, ketika Mead dan rekan-rekannya memperkenalkannya, ia harus berperang mati-matian menghadapi doktrin tentang peranan "mutlak" faktor ras dan keturunan. Waktu itu pun Mead tak membayangkan penelitiannya kelak melontarkan namanya ke puncak ketenaran - melalui bukunya Coming of Age in Samoa,yang ditulisnya segera setelah ia kembali ke Amerika dan di terbitkan tahun 1928.
Selama lebih dari setengah abad kemudian, Margaret Mead, antropologi, dan Samoa bagai kata sinonim. Hingga ia meninggal, November 1978, Mead menulis 22 buku yang diterjemahkan keberbagai bahasa - di samping ratusan makalah, artikel, ceramah, kuliah, surat, penelitian, dan diskusi, yang mungkin menjadikannya orang yang paling sibuk, selain paling tersohor. Semua itu dikerjakannya di samping tugasnya sebagai asisten kurator dan kemudian kurator Museum Sejarah Alam di New York.
Wanita itu lahir pada 1901, tahun meninggalnya Ratu Victoria di Inggris. Ia termasuk insan abad ke-19 yang memasuki abad ke-20 dalam kekalutan karena banyaknya pilihan yang membingungkan. Tapi Mead pernah berkata, pilihan itu tak perlu membuat kita merasa putus asa. "Kekalutannya," katanya, "amat menggairahkan untuk dihayati sepenuhnya."
Seperti dikemukakan Jane Howard, penulis biografinya dalam buku Margaret Mead: A Life, yang terbit belum lama ini, Mead terutama tertarik pada antropologi karena batas-batasnya yang lentur. Tetapi di situ pun Mead senantiasa menetapkan peraturannya sendiri, dan menghayati berbagai ragam dan lingkup kehidupan dengan caranya sendiri. Ia melintasi samudra dan benua dan jalur waktu, tapi ia juga mengarungi jaringan kenalan, famili, dan rekan. Ia membongkar berbagai disiplin ilmu; ia mendobrak segala rintangan dan menetapkan batas-batas baru.
Setelah Perang Dunia II, ia memusatkan perhatiannya pada antropologi terapan - menggunakan penelitiannya atas peri laku manusia untuk menyimpulkan berbagai masalah, dari kekurangan gizi hingga perlombaan senjata nuklir. Minatnya untuk memecahkan berbagai soal besar itu sering menyebabkan ia membuat pernyataan yang tampaknya pandir. Ia, umpamanya, menganggap orang Australia "bertindak otokratis terhadap anak-anak mereka karena masyarakat mereka tidak kenal kelas bawahan". Contoh lain, perhatiannya pada ilmu gaib primitif mendorongnya mempercayai gejala paranormal.
Pendirian seperti itu sering dinyatakannya dengan sikap sok tahu yang memang menjengkelkan dalam menanggapi berbagai serangan atas hasil karyanya. Kalau ia sudah menemukan lawan, cerita seorang rekannya kepada Howard, "la seakan sanggup menelannya seketika." Tapi serangan paling dahsyat justru datang setelah ia meninggal, yang dilancarkan oleh Derek Freeman, antropolog Australia dan peneliti peri kehidupan di Samoa.
Tahun 1983 Freeman menuduh bahwa Mead datang ke Samoa dengan tekad mencari bukti perbedaan kultural antara Samoa dan Amerika Serikat. Freeman, berdasarkan penelitiannya, berpendapat bahwa Samoa adalah masyarakat yang jauh lebih keras dan ganas ketimbang sebuah surga tropis yang digambarkan Mead. Mead, menurut Freeman, dikibuli para informannya - atau ia sengaja ingin memperdaya para pembacanya.
Mary Catherine Bateson, putri Mead, membela ibunya dalam bukunya With a Daughter's Eye, dan menunjukkan kelemahan argumentasi Freeman. Yang terpenting: Freeman, dalam penelitiannya, terutama berbicara dengan para pemimpin masyarakat Samoa dewasa yang pada berebut kedudukan politis, sedangkan Mead mewawancarai sejumlah gadis remaja.
Toh serangan Freeman yang dituangkan dalam bukunya Margaret Mead and Samoa: The Making and Unmaking of an Anthropological Myth, sempat mengundang serangkaian pembahasan dan diskusi selama lebih dari satu tahun di seluruh dunia - dan melahirkan suatu pembelaan bersemangat atas karier ilmiah wanita itu.
Banyak pihak, memang, mengakui bahwa penelitian Mead yang pertama itu, di Samoa, agak terburu buru dan kurang persiapan. Tambahan lagi, di tahun-tahun itu masyarakat Amerika dan Eropa sedang mendambakan alternatif dan membayangkan surga di kepulauan Samudra Pasifik. Niscaya, Mead terpengaruh cita rasa itu. Meski begitu, tambah Howard, pandangannya yang penuh pengertian akan jiwa dan kekurangan manusia tidak dapat dihapus, dan semangat serta jumlah karyanya sungguh mengagumkan. Kata putrinya tentang Mead, "Ciri khasnya terletak dalam merumuskan cara untuk mendengar dan mensintesakan gagasan."
Mead dalam mata Howard adalah seorang wanita yang cerdas dan jenaka, walau sering menjengkelkan - seorang yang kehadirannya dalam khazanah intelektual Amerika teramat dihargai. Berkata Otto Klineberg, psikolog di Manhattan, New York, "Ia mempunyai pengaruh yang sangat jelas atas pembentukan pendapat umum, seperti Dr. Spock. Keduanya berhasil mengurangi tekanan atas segi biologis anak-anak dan remaja dan mengubah pola upaya membesarkan anak."
* * *
Buku Coming of Age in Samoa, seperti kebanyakan karya Mead, menarik perhatian luas karena kritik yang tersirat atas kebudayaan Barat. Ringkasnya, buku itu mengemukakan bahwa ciri kebudayaan Barat ialah ketaatan, persaingan, penataan hubungan seks yang berlebihan, pandangan tentang keluarga inti yang ketat, rasa dosa, tekanan batin, dan pergolakan remaja. Sementara itu, terdapat masyarakat yang dinamakan primitif, yang ternyata menghayati suatu kehidupan yang indah dengan penuh kerja sama, kebahagiaan belia, ikatan keluarga yang longgar, dan hubungan seks yang mudah, tanpa gejala rasa berdosa ataupun neurosis.
Buku itu menjadikan Mead seorang pahlawan baik di antara ilmuwan maupun yang bukan. Bertrand Russell, ahli filsafat terkenal itu, sangat mengagumi pandangannya tentang seks, perkawinan, dan cara membesarkan anak. Mead memang menjadi sekutu Russell dalam memperjuangkan pendidikan yang bebas, norma-norma seks yang longgar (yang masih merupakan masalah pada waktu itu), serta sikap orangtua yang lebih terbuka terhadap remaja, agar mereka dapat menikmati masa remaja yang bahagia seperti, konon, yang dialami remaja Samoa.
Sebagai antropolog, Mead cukup menguasai semua ungkapan teknis yang menyatakan hubungan darah antara manusia, seperti moieties dan sibs dan ujamaa dan compadrazgo. Tapi ia justru menjadi terkenal di kalangan luas karena selalu berbicara tentang "keluarga" dengan bahasa yang sederhana. Kemudahan yang tulus, yang bisa ia lahirkan untuk mengungkapkan dan meredakan segala kepedihan hati yang disebabkan berbagai ulah keluarga itu, merupakan salah satu sifatnya yang paling menawan. Cara ia mengartikan istilah "keluarga" dengan lantang dan menyeluruh (keluarganya sendiri ia bentuk berdasarkan pilihan dan hubungan darah) merupakan salah satu warisannya yang paling lestari.
Bagi Mead, semakin besar sebuah keluarga, semakin baik. "Anak-anak mengalami masa penuh derita jika berdiam di sebuah rumah penuh pertengkaran, terkucil, penuh ketakutan kalau-kalau orangtua mereka bercerai. Tidak ada yang dapat diandalkan tidak ada orang lain, bahkan ribuan kilometer terpisah dari kakek dan nenek mereka," katanya di tahun 1973.
Keluarga kecil yang menyendiri, keluarga inti seperti model masyarakat Barat - merupakan tempat paling buruk untuk membesarkan anak. Satu sebab begitu banyak wanita menjadi putus asa setelah anaknya lahir adalah: mereka tinggal jauh terpisah dari sanak keluarga yang dekat.
Salah satu suku di Irian menghindari perkawinan antar saudara. Hal tersebut bukan karena perkawinan itu dianggap tidak pantas, tulis Mead, tetapi karena perkawinan semacam itu akan mengurangi jumlah kerabat yang bisa diandalkan.
Mead sendiri tiga kali kawin, dan semua berakhir dengan perceraian. Ketiga perkawinan itu menghasilkan sejumlah besar keluarga, dan ini baginya suatu cara - seperti yang dilakukannya…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…