Kekejaman Dalam Ring
Edisi: 26/15 / Tanggal : 1985-08-24 / Halaman : 43 / Rubrik : SEL / Penulis :
KEDUA petinju kelas welter itu bagaikan sepasang anak kembar - meskipun yang seorang berambut pirang pucat, yang lainnya keturunan Hispania berkulit kehitamhitaman. Berputar-putar di dalam ring, mereka mencoba memberikan jab, hook kiri untung-untungan, pukulan silang kanan yang sia-sia, atau tonjokan hampa. Gerombolan penonton di Madison Square Garden mulai tak sabar dan segera melemparkan cemoohan. "Yang dua itu," seru seseorang, "Apa yang mereka perbuat? Bangun pagi, lalu merasa dirinya sudah jadi petinju?" Orang yang berteriak itu hitam, berpakaian apik, dengan kumis dicukur rapi, kaca matanya berwarna. Ia pecandu tinju gila-gilaan. Dua jam kemudian ia menjerit-jerit, "Tommy ! Tommy ! Tommy!" Di layar televisi close-circuit, kampiun kelas welter Marvin Hagler mengganyang penantangnya, Thomas Hearns - si Tommy itu - dengan ganas.
Kedua petinju belia itu tentunya sadar akan cemoohan dan olok-olok di gelanggang tinju akbar, yang memasang tarif US$ 20 untuk balkon. Di bagian tengah gerombolan orang berjejal-jejal sampai ke gang-gang. Sementara semerbak hotdog, bir, asap rokok, cerutu, dan wangi minyak rambut, merayapi seluruh ruangan. Toh kedua petinju masih terus saling memojokkan, berputar, menonjok, menepis, berangkulan - dengan putus asa. Kadang-kadang pukulan-pukulan mereka mengambang. Mereka tampak kebingungan. Lalu kembali mereka berangkulan terhuyung-huyung ke arah tambang, dan merasakan gesekan-gesekannya yang memedihkan kulit. Ah, mengapa mereka berada di Garden, baku pukul - apakah itu merupakan pertarungan profesional pertama bagi keduanya? Sudah tentu bukan karena mereka saling menaruh dendam.
Ketika gong berbunyi pada ronde keenam, dan terakhir, cemoohan penonton bertambah santer. Si bocah Latin, yang memakai celana pendek sutera kuning, berambut keriting basah, melangkah gontai ke sudut ring. Tangannya terjuntai lunglai - bukan karena cuak oleh banjir cemoohan, yang semakin bertambah karena gerak-geriknya. Itu semacam tingkah ikutan, yang ditirunya dari petinju yang lebih senior. Ia seperti hendak berkata, "Aku di sini, aku berbuat, aku melakukannya." Ketika juri mengumumkan keduanya seri, amarah penonton meledak. "Enyah dari ring!" "Pulang!" Tawa ejekan yang mengiringi kedua bocah yang berjubah, berhanduk di kepalanya, bermandi peluh, yang terengah-engah, itu. Mengapa mereka merasa dirinya petinju?
* * *
Aku tidak pernah mampu "menikmati" tinju, dan tidak akan pernah menganggap kebrutalan yang tak ada bandingnya itu sebagai olah raga. Aku juga tidak berusaha mencari term literer, untuk mengiaskan maksudku. (Buat apa lagi?) Tak seorang pun yang mulai meminati tinju sejak masa kanak - seperti aku yang juga memulainya sebagai bagian dari minat ayahku - bisa dianggap sebagai lambang pecandu tinju. Walaupun aku dapat menikmati kata-kata bersayap bahwa hidup adalah metafora permainan tinju. Dari pertarungan ke pertarungan. Ronde demi ronde. Kemenangan kecil-kecil. Kekalahan kecil-kecil, tidak satu pun memastikan. Gong demi gong, dan kita dan lawan kita bertarung habis-habisan, padahal musuh kita adalah diri kita sendiri.
Mengapa kalian berdua saling tonjok dan pukul di panggung tinggi dikurung seperti dalam sebuah kandang? Tapi jika Anda telah menyaksikan 500 pertandingan tinju, dan mendengarkan hitungan wasit, itu bukanlah minat yang sebenar-benarnya. "Jika Roti Suci hanya lambang," kata penulis Katolik Flannery O'Connor, "aku bilang persetan dengannya."
* * *
Setiap pertandingan tinju adalah sebuah kisah, cerita panggung paling padat, paling dramatis. Bahkan, ketika tak banyak yang terjadi: kegagalan adalah juga kisah. Ada dua karakterisasi pokok dalam cerita, yang diam-diam diamati pihak ketiga. Ketika gong berbunyi tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi. Tak seorang pun tahu dengan pasti. Kedua petinju digiring berkelahi melawan dirinya sendiri, dan semua diekspor: termasuk rahasia mereka yang mereka sendiri tak tahu.
Ada petinju yang memiliki intuisi begitu tajam, punya pandangan menembus yang nyata. Dan orang mengatakan, mereka telah bertarung bersenjatakan intuisinya. Petinju yang lain bermain cemerlang, tapi bagai robot. Tidak mampu berimprovisasi. Ada pula yang memperagakan teknik tinggi sampai tidak dipahami, dan luput dari penilaian karena dianggap tidak cukup memadai. Setahuku hanya ada seorang petinju yang memiliki kesadaran luar biasa. Tidak saja terhadap setiap gerakan antisipasi lawan, tapi juga terhadap perubahan suasana hati penonton yang paling tajam - itulah Muhammad Ali.
Di dalam ring, maut selalu sebuah kemungkinan. Karena itulah aku lebih suka menonton film atau rekaman pertandingan tinju, yang telah larut menjadi seni. Memang, sebuah kemungkinan yang secara statistik terbilang jarang sehingga tak seorang pun sudi memikirkannya seperti kemungkinan mati esok pagi dalam suatu kecelakaan lalu lintas, atau kecelakaan pesawat terbang bulan depan, atau musibah tak terduga karena ambruknya loteng. Kepala retak, pendarahan subarachnoid.
Tinju adalah sebuah sandiwara tanpa kata. Tapi tak berarti tanpa teks atau bahasa. Kata-kata diimprovisasikan ke dalam gerak, bahasa adalah dialog bisu dua petinju. Semua itu untuk memenuhi kehendak misterius penonton, bahwa pertarungan harus selalu menjadi yang paling penting. Hingga setting - ring, lampu, penonton itu sendiri - bukanlah apa-apa. Menonton pertandingan biasa ke "Pertarungan Abad ini" - dari pertandingan antara Joe Louis dan Billy Conn, Muhammad dan Joe Frazier, sampai pada pertarungan antara Marvin Hagler dan Thomas Hearns - bagaikan mendengar-kan permainan gitar, dilanjutkan menikmati Well Tempered Clavier Bach yang dimainkan dengan perfeknya. Begitu banyak yang terjadi, begitu tangkas tapi begitu lambat, sehingga tidak semua dapat Anda serap kecuali bagian yang mencekam, yang membekaskan kenangan - dan itu peristiwa yang tanpa kata.
Petinju di dalam ring didikte waktu. Adakah sesuatu yang lebih menyiksa, lebih ganas daripada kontes maut dalam ronde per tiga menit? Melalui film dan pita rekaman, segalanya itu telah menjadi sejarah dan juga seni. Jika tinju mau dikatakan olah raga, adalah sport paling tragis karena melebihi aktivitas manusia mana pun. Tinju menguras seni permainan manusia yang paling tinggi: dan itu drama yang paling dramatis. Tinju mendorong seseorang terjun ke pertarungan terbesar dalam hidupnya yang bisa berarti pula sebuah awal keruntuhan. Suatu lompatan ke bawah yang tiba-tiba,…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…